Saturday, November 18, 2006

Korea Utara: Yang Terhempas dan Yang Putus Asa

Korea Utara: Yang Terhempas dan Yang Putus Asa

Ada ungkapan dari Clausewitz yang sering dikutip: “Perang adalah semata-mata terusan dari kebijakan dengan cara lain… apa yang khusus dari perang adalah cara itu sendiri.” Kita bisa melihat Korea Utara dari sini. Tujuan utama Korut mencoba nuklirnya adalah cara menunjukkan kepada dunia bahwa rezim ini masih bisa bertahan. Sekaligus, inilah kebijakan yang diambil Kim Jong Il untuk mendesak balik Amerika Serikat.
Idealnya, memang Korut tak perlu melakukan permainan berbahaya ini. Seharusnya Korut mengikuti langkah China (patron dan partner mereka selama ini) sepeninggal Ketua Mao: mereformasi ekonomi dan menyibak tirai bambu mereka dengan hati-hati sekali, seraya masih mengukuhkan monopoli kekuasaan dari Partai Komunis. Paling tidak, China telah bangkit secara ekonomi dan dihargai secara politik. Paling tidak, sekali lagi, China sukses memperbaiki sistem ekonomi ala Marx yang terbukti kalah bersaing dengan kapitalisme.
Namun, Korut bukan China. Bagi Korut, reformasi ekonomi dan penetrasi kapital, atau gagasan unifikasi dengan Korsel dan pergantian rezim adalah racun yang bakal membangkrutkan pemerintahan dan ideologinya. Dan itu menciptakan ketakutan yang kian hari kian menggunung: ketakutan terhadap masa depan, ketakutan terhadap negara lain. Rakyatnya miskin, kelaparan melanda di mana-mana, dan negara merasa harus bersaing dengan jirannya seperti Korsel atau Jepang, juga dengan Amerika Serikat. Ketakutan multidimensi inilah yang membuat orang punya istilah baru dalam hal ideologi dan ketatanegaraan: paranoia Korsel.
Selama dua pemerintahan terakhir, Washington telah mengusahakan pelbagai macam strategi agar Pyongyang tidak mengembangkan nuklir. Pemerintahan Clinton mencoba merangkul Kim dengan baik-baik, seraya menjanjikan kerjasama bilateral yang sepaket dengan bantuan makanan dan energi. Entah kenapa, Korut menolak. Lantas Bush mengumumkan kepada dunia pada 2002, barangkali karena AS juga sudah kehilangan akal, bahwa Korut adalah salah satu anggota poros setan selain Iran dan Irak. Sanksi ekonomi pun dilayangkan ke Korut—terutama sebagai tekanan agar Kim tidak membuat nuklir.
Benar kiranya bila kemudian ratusan atau ribuan atau bahkan jutaan warga Korut menjadi korban dari kelaparan akibat sanksi ekonomi yang dikampanyekan AS. Hanya, tekanan AS jugalah yang membuat Korut menjadi monster. Korut akhirnya mempunyai momentum untuk menjadi kuat. Dengan kata-kata Kim Jong Il sendiri, “Semakin kecil sebuah negara, ia harus semakin kuat untuk mempertahankan kehormatannya.”
Korut dibanting oleh kekuatan adidaya AS (menyebut AS, berarti kita harus melihat sekutu-sekutunya pula). Korut dianggap sebagai negara gagal (secara ideologis) oleh sebagian kalangan, sementara Korut juga diabaikan (secara politis) oleh sebagian besar komunitas internasional. Dan Kim mengubahnya sebagai kekuatan penempa: nasionalisme dan anti-liberalisme, dan … nuklir!
Percobaan nuklir Korut 9 Oktober 2006 lalu memberikan pemahaman tertentu bahwa pendekatan keras kepada negara ini tidak akan berhasil sama sekali. Bahkan, ketika Jepang dan Korsel dan China dan AS dan PBB siap merumuskan sanksi lain, Korut menunjukkan gelagat lebih buruk dengan menyatakan kesiapan untuk melakukan ujicoba kedua. Korut seperti putus asa ketika dunia seolah berpaling daripadanya.
Negara-negara pemilik nuklir seperti AS dan China, yang dalam perkara ini sepakat menyingkiri Korut, mungkin saja siap menghadapi segala kemungkinan—bahkan yang paling buruk sekali pun. Namun, Korut dan dunia sisanya akan diliputi ketakutan apabila sanksi benar-benar dijatuhkan. Apa pun macamnya, sanksi itu jelas tidak akan ringan. Bisa jadi malah lebih keras daripada embargo ekonomi AS. Kalau pun sama, cakupan sanksi itu akan lebih luas dan lebih panjang, dan rakyat jelata Korut pula akhirnya yang sengsara.
Bennett Ramberg punya usulan menarik. Ia yang pernah bekerja di Departemen Dalam Negeri semasa pemerintahan Bush senior percaya bahwa Amerika Serikat tidak akan mempergunakan kekuatan militer untuk menangkal nuklir Korut. Belum lama ini Ramberg menulis di The Guardian bahwa solusi terbaik adalah menghilangkan paranoia dan mengurangi isolasi Korut. Caranya tentulah memberi harapan Korut untuk bangkit secara ekonomi—dan bukannya secara militer.
Bisa dengan cara mengucurkan dana internasional seraya menekankan perubahan model ekonomi, atau dengan mendukung keinginan Korsel untuk menggenjot kerjasama perdagangan dengan saudaranya itu. Bisa pula AS bersikap rendah hati dengan memberikan bantuan ekonomi dengan syarat Korut tidak mengembangkan senjata nuklir (seperti dilakukan oleh George W. Bush untuk nuklir India) atau mengacuhkan Korut dengan segala langkahnya (seperti dulu dilakukan John F. Kennedy semasa Krisis Nuklir Kuba 1961, terutama setelah menarik rudal nuklirnya dari perbatasan Kuba).
Begini pertimbangannya. Semakin dihempaskan, semakin Korut akan frustasi. Pyongyang yang terisolasi sudah menunjukkan sikapnya yang paranoid terhadap dunia luar dan kemungkinan serangan AS. Ditambah dengan sanksi yang berat, Korut tidak hanya akan membuat rakyatnya lebih sengsara, tetapi juga akan berjuang hidup dengan segala cara.
Korsel sudah memutuskan hubungan dagang. China menjauh. Jepang mengutuk. Amerika meradang. Dan kalau dunia ikut-ikutan berpaling muka, Korut siap perang dengan caranya sendiri. Minimal, mereka tidak akan segan untuk menjual senjata kepada “dunia bawah”: teroris, mafia, atau siapa pun dia yang butuh nuklir. Akhirnya, umat manusia pula yang rugi.

Dani Wicaksono/The Guardian/Time/BBC

No comments: