Saturday, November 18, 2006

Swedia: Rumah Mewah untuk Rakyat—tetapi Keropos

Swedia: Rumah Mewah untuk Rakyat—tetapi Keropos

Ada ungkapan di Swedia: menjadi orang Swedia berarti bisa mencukupi kebutuhan sendiri, menjaga diri sendiri, dan tidak pernah tergantung pada orang lain. Kebebasan dan kerja keras menjadi persepsi umum, sekaligus persepsi umum dari moralitas. Tetapi ungkapan itu sudah terlalu kuno untuk diterapkan pada zaman ini. Ungkapan itu hanya bisa menemukan praktiknya di Swedia seratus tahun lalu.
Sekarang orang Swedia tak perlu bekerja terlalu keras untuk bisa hidup sejahtera. Kalau perlu, mereka tak usah bekerja sama sekali. Selama beberapa dekade belakangan, negara-negara Skandinavia, terutama Swedia, ditunjuk sebagai bukti betapa sistem yang dijalankannya berhasil memberikan kesejahteraan dan kesetaraan sosial bagi rakyatnya. Swedia adalah salah satu contoh terbaik bagaimana kebebasan ekonomi bisa melampaui tanggung jawab pembangunan dan individual. Artinya, negara dalam keadaan sangat kaya sehingga mampu menjamin segala kebutuhan warganya. Segala kebutuhan warganya!
Sepanjang 1870-an, Swedia adalah negara miskin yang kerap dilanda bencana kelaparan. Semuanya berubah ketika kapitalisme diperkenalkan di negara penghasil Volvo ini. Pasar bebas, hak kepemilikan, serta hukum yang berlaku menciptakan keadaan di mana rakyat Swedia bisa meraih pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat selama waktu nan lama. Antara 1870 dan 1970, Swedia menjadi negara kedua setelah Jepang yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Sejak 1950 hingga awal 1970-an, model perekonomian yang diterapkan oleh golongan Demokrat Sosial sukses menetapi janjinya tentang rendahnya tingkat pengangguran, inflasi rendah, dan distribusi kekayaan yang relatif merata.
Itu adalah masa-masa ketika partai Demokrat Sosial melakukan hal-hal radikal. Mereka meninggalkan kebijakan-kebijakan pragmatis yang tradisional, dan mulai ekspansi skala besar menjadi welfare state (negara kaya). Antara 1970 dan 1990 pajak meningkat hampir satu persen di setiap kategori, di setiap tahun. Alhasil, pendapatan negara dari pajak melonjak dua kali lipat sejak 1960-1990, dari 30 persen hingga 60 persen. Ekspansi massif di sektor publik mengurangi angka pengangguran dengan kilat. Partai Demokrat Sosial yang secara konsisten merajai pemilu sejak 1932-1976 dianggap memiliki andil paling signifikan dari kejayaan ini. Dominasi partai Demokrat Sosial selama empat puluh dua tahun membentuk sistem welfare state di Swedia—dalam pengertian bahwa negara menekankan kualitas-kualitas yang punya kemungkinan tinggi untuk mendongkrak pemasukan.
Namun, selama 25 tahun belakangan, model perekonomian yang diterapkan menunjukkan bahwa Swedia merupakan negara dengan tingkat pajak tertinggi di dunia. Hanya, pemerintahan yang bersih membuat tingginya pajak menjadi masuk akal dengan kompensasi yang diterima warganya. Para pembayar pajak di Swedia ikhlas-ikhlas saja memenuhi peraturan sebab mereka pun beroleh keuntungan luar biasa dari pelayanan negara untuk publik. Rakyat menikmati pelayanan pendidikan, kesehatan, keamanan sosial, dan bahkan tunjangan bagi yang tidak bekerja. Sayangnya, sistem welfare Swedia tidak begitu kebal terhadap pelbagai problem politik dan ekonomi yang dihadapi banyak bangsa lain di dunia. Selepas rentang waktu kejayaan itu, model Swedia kemudian menghadapi persoalan yang sama dengan bangsa lain: pengangguran, disintegrasi (lebih karena persoalan rasisme terselubung), imigrasi yang terus membengkak (“Imigrasi baik untuk ekonomi,” begitu semboyan Swedia), dan minimnya lapangan kerja (golongan muda merasa bahwa kaum tua telah “mencuri” pekerjaan mereka). Persoalan ini memuncak, dan menjadi isu nasional. Pada 14 Mei 2005, serikat pekerja dagang nasional menuntut “redistribusi” pekerjaan dengan cara memberlakukan pensiun dini di usia 55. Kalau perlu di usia lebih muda lagi. Mereka bisa saja “dipaksa” untuk melanjutkan studi, atau apa pun yang mungkin dan baik. Asumsinya, kebijakan ini akan “menciptakan” 55.000 lowongan pekerjaan baru.
Ini adalah persoalan besar. Pensiun di usia 55 adalah biasa. Namun, pensiun di umur 30 akan menjadi beban sosial dan ekonomi yang besar bagi negara (NB: negara memberikan tunjangan pensiun/penganggur yang bisa mencapai 80 persen gaji pekerja). Begitu pun, negara tetap memenuhi usulan tersebut. Akibatnya, mental pekerja keras yang dimiliki bangsa Skandinavia luntur sama sekali. Selama beberapa tahun belakangan, jumlah warga Swedia yang harus disantuni oleh negara karena menganggur, cuti sakit, atau pensiun dini meningkat secara dramatis. Pada Juni 2005, 500.000 orang dikabarkan mengajukan pensiun dini. Di antara angka itu, 68.000 berusia di kisaran 20-40 tahun. Negara terpaksa harus mengeluarkan 700 miliar kronor sebagai kompensasi demi “menciptakan” lapangan kerja baru.
Frase terkenal “Something is rotten in Denmark” yang diucapkan Hamlet dalam drama karangan Shakespeare berlaku pula di Swedia. Negara ini tampak gagah perkasa dari luar, namun digerogoti penyakit di dalam tubuhnya. “Sistem ekonomi Swedia tidak lagi mampu menciptakan lapangan kerja, sementara sektor publik tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja,” demikian ramalan (yang sungguh-sungguh terjadi) dari Virginia Postrel dalam Reason Magazine, November 1999.
Swedia benar-benar butuh perubahan. “Rumah Rakyat”, begitu semboyan welfare state-nya Swedia, harus diperbaiki bagian dalamnya. Kemenangan Fredrik Reinfeldt, ketua Partai Moderat, atas Partai Demokrat Sosial pimpinan Goeren Persson barangkali akan mengubah wajah Swedia ke depan. Reinfeldt, sebagai Perdana Menteri Swedia yang baru, memang telah berjanji untuk merevisi sistem perekonomian Swedia. Namun, ia tak boleh sekadar berjanji. Ia harus bergegas sebelum “Rumah Mewah” itu ambruk.

Dani Wicaksono/IHT/BBC/CNN/AFP/The Local/Challenge

No comments: