Saturday, November 18, 2006

Peran Martti Ahtisaari bagi Politik Luar Negeri Finlandia

Peran Martti Ahtisaari bagi Politik Luar Negeri Finlandia

Sebelum digantikan oleh Tarja Halonen, Martti Oiva Kalevi Ahtisaari adalah Presiden Finlandia yang berjasa memperkenalkan negara produsen Nokia tersebut ke publik dunia. Lahir pada 23 Juni 1937 di Vyborg, Rusia, Martti menjadi Presiden Finlandia periode 1 Maret 1994–1 Maret 2000.
Martti juga tercatat sebagai seorang Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB urusan status Kosovo. Ia pun ternama sebagai diplomat dan mediator untuk PBB dengan reputasi internasional. Bahkan ia melanglang buana ke mana-mana untuk mengupayakan penyelesaian konflik. Ia pernah mempertemukan Viktor Chernomyrdin dengan Slobodan Milosevic untuk mengakhiri pertikaian di Kosovo pada tahun 1999.
Indonesia cukup akrab dengan mediator yang satu ini. Ia yang juga memimpin Inisiatif Manajemen Krisis (CMI) sejak 2000 lalu didaulat untuk menengahi konflik Aceh sejak Februari 2004. Selama delapan bulan kemudian ia mempersiapkan naskah kesepahaman Helsinki, dan tampil sebagai aktor utama di balik penandatanganan perjanjian damai antara GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. “Kita duduk di sini untuk menyaksikan puncak proses perdamaian… konflik Aceh… sehingga ke depan rakyat Aceh bisa memulai hidup dalam kedamaian, keadilan, dan dalam masyarakat yang demokratis,” demikian pidato pembukaan Martti Ahtisaari dalam forum bersejarah tersebut.
Seperti katanya, Aceh mengawali era baru. Rakyat Aceh lantas hidup dalam damai, lepas dari segala beban konflik yang mendera puluhan tahun lamanya. Aceh pun menggeliat kembali dan menggulirkan roda kehidupannya secara normal. Pantas kiranya bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkenan menganugerahkan Bintang Republik Indonesia Utama kepada Martti pada 18 Agustus 2006. Sebab proses ini tidak akan berlangsung dengan segera tanpa ada dukungan penuh dari Martti dan pemerintah Finlandia.
Adalah Martti pula yang sejak tahun lalu menekankan usulan supaya Uni Eropa mempertimbangkan (kembali) permintaan Turki untuk bergabung dalam persekutuan terbesar antarnegara itu. Menurut Martti, Turki telah memenuhi dua syarat utama untuk menjadi anggota UE: reformasi komprehensif untuk memperkuat penegakan hukum dan HAM, serta persetujuan terhadap Protokol Adaptasi dari Perjanjian Ankara—yang melebarkan status keanggotaan UE. Pengakuan Turki terhadap kedaulatan Republik Siprus, termasuk perluasan wilayah Siprus hingga ke sebelah utara pulau itu, menurut Martti, seharusnya tidak dianggap sebagai prasyarat untuk memulai pembicaraan tersebut.
Lagi pula, Customs Union yang dirumuskan sejak sebelas tahun lalu memperbolehkan adanya perdagangan bebas antarnegara Eropa, asal tidak menyangkut komoditas agrikultural. Dan dengan terpenuhinya syarat-syarat lain, tidak ada alasan lagi bagi UE untuk selalu menolak proposal Turki untuk menjadi anggota tetap UE.
Dan sekarang Presiden Finlandia menjabat sebagai pemimpin dari 25 negara yang bersatu. Barangkali usulan Martti akan lebih mendapat tempat untuk dibicarakan lagi. Ini penting tidak hanya bagi Finlandia, tetapi juga UE secara umum. Finlandia akan semakin harum namanya sebagai negara yang benar-benar terlatih sebagai mediator, dan Uni Eropa tidak lagi diolok-olok sebagai sebuah persekutuan yang ambigu dan pilih kasih.


Dani Wicaksono/Wikipedia/Crisis Management Initiatives

No comments: