Saturday, November 18, 2006

Lula yang Tersandung dan Alckmin yang Berbesar Hati

Lula yang Tersandung dan Alckmin yang Berbesar Hati

“Brazil punya masa depan yang cerah, dan akan selalu punya,” kata Charles de Gaulle, mendiang Presiden Perancis ketika memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universidade de Brasília, 13 Oktober 1969. Brazil adalah fantasi lama tentang kenyamanan, negeri yang toleran dan ramah, dengan pantai Copacabana, tari samba, karnaval, sepakbola, dan kebebasan seksual yang ekspresif. Sekaligus Brazil adalah negara yang tergolong kurang dalam hal disiplin dan moralitas, secara personal maupun komunal.
Kasus suap yang menyandung Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, 60, pada pemilu tahap pertama awal Oktober lalu—hingga terpaksa harus bertarung ulang dengan Geraldo Alckmin dari Partai Demokrasi Sosial (PSDB) di pemilu tahap kedua—menjadi penegasan bagi kualitas inheren masyarakat Brazil itu. Hasrat Brazil untuk menjadi negara yang bergegas memajukan perekonomiannya pada akhirnya terbentur oleh watak lamban dan suka menggampangkan. Walaupun bisa diatasi, tetap saja etika Brazil ini tampak jelas dalam komentar Lula: “Hanya butuh sedikit waktu lagi untuk menang.”
Bangsa ini agaknya merasa telah memiliki segalanya—wilayah yang luas (seukuran Eropa), penduduk yang besar (lebih dari 188 juta jiwa), dan lanskap geografis multidimensi. Kekayaan alam dan terbukanya kesempatan apa saja pastilah membuat orang mengira bahwa Brazil adalah sebuah negara (dalam arti pasar) yang menggemaskan. Memang benar. Di samping perlakuan buruk terhadap suku Amazon (perempuan), penindasan terhadap kaum miskin, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan kesenjangan ekonomi yang luar biasa, Brazil (bersama Taiwan) termasuk dalam jajaran terdepan negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi cepat sekali dan berkelanjutan.
Hanya, persoalan-persoalan tersebut di atas terlalu silang sengkarut dan saling mengunci, yang membuat Lula sulit berkelit. Tragisnya, dampak dari kesemuanya memercik di muka Lula sendiri. Skandal korupsi (suap) menyerang jajaran pemimpin Partai Pekerja (PT) yang ditanganinya, juga mendera sekutu-sekutu terdekat sang “Presiden dengan Sepatu Mengkilat”.
Alkisah, dua minggu sebelum pemilu pertama, dua orang dari Partai Pekerja ditangkap ketika membawa uang kontan sejumlah US$800.000. Penyidik yakin bahwa uang tersebut rencananya akan digunakan untuk menyuap para pesaing biar mereka dituduh korupsi. Kebenaran masih belum diungkap, namun Lula terpaksa sudah harus memecat manajer kampanyenya, Ricardo Berzoini. Meskipun sejauh ini Lula masih bersih dari tuduhan, jelas bahwa hari-hari terakhir menjelang pemilu susulan, media bersama kandidat lain akan memanfaatkan noda ini.
Pesaing Lula, Geraldo Alckmin, tentu menghargai perubahan-perubahan positif yang dikerjakan Lula, terutama ketika menghapus inflasi tinggi. Keunggulan Lula, selain dicintai rakyat kecil, adalah bahwa perekonomian Brazil tumbuh dengan cepat, lebih cepat dari China, dan bahkan bila Lula mengurangi pajak perdagangan dan pajak penghasilan kelas menengah, perekonomian akan tumbuh semakin cepat. Namun tak bisa disangkal bahwa rakyat masih butuh kerja keras pemerintah dalam menghapus korupsi, menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan, layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan berkurangnya aksi kekerasan di jalanan. Selain itu, Lula masih menyimpan persoalan lain: pajak yang terlalu tinggi, transportasi yang kacau, dan pembangunan infrastruktur yang kurang memadai. “Kami juga masih punya 22 persen pengangguran,” kata Luiz Sergio Cardoso de Oliveira, seorang pekerja LSM Embraer, “ditambah para ‘underemployment’, di mana orang mengerjakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu perlu (misal, tukang pencet tombol dalam lift).”
Inilah senjata Alckmin. “Saya akan mengikuti putaran kedua (29 Oktober) dengan kesempatan menang yang lebih besar. Dengan demikian, kita akan memiliki pemerintahan yang punya etika, jujur, dan efisien,” demikian mantan gubernur Sao Paulo itu tampak optimis.
Apalagi semua akan dimulai dari awal, meski pada putaran pertama Alckmin sanggup meraih 41 persen suara, sedikit di bawah Lula yang memperoleh 48 persen suara. Ditambah dengan terbongkarnya skandal penyuapan dan pembelian kertas suara di pihak mayoritas, Alckmin yang menjanjikan pemotongan pajak pantas merasa di atas angin. Sepertinya semua kelompok akan lebih mudah dibujuk untuk bersatu melawan Lula.
Lula telah berhasil mengendalikan inflasi, membuat pemerintahannya menjadi murid teladan dari kebijakan ekonomi neoliberal, dan bahkan membayar lunas hutang ke IMF senilai US$15 miliar. Tetapi, bukan hanya itu yang diminta rakyat. Skandal yang menimpa partainya akan membuat langkahnya semakin berat, dan pemilu Brazil putaran kedua akan semakin seru.
Bisa jadi Lula berpegang pada pemeo lama Brazil: “Rouba, mas faz”, ia mencuri, tetapi ia membereskan semua persoalan. Apalagi orang Brazil terbiasa berpikir bahwa presiden selalu bisa menyelesaikan semuanya. Hanya, bila skandal itu kelak menyeret Lula, ramalan de Gaulle akan membuat Brazil lebih merasa tersindir ketimbang bangga.

Dani Wicaksono/World News/Reuters/BBC

No comments: