Saturday, November 18, 2006

Chico Mendes: Pohon Tertinggi di Brazil

Chico Mendes: Pohon Tertinggi di Brazil

Ada pohon menjulang sangat tinggi di Brazil pada suatu masa. Bisa jadi tertinggi di daratan itu. Saking tingginya, orang akan mendongak, melihat bahwa rimbun dedaunan pada ranting dan cabangnya sanggup menyejukkan dunia dari terik matahari. Dan setelah merenungkan hikayat pohon ini, orang tidak akan keberatan untuk mendecakkan kekaguman. Sekaligus tabik yang tulus.
Pohon itu ada di Amazon. Usia kehidupannya cuma 44 tahun. Pohon itulah yang menandai kenyataan bahwa, di Brazil, hutan dan ekosistem—termasuk manusia—yang hidup di dalamnya pernah terpelihara dan dijaga dengan sangat baik. Pohon itu bukanlah jenis makhluk hidup yang terdiri atas batang, akar, bunga, buah, dan daun. Pohon itu sebenarnya menunjuk pada seorang manusia Brazil yang bertaruh nyawa demi tegaknya kemanusiaan. Namanya Chico Mendes. Lengkapnya: Francisco Alves Mendes Filho.
Chico Mendez (15 Desember 1944 – 22 Desember 1988) adalah seorang penyadap karet dari Acre State, Brazil, yang menentang pembalakan hutan-hujan Amazon. Ia adalah seorang lelaki bersahaja yang putus sekolah pada usia 9, yang dewasa pada masa ketika harga karet terpuruk pada 1960-an. Ia kemudian melihat bahwa para tuan tanah mulai menjual lahan-lahan karetnya untuk ditebangi. Kayunya dijual, sedang tanahnya disulap menjadi tempat-tempat beternak sapi.
Barangkali Mendes menyimpan keengganan terhadap pembaharuan—infiltrasi budaya beternak di kalangan penyadap karet. Barangkali Mendes hanya berpikir bahwa matapencahariannya, juga sejumlah orang di bawah naungan serikat pekerja yang ia kelola, akan tumpas seiring dengan tumbangnya batang-batang pohon karet. Barangkali pula tindakannya hanya terdorong oleh keharusan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga dan masyarakatnya—yang hanya tahu menyadap karet. Namun publik akan lebih menghormatinya sebagai orang yang lugas berkata: “Pertama-tama, kurasa aku hanya berjuang untuk menyelamatkan pohon-pohon karet, kemudian kurasa aku berjuang untuk menyelamatkan hutan Amazon. Sekarang aku sadar bahwa aku berjuang demi kemanusiaan.”
Itulah yang kerap dilupakan. Sehebat-hebatnya dan sehormat-hormatnya, Mendes berjuang demi kemanusiaan secara umum. Ia yang tidak berpendidikan formal ternyata memiliki pemahaman visioner tentang pentingnya hutan (Amazon) bagi dunia. Sadar atau tidak, Chico Mendes tahu bila urgensi dari penyelamatan hutan ditandai dengan semakin bertambahnya populasi yang memanfaatkan alam, dan semakin berkurangnya kekayaan yang terkandung karena eksploitasi berlebihan. Orang semakin sadar bahwa deforestasi, selambat apa pun, akan berdampak buruk terhadap lingkungan, ekonomi, ekosistem, dan bumi secara umum. Dan bila memperkirakan efek yang timbul karena penggundulan hutan, semua akan merasa sedang berpacu dengan malapetaka.
Meskipun daya pikat hutan secara ekonomi acapkali membuat mata menjadi hijau, kita harus sadar bahwa problem lingkungan adalah ancaman tersendiri bagi manusia. Inilah hikmah yang bisa kita petik dari pengorbanan Mendes—yang akhirnya dibunuh oleh para pemilik peternakan yang bersekongkol dengan ketamakan. Keberlangsungan eksistensi manusia ke depan, dari paradigma ini, benar-benar akan ditopang oleh pohon-pohon yang tumbuh tegak di hutan belantara—tidak hanya di Brazil, juga di Indonesia dan di mana-mana.
Memang, “Pohon Mendes” telah tumbang. Tetapi gemuruh suara yang ditimbulkannya seolah menjadi peringatan bahwa kita nyaris kehabisan waktu untuk menyelamatkan hutan dan manusia seisi bumi.

Dani Wicaksono

No comments: