Monday, November 27, 2006

Bush yang Kesepian dan Paman Sam yang Siap Berpaling

Pasca-Pemilu Sela 2006 Amerika Serikat
Bush yang Kesepian dan Paman Sam yang Siap Berpaling

Dua tahun sisa pemerintahan Presiden George W. Bush tampaknya tidak akan menyenangkan. Kemungkinan besar, Gedung Putih akan semakin gerah menurutnya. Pemilu sela Amerika Serikat yang berakhir pada 9 November lalu telah menjadi bukti tentang adanya semacam referendum rakyat untuk mengucilkan Bush, dan menata ulang politik Amerika ke depan. Partai Demokrat memenangi kontes demokrasi, dan menggusur kekuasaan Republikan di Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah berlangsung selama 12 tahun.
Para pemilih telah bicara, tulis harian terkemuka The Washington Times (9 Nov. 2006), dengan cara yang tajam dan menyakitkan, tentang inkompetensi Partai Republik dan konvoi perang Presiden George W. Bush ke Irak. Dikabarkan, 41 persen rakyat merasa “sangat tidak puas” dengan kinerja Bush dan Kongres yang dijalankan Partai Republik. Dari sini, vox populi jelas dan keras. Mereka mengutuk skandal korupsi, ekonomi, terorisme, dan Irak. Barangkali hanya karena nama Bush tidak tertulis di kertas suara, maka para pemilih menghukum partainya.
Kesepian Bush bermula di sini. Kontraterorisme (yang membuatnya sangat agresif dan malah membuat rakyat semakin merasa tak aman) dan kontra-Irak adalah program andalan Bush. Bisa dibilang, kedua kebijakan luar negeri itulah yang menegaskan eksistensi Bush dalam memimpin AS. Ia pun sangat percaya diri dalam dua hal itu: mayoritas Republikan memenuhi Parlemen, dan ia beroleh dukungan penuh dari partainya.
Persoalan muncul karena Bush bukanlah seorang politisi yang lentur (dalam pengertian lincah dalam pergerakannya) seperti Lyndon Johnson atau Bill Clinton. Ia telah menjadikan kedua program itu sebagai sesuatu yang personal, dan berbangga diri dengan ideologi “garis keras” yang dianutnya. Bush tidak mau mundur sejengkal pun. Ia tidak mau mengakui kegagalannya di Irak secara terang-terangan dan hanya bilang: “Irak butuh pendekatan baru.” Itulah kira-kira alasan rakyat yang terutama, yang membuat Bush harus menelan pil pahit pemilu sela 2006.
Tak heran, rakyat berpaling ke para Demokrat. Rakyat menyalahkan pemerintahan Bush yang melempem. Hasilnya, ramai-ramai para kandidat Republik bertumbangan. Sebagai konsekuensinya, mayoritas kursi Senat dan Parlemen pun dimandatkan ke Demokrat. Di Senat, Demokrat lantas mempunyai 51 suara, sementara Republik merangkum 49 orang. Di Parlemen, rakyat mengutus 232 Demokrat, dan memberikan 203 sisa kursi ke Republikan.
Kentara betul bahwa selain bermaksud menghukum Bush, rakyat ingin Paman Sam berubah. Gayung pun bersambut. Kandidat terkuat dari Partai Demokrat untuk menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Nancy Pelosi, selepas berbicara dengan Bush telah memutuskan rencana “balas dendam” selama dua tahun ke depan. Ia akan membuat Parlemen meloloskan undang-undang tentang peningkatan upah minimum, pemotongan bunga pinjaman siswa, juga mereformasi praktik-praktik lobi. Bahkan setelah pengumuman kemenangan Demokrat, Pelosi yang diundang dalam perjamuan makan dengan Presiden Bush berhasil menekankan “pendekatan baru untuk Irak”.
Agenda jangka pendek Pelosi, yang secara dramatis disebut sebagai “Rencana 100 Jam”, itu menandakan bahwa Paman Sam siap berbenah. Paling tidak di dalam negerinya sendiri, sebab para pengamat mengira bila kebijakan luar negeri AS tak akan banyak berubah. Secara sederhana, peralihan kekuasaan di Kongres tidak berarti perubahan kebijakan luar negeri. Bagi Bush, tetap ada beberapa “hal mendasar” yang harus “berada pada jalurnya”.
Yang pasti, ini adalah tentang “Perang Melawan Terorisme”. Konstitusi AS jelas-jelas memberikan memberikan tanggung jawab besar kepada Gedung Putih (lebih besar daripada Kongres) untuk berurusan dengan pihak atau negara lain yang mengancam Amerika. Kekuatan Bush terletak di sini. Ia adalah satu-satunya orang AS yang bisa seenaknya mengubah haluan politik luar negeri Washington. Sebagai presiden, ia punya semacam hak prerogatif untuk melindungi setiap inchi dari tubuh Paman Sam, dan karena butuh alokasi anggaran yang besar, ia tak akan ragu bila harus bertarung dengan masing-masing orang di Kongres untuk menyampaikan kebenaran dari rumusan kebijakan luar negeri semacam itu. Strategi Ketahanan Nasional yang mengutamakan demokrasi dan mencegah aksi terorisme agaknya akan menjadi kekal di bawah desakan Bush.
Kemudian, tentang Irak. Kongres punya kekuatan konstitusional untuk menghentikan perang, sebagaimana pernah terjadi pada Perang Vietnam 1974. Hanya, Demokrat tidak terlalu bodoh untuk langsung memotong agresi Bush (dan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld yang baru saja mengundurkan diri). Penghentian anggaran Perang Irak dan penarikan pasukan AS hanya akan menampar muka sendiri. Katastrofi AS di Irak adalah problem riil. Namun, pergi begitu saja dari negeri Saddam Hussein itu hanya akan membuahkan kecaman dalam negeri dan dunia karena berkesan “cuci tangan”. Lagi pula, Demokrat pasti lebih memilih “memelihara” Perang Irak sebagai sarana untuk menekan lawannya: bahwa persoalan terletak di Bush dan Partai Republik-nya.
Tiga hal pokok yang dipaparkan di sini adalah kemungkinan AS ke depan pascapemilu sela 2006. Di dalam negeri, “Rencana 100 Jam” dari Demokrat tidak terlalu kontroversial dan cenderung menjadi pakem dari setiap pemerintahan. Malah, rencana pemotongan pajak di sejumlah bidang, juga rencana pengurangan ketergantungan minyak luar negeri dianggap banyak kalangan sebagai sesuatu yang mengada-ada.
Di luar negeri, hasil pemilu sela 2006 mungkin saja bisa memberikan arah pandang baru dalam penyelesaian konflik di Irak. Bukan berarti tentara AS langsung ditarik dari Irak, namun setidaknya akan ada pengurangan personil dari medan perang itu, yang bakalan menenteramkan mayoritas rakyat. Namun, kebijakan AS mengenai “Perang Melawan Teror” tidak akan mengalami perubahan signifikan. Banyak negara dan organisasi dan individual yang sudah terlanjur marah terhadap agresivitas AS. Rakyat AS pun mau tak mau sepaham dengan Bush yang percaya bahwa jaringan teroris masih saja punya rencana menyerang AS. Entah sampai kapan.
Bush telah membawa AS “kesepian” karena Irak dan kontraterorismenya. Bush sendiri benar-benar kesepian ketika rakyat berpaling daripadanya. Semua ini bisa jadi akan membaik jikalau Paman Sam sedikit-banyak mau mengubah kebijakannya, di dalam dan luar negeri.

Dani Wicaksono/The Economist/Time