Saturday, November 18, 2006

Segiempat Hilang Bentuk

Segiempat Hilang Bentuk

Hubungan Suriah, Amerika Serikat, dan Israel disatukan oleh satu hal: Libanon. Suriah dan Israel berperang demi berebut Libanon, sementara Amerika datang sebagai tuan pelindung dan pendamai pihak-pihak yang bertikai. Hubungan mereka pada awalnya seperti segiempat beda kepentingan, tetapi kemudian benar-benar kehilangan bentuknya.
Pada Mei 1966, setahun penuh sebelum Suriah benar-benar kehilangan Dataran Tinggi Golan di Libanon, Menteri Pertahanan Hafiz al-Assad meramalkan sebuah perselisihan total dengan negara Yahudi: “Kami tidak akan pernah menuntut, atau menerima, perdamaian. Kami niscaya akan menerima perang, dan hanya perang, dan pengembalian tanah itu kepada kami. Kami telah memutuskan untuk membasahi tanah itu dengan darah kami, untuk mengusir kalian para agresor, dan melempar kalian ke laut demi kebaikan.”
Tetapi kemudian, sejak awal 1990 dan terutama pada 1994, Assad melupakan kata-katanya sendiri dan meminta diadakan perjanjian damai dengan Israel. Pada masa-masa itu, hubungan Suriah dan Israel cenderung membaik dan tidak lagi mengedepankan soal perebutan dan pendudukan Dataran Tinggi Golan. Seorang jurnalis Israel diperbolehkan masuk Suriah dengan aman, dan para diplomat Suriah menyambut utusan dari Israel di Berlin. Kementerian ekonomi dan perdagangan luar negeri bersedia diwawancarai oleh sebuah koran Israel. Bahkan Juli 1994, pemimpin Suriah waktu itu berjabat tangan dengan pemimpin Yahudi.
Ini adalah kabar menggembirakan bagi AS. Sejak berakhir perang Yom Kippur 1970-an—di mana Israel dan Suriah berebut Dataran Tinggi Golan di Libanon—Amerika Serikat selalu berusaha meredam tensi dari kedua musuh bebuyutan itu, yang selalu siap untuk berperang lagi, kapan pun dan di mana pun. Bagi AS, keduanya seperti anak bengal yang selalu bertengkar. Suriah adalah pemain sentral di perpolitikan Timur Tengah, sementara Israel adalah kepanjangan tangan dari kepentingan AS di sana. Keduanya seperti berinduk semang pada AS.
Secara historis, upaya-upaya diplomatik AS untuk mendamaikan konflik Arab-Israel (1948), termasuk dengan cara menggandeng Suriah sebagai kawan, selalu disertai dengan kepentingan-kepentingan strategis, regional, dan bilateral. Kepentingan strategis ini mencakup pencegahan konflik-konflik regional agar tidak memuncak menjadi konfrontasi dua negara adidaya—sebab ada terlihat keterlibatan Moskow di peninsula tersebut. Amerika menggandeng Suriah untuk memberi alternatif lain supaya tidak berkoalisi dengan Uni Soviet, selain untuk secepat mungkin menyelesaikan peperangan (sebab akan berpengaruh terhadap pasokan dan harga minyak dunia. Kepentingan regional meliputi pengembangan sebuah komunitas kepentingan di antara negara-negara Arab moderat, penghilangan friksi di antara negara-negara Arab yang menjadi kawan AS dan Israel, serta menciptakan kestabilan kawasan dengan membantu pengembangan ekonomi dan sosial. Terakhir, kepentingan bilateral mengacu pada upaya memuluskan jalan Israel untuk mencapai perdamaian dan situasi normal. Sekaligus, hal ini akan memperkuat ikatan AS dengan negara-negara Arab yang menjadi kawan seraya mengucilkan organisasi-organisasi dan negara-negara radikal. Kalau perlu, AS tak akan segan-segan menggulingkannya (seperti kasus pemerintahan Saddam Hussein di Irak).
Suriah yang juga terlibat di perang Arab-Israel, di bawah Hafel al-Assad, pada mulanya memilih Mikhail Gorbachev sebagai patron. Namun, penarikan diri pasukan Uni Soviet dari wilayah Arab mengandaikan kebingungan Assad dalam upaya mencari dukungan politis dan ekonomi bagi pasukannya yang besar. Assad segera memalingkan pandangan ke Washington. Pada pertengahan 1990-an, invasi Saddam Hussein terhadap Kuwait telah membuka peluang bagi Assad untuk mendapatkan perhatian Gedung Putih. Assad bermain dengan sangat cantik, mengakrabkan diri dengan AS, dan lantas berhasil meminggirkan rivalnya dari sesama partai Ba’ath, memperoleh jaminan politik dan keamanan dari AS untuk masalah Libanon, serta mendapatkan bantuan ekonomi yang memadai. Hubungan AS-Suriah membaik sejak saat itu, seiring dengan menguatnya dampak politik Assad terhadap negara-negara PLO, Irak (pada kaum Sunni), atau Libanon sendiri. Meskipun secara politik Suriah kuat, namun pengaruhnya melemah di Yordania, Turki, dan Israel.
Hanya, persekutuan AS dengan Suriah bukan serta-merta berarti perdamaian abadi dengan Israel. Assad selalu mengungkit lepasnya Dataran Tinggi Golan ke tangan Israel, dan selalu menuntut pengembalian kawasan itu. Pendudukan Suriah ke Libanon secara politik dan administratif sejak 1970-an menegaskan bahwa negara bentukan Suriah ini menjadi penghubung dari hubungan aneh antara AS, Israel, dan Suriah. Hubungan yang ambigu dan tak tentu arah.
Suriah sendiri menegaskan keanehan hubungan itu dengan diam-diam memberi dukungan pada kelompok-kelompok yang bagi AS disebut teroris: Hizbullah, Fron Pembebasan Populer Palestina (PFLP), Hamas, Jihad Islam Palestina (PIJ), serta membiarkan aliran bantuan senjata dari Iran ke Hizbullah melewati Damaskus. Suriah kemudian mendukung dan berpartisipasi dalam perang global Amerika melawan terorisme pasca-11 September 2001. Namun, selanjutnya Suriah mengecam serangan AS ke Irak pada Maret 2003. Pada Desember 2003, Presiden George W. Bush malah menandatangani “Akta Restorasi Kedaulatan Libanon dan Akuntabilitas Suriah 2003” yang menyatakan bahwa Suriah harus mengakhiri dukungannya kepada kelompok teroris Palestina, mengakhiri kehadiran militer dan keamanannya di Libanon, dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Dewan Kemananan PBB. Presiden Bashar al-Assad (anak dari Hafez al-Assad) dari Suriah akhirnya angkat kaki dari Libanon pada Mei 2005, setelah menduduki negara itu selama 30 tahun lebih.
Suriah seperti kehilangan sekutu. Apalagi setelah kepergian Suriah, Israel kemudian menyerbu Libanon dengan alasan untuk membebaskan dua serdadunya yang ditawan Hizbullah, dan Amerika diam saja. Suriah pun marah. Bashar merasa bahwa ia dan Suriah masih merupakan kekuatan penting bagi AS untuk menjaga kestabilan atau ketidakstabilan kawasan yang labil itu. Suriah pun semakin mendukung Hizbullah. Dan hubungan itu semakin renggang. Semakin tak berbentuk.

Dani Wicaksono/Wahington Post/The Weekly Standard/National Review Online/DEBKAfile/BBC

No comments: