Saturday, November 18, 2006

Negeri Matahari yang Nyaris Terbenam

Negeri Matahari yang Nyaris Terbenam

Setelah Kaisar Akihito, Jepang masih memiliki dua pangeran: Naruhito (Putra Mahkota, ahli waris kerajaan) dan Akishino. Setelah itu, pun Negeri Sakura ini masih punya satu Putra Mahkota, seorang bayi yang baru lahir pada 6 September lalu, yang kemudian diberi nama Hisahito. Ia adalah anak lelaki dari pasangan Pangeran Akishino dan Putri Kiko. “Hisa” artinya ketentraman, sementara “hito”, yang digunakan dalam garis urutan pewaris tahta, berarti “standar moral yang tertinggi”. Tradisi kekaisaran Jepang masih lestari dalam detik-detik terakhirnya.
Sebagai sebuah kerajaan, Jepang bisa dibilang tertua di dunia yang masih tegak di muka bumi hingga saat ini. Kaisar Jinmu diyakini menjadi “Putra Matahari” pertama dari kekaisaran Jepang sejak ia mempersatukan seluruh negeri ke dalam pemerintahannya pada abad 7 Masehi. Hingga sekarang, dipercaya pula bahwa pohon kehidupan kekaisaran tidak pernah patah satu kali pun. Kaisar sekarang, Akihito, berdasarkan silsilah resmi yang dikeluarkan kerajaan, adalah pewaris tahta Jepang generasi ke-125.
Selama 125 generasi itulah kultur dan nilai-nilai Jepang dirawat dan dipelihara dengan baik. Kaisar bagi Jepang adalah pusat alam semesta. Ia adalah keturunan langsung dari Dewi Matahari (Amaterasu Omikami), sekaligus penjelmaan dari Kaisar Langit (Tenno). Ada kualitas divine yang terpancar dari setiap kaisar Jepang. Restorasi yang dilakukan oleh Meiji ternyata hanya membuat kekaisaran lebih terlihat manusiawi ketimbang “langitan” murni.
Kaisar Meiji pada pertengahan abad 19 memang menyibak politik isolasi yang dibuat oleh Ieyasu Tokugawa karena khawatir terhadap penetrasi misionaris Katholik dari luar negeri. Meiji juga menggeser pemerintahan Jepang yang feodal menuju sistem yang lebih modern. Jepang mengadopsi beberapa institusi Barat pada periode Meiji, termasuk pemerintahan modern, sistem hukum, dan militer. Inilah yang membuat Kekaisaran Meiji lebih terlihat manusiawi. Namun, secara keseluruhan, kaisar masih mendapat tempat paling tinggi dalam hierarki manusia Jepang.
Bagi masyarakat Jepang, kaisar merupakan pilar terakhir yang menyangga keutuhan bangunan historis dan politis. Orang tentu masih ingat dengan keputusan Hirohito, cucu Meiji, untuk mengizinkan pemimpin pemerintahan melakukan ekspansi wilayah ke negeri lain (Tiongkok—terutama daratan China dan Korea). Juga kesediaan Jepang pada 1936 menandatangani Pakta Anti-Komintern dan bergabung dengan Jerman dan Italia untuk membentuk suatu aliansi axis. Di sini, keputusan tertinggi tetap di tangan kaisar. Tidak ada yang berani membangkang. Termasuk ketika Hirohito mengumumkan takluknya Jepang di tangan Amerika setelah dihujani bom atom di akhir Perang Dunia II. Tidak ada yang menolak.
Meski secara fisik manusia biasa, institusi kekaisaran adalah warisan mulia yang menautkan masa lalu dengan masa kini Jepang. Kaisar adalah titik pusat bagi segala upaya untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan kesatuan negara. Dan seturut hukum Kekaisaran Jepang yang berlaku sampai sekarang, ia harus laki-laki.
Keharusan jenis kelamin laki-laki sebagai syarat tak tertolak untuk menduduki tahta kekaisaran—di samping beberapa syarat lain—tidaklah menjadi masalah pada masa Kekaisaran Hirohito. Namun, sejak 40 tahun berselang, negara ini mengalami paceklik keturunan laki-laki. Ini membuat was-was banyak kalangan.
Usulan untuk mengubah konstitusi pun dikemukakan demi memecahkan kebuntuan. Asumsinya, semua orang tentu tidak ingin bahwa kekaisaran “Matahari Terbit” harus terbenam begitu saja. Dan mengingat kenyataan yang tidak pasti tentang jenis kelamin bayi yang akan lahir, sebuah perubahan mungkin harus dilakukan. Alasannya sederhana saja: agar Matahari tidak cepat terbenam.

Dani Wicaksono

No comments: