Saturday, November 18, 2006

Problem Terbesar Brazil: Sistem tidak Dihormati

Problem Terbesar Brazil: Sistem tidak Dihormati

Pada minggu-minggu terakhir ini, sebuah skandal korupsi mendera pemerintahan Luis Ignacio “Lula” da Silva di Brazil. Protes disertai demonstrasi dari sayap Kiri dan Kanan memojokkan presiden dan rezimnya.
Joao Pedro Stedile, seorang ekonom dan juga pemimpin dari Gerakan Pekerja Tanpa Tanah (MST), menandaskan bahwa krisis model pembangunan menjadi sebab dari goyahnya posisi Presiden Lula dalam menyambut pemilu putaran kedua 29 Oktober nanti. Kebijakan-kebijakan neoliberal yang diterapkan oleh Brazil dalam waktu lama ternyata tak kunjung menyelesaikan problem-problem fundamental. Pengangguran terus meningkat, pendapatan rakyat terus menurun, dan golongan penduduk yang benar-benar sukses adalah segelintir bankir atau pebisnis transnasional yang bergerak di bidang ekspor—meskipun ada pula beberapa perusahaan domestik yang berkembang.
Bersatunya sayap Kanan di belakang Geraldo Alckmin akan memicu perdebatan akan gagasan dan proyek. Kampanye yang ia jalankan sekaligus akan memperjelas kepentingan-kepentingan kelas yang diusung masing-masing kandidat. Mungkin karena Alckmin melambangkan kepentingan modal, korporasi-korporasi transnasional, pemerintahan Bush, borjuis Brazil dan para petani agrobisnis, yang berhasrat betul menduduki pemerintahan sekarang.
Setiap hari, mereka mengutarakan pentingnya privatisasi—Petrobras, Kantor Pos, jalan, radio, bank, dan perusahaan-perusahaan negara. Mereka menyerukan reformasi undang-undang buruh dan sistem pajak. Lula sendiri dijuluki sebagai murid Washington yang paling berkembang, pembelajar dari ekonomi neoliberal yang paling pandai—sama kualitasnya dengan Taiwan. Akan tetapi, kehendak kaum Kiri untuk membantu para pedagang asongan dan pemulung di jalanan Brazil agaknya masih akan terlaksana. Bukan karena kelas-kelas menengah sudah menyadari tanggung jawab untuk menyempitkan senjangnya kesejahteraan masyarakat, tetapi karena potret itu memang masih lengket dengan Brazil.
Di bawah neoliberalisme, tidak ada ruang tersisa untuk agrikultural skala kecil, dan tidak ada produksi lokal untuk pasar internal. Di bawah neoliberalisme, 900.000 keluarga kehilangan tanahnya, dan 2 juta orang kehilangan pekerjaan agrikultural. Di sektor lain, perhitungan statistik malah lebih buruk lagi: Brazil punya kira-kira 22 persen angka pengangguran. Negara ini lemah, dan mengalami krisis ideologi. Bahkan, kemenangan Partai Pekerja pada 2002 lalu bukanlah karena kelompok Kiri benar-benar melesakkan fahamnya dengan baik, tetapi semata-mata karena mengikuti pandangan sejarah Eric Hobsbawm: unik dan tak terduga.
Memang, di bawah Lula nilai ekspor Brazil tumbuh dengan kuat (mencapai US$3,04 miliar pada Juli 2006), dan investasi asing meningkat (US$1,6 miliar pada Juli, dibanding US$1,06 pada bulan sebelumnya). Namun, perilaku korupsi dan suap yang sudah mendarah-daging di antara pejabat struktural membuat negara ini berisiko keropos. Sebagaimana ditunjukkan oleh Transparencia Brasil, dari 78 firma yang ditanyai pada 2003, lebih dari separuhnya dimintai uang oleh pejabat-pejabat dari dinas pajak. Survei juga membuktikan bahwa dua pertiga dari firma mengaku kena potongan hingga 3 persen dari keuntungan setahun untuk kepentingan menyuap para pejabat.
UNDP yang menyaksikan peningkatan pertumbuhan per kapita pemerintahan Lula (dari US$40 hingga US$47,770 agaknya menyederhanakan masalah ketika mengatakan bahwa persoalan Brazil “hanyalah” meratakan kesejahteraan rakyatnya. UNDP jelas telah melihat pula adanya disparitas pendapatan yang begitu jenjang. Sekitar 22 persen warga Brazil memiliki penghasilan kurang dari US$2 setiap harinya—dan secara teknis, ini disebut miskin. Sekitar 8,2 persen lainnya malah hanya makan dengan uang yang kurang dari US$1 per hari. Di samping itu, 60 sampai 70 persen rakyat Brazil benar-benar kekurangan akses terhadap pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan.
Mereka inilah yang memberi andil besar bagi maraknya kejahatan jalanan dan naiknya tingkat kriminalitas di sejumlah kota besar di Brazil. Mereka tidak menghormati sistem, karena sistem pun tidak menghormati mereka. Sayangnya, skandal suap pemilu sekarang menunjukkan bahwa masyarakat tertinggi di Brazil pun mulai menunjukkan ketidakhormatan yang sama terhadap sistem.
Barangkali itulah problem terbesar yang harus diselesaikan oleh pemerintahan mendatang.

Dani Wicaksono/BBC/AFP/Reuters

No comments: