Saturday, November 18, 2006

Politik Dominasi Australia di Kepulauan Solomon

Politik Dominasi Australia di Kepulauan Solomon

Pada 7 Mei 2006 kemarin, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengecam para pemimpin Australia yang terlalu ikut campur urusan dalam negeri Solomon. “Australia tampaknya bermaksud memanfaatkan lisensinya sebagai partner untuk menginfiltrasi hampir semua sektor publik,” kata pemimpin dari salah satu negara yang memperoleh kucuran bantuan tetap dari Australia itu.
Ini bukan perkara baru. Sepanjang Juli 2003, parlemen Solomon sudah memperdebatkan rencana perizinan intervensi RAMSI ketika negara itu diguncang perang saudara (separatisme). Saat itu, Sogavare yang belum menjabat sebagai PM memperingatkan parlemen bahwa kedatangan Australia dengan RAMSI-nya “hanya akan mendekolonisasi negara ini.” Sebelumnya, Perdana Menteri Australia John Howard bahkan lebih dahulu bersuara pada 4 Mei: “Pengangkatan keduanya akan berdampak serius pada reputasi dan posisi Kepulauan Solomon, secara regional maupun internasional.”
Sedangkan peristiwa 7 Mei dipicu oleh keputusan Sogavare untuk mengangkat Charles Dausabea and Nelson Ne'e sebagai menteri kepolisian dan menteri pariwisata. Padahal, seturut Australia, dua orang itu bertanggung jawab atas kerusuhan April di ibukota Honiara. Waktu itu Australia berada di Solomon sebagai pemimpin Misi Bantuan Regional untuk Kepulauan Solomon (RAMSI).
Puncaknya, pada 13 September 2006, Kepulauan Solomon mengusir diplomat Australia. Komisaris Tinggi Australia di Honiara, Patrick Cole, diusir dari Kepulauan Solomon setelah Perdana Menteri Manasseh Sogavare mengumumkan diplomat itu sebagai persona non grata. Cole dituduh campur tangan dalam politik dalam negeri setelah ia mengecam pembentukan sebuah komisi penyelidik mengenai kerusuhan di Honiara.
Australia merasa tertampar. Mereka yang datang ke Honiara untuk menolong, ternyata harus pulang dengan muka merah.
Sogavare menyatakan bahwa pengangkatan kedua tersangka (versi Australia) tidak menyalahi konstitusi, sebab mereka tidak bersalah sampai hukum memutuskannya bersalah. Ia juga mengkritik dakwaan RAMSI terhadap kedua menteri itu: “Kami akan berhati-hati dengan bukti-bukti yang tidak bisa diterima pengadilan kami, dan para penyidik kami sedang membahas hal itu.”
Belum juga ada solusi untuk peristiwa tersebut, Kepulauan Solomon kembali membuat Australia meradang dengan keputusannya untuk melindungi Julian Moti, adalah orang Australia yang baru saja diangkat menjadi Jaksa Agung Kepulauan Solomon. Padahal, ia telah dituntut Australia karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di daerah Vanuatu, dan diduga disembunyikan oleh Kepulauan Solomon di Papua Nugini—meskipun kabarnya Moti sekarang berada di Honiara. Keberadaan Moti sendiri juga simpang-siur, tetapi yang jelas, ia tidak hadir pada persidangan di Port Moresby atas permintaan Australia.
PM Solomon Manasseh Sogavare, yang tidak peduli dengan permintaan Australia, mengatakan bahwa usulan Australia untuk mengekstradisi Moti adalah berlebihan dan menggelikan. “Orang ini keluar-masuk Australia sejak lama… dan hanya setelah pemerintah Solomon mengangkatnya, ia baru ditangkap.”
Banyak orang menduga bahwa ini semata-mata politik Australia untuk mendominasi kawasan sekitarnya. Bahkan kekacauan yang terjadi di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini adalah dampak tidak langsung dari China dan Taiwan yang berebut pengaruh di Pasifik Selatan. Dalam hal ini, teranglah bila Australia tak mau kalah. John Howard, 67, sejak menjabat pada 1996, membawa Australia sebagai negara yang diplomasi internasionalnya seagresf Amerika Serikat, sekutunya selain Inggris.
Ia mendukung AS menyerbu Irak, mengusir 400 migran Norwegia yang hendak masuk Australia, dan merepotkan Indonesia untuk kasus pemberian suaka bagi sejumlah orang Irian Barat. Sebelumnya Negeri Kanguru di bawah John Howard terlihat benar menekan RI ketika Timor Leste gigih memperjuangkan disintegrasi terhadap Indonesia. Dan sekarang “mengganggu” Kepulauan Solomon dan Papua Nugini.
Di samping itu, fakta bahwa Australia telah menghabiskan dana hingga US$600 juta dalam misi perdamaian di Kepulauan Solomon adalah faktor lain yang tidak bisa diabaikan. Dari dulu Australia beranggapan bahwa para jiran di Pasifik Selatan bisa gagal menyelenggarakan pemerintahannya karena kemiskinan, pemerintahan yang buruk, atau kekerasan etnis. Dan khusus untuk Solomon, negara ini berada di antara “hidup dan mati” ketika dilanda kerusuhan dalam negeri. Dan karena tugasnya sebagai “polisi Asia” harus dijalankan, Australia pun datang dengan sejumlah pasukan penjaga perdamaian.
Dari situ, tentulah Australia tidak mau merugi. Howard tidak mau misinya sia-sia. Dan pasti ada pamrih yang tersembunyi. Karena Kepulauan Solomon bukanlah negara kaya, juga tidak punya kandungan kekayaan seperti Timor Leste, maka motif paling masuk akal dari urusan Australia di sana adalah penegasan dominasi diplomatik Australia di kawasan ini.

Dani Wicaksono/BBC/AFP

No comments: