Saturday, November 18, 2006

Rasialisme di Australia

Rasialisme di Australia

Pada 1953 dua ilmuwan brilian, Francis Crick dan James Watson menemukan seutas benang yang merupakan substansi utama penyangga kehidupan. Penemuan itu lantas diganjar diganjar Nobel 1962 untuk bidang fisiologi/kedokteran. Crick dan Watson menemukan asam deoksiribonukleat (DNA). Di situ tersimpan informasi yang mengatur kelangsungan hidup beserta pewarisan sifat biologis dari tiap organisme: rahasia kehidupan.
Penelitian genetika mengalami kemajuan luar biasa setelahnya. Bahkan pada tanggal 26 Juni 2000, draf kasar peta genom (totalitas informasi genetis) manusia diumumkan—serentak oleh Bill Clinton di White House dan Tony Blair di Downing Street. Ini tentu sebuah peristiwa menakjubkan dalam sejarah dunia: kita adalah spesies pertama yang mampu membaca formula pembuatan dirinya sendiri.
Genom memberikan informasi tentang asal-usul manusia dan sejarah penyebaran kita di muka bumi. Genom juga menjelaskan dorongan naluri manusia, membuktikan siapa yang bersalah dalam kasus kriminal, hingga tentang potensi penyakit serta kepribadian diri kita. Lebih dari kesemuanya, kajian yang mendalam tentang genom meniscayakan pemahaman bahwa ras-ras manusia itu sesungguhnya tidak ada. Karena, dari bangsa apa pun, dengan corak kulit apa pun, manusia tersusun dari formula yang sama.
Ku Klux Klan tidak perlu ada untuk menakut-nakuti orang Negro di Amerika. Superioritas ras Arya yang diagung-agungkan Hitler menjadi tidak bermakna di sini. Politik Apartheid di Afrika Selatan pun jadi kehilangan fondasinya dengan pemikiran ini. Perang suku Hutu dan Tutsi di Rwanda jadi tak penting lagi. Juga, rasialisme di Australia tak perlu terjadi bila ada sedikit pemahaman tentang genetika.
Persoalannya, diskriminasi rasial yang terjadi di pelbagai wilayah ini biasanya terselubung dan punya motif yang kompleks. Di Australia, perlakuan diskriminatif warga kulit putih—yang sebenarnya pendatang—terhadap orang-orang Aborigin dan komunitas-komunitas Muslim atau Arab, selain bermotif ekonomi juga menunjukkan motif politik dan kekuasaan. Peristiwa 11 Desember 2005 di Cronulla Beach, Australia, menjadi bukti. Ketika itu ribuan anak muda kulit putih yang mabuk menghajar setiap warga yang kira-kira berasal dari Arab. Kabarnya mereka terinspirasi oleh berita bahwa para pendatang asal Libanon menyerbu dua penjaga pantai kulit putih.
John Howard pada waktu itu menyatakan bahwa kerusuhan yangmenciderai sekitar 31 orang tersebut adalah tindak kejahatan yang tak dapat diterima. Alih-alih, Howard menolak adanya prasangka rasialisme. Padahal, orang kebanyakan sebenarnya tidak terkejut dengan terjadinya insiden di pantai Sydney. Bagi yang paham dengan sosiologi Australia, bom itu tinggal menunggu waktunya untuk meledak.
Secara struktural, Pemerintah Australia sebenarnya menyetujui adanya rasisme melalui kebijakan-kebijakannya yang tegas terhadap imigran, pengungsi, dan keamanan nasional. Juga pemberlakuan undang-undang antiterorisme yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap warga Arab dan Muslim di Australia. Hukum yang kondusif ini ditambah dengan kecemasan sebagian warga kulit putih terhadap orang kulit berwarna di Australia, terutama mengenai masalah pengangguran, gaji yang menurun, pemotongan dalam pelayanan sosial, dan seterusnya.
Saakshi O. Juneja, seorang feminis yang berdomisili di Mumbai, India, memastikan bahwa keanekaragaman budaya dan ras di Australia berpengaruh besar terhadap tumbuhnya benih rasialisme. Ia mengatakan bahwa satu bagian besar dari populasi Negeri Kanguru ini terdiri atas generasi-generasi yang terlahir di luar negeri (disebut generasi kedua Australia). Mereka datang dari Eropa, Asia, sebagian Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Pada tahun-tahun terakhir ini pun, berduyun-duyun mendarat para imigran asal Vietnam, India, dan China.
Tidak ada masalah sebenarnya dengan kelompok-kelompok pendatang ini. Mereka datang dan membayar untuk menjadi warganegara Australia, menerima hukum-hukum Australia, beradab, dan beradaptasi terhadap kebudayaan Australia. Dan mereka datang untuk bekerja. Namun, kebanyakan orang Australia kulit putih kompak benar menentang kebijakan imigrasi, dan secara reguler memprotes kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah dalam menerima para imigran. Persoalan nafkah adalah salah satu sebab yang mendasari munculnya pikiran-pikiran rasis. Seseorang kulit putih Australia, ketika berada di tempat kerja, bisa dengan enteng mengatakan bahwa banyak orang Asia yang mengambil pekerjaan-pekerjaan dan rumah-rumah yang terbaik.
Komentar-komentar itu masih umum ditemui di Australia. Mereka jelas tahu bahwa para pendatang menjadi kaya dan sukses berkat kerja keras. Apalagi Australia adalah negara yang menganut model negara kesejahteraan, di mana negara sangat memperhatikan kepentingan warga. Bisa jadi bangsa kulit putih Australia didera kecemburuan sosial, mengingat jaminan sosial yang diberikan pemerintah selalu adil dan merata. Atau mungkin karena ada kesenjangan yang kentara antara golongan kaya dan golongan miskin.
Semuanya mungkin untuk mencari alasan dari adanya prasangka ras di Australia. Semuanya seolah-olah masuk akal untuk melegitimasi segenap perlakuan diskriminatif di Australia yang berpangkal dari rasisme. Tetapi semuanya juga menegaskan bahwa penyakit rasialisme masih saja menggejala. Semuanya seperti menyatakan pengingkaran atas kenyataan bahwa manusia pada dasarnya tersusun dari struktur genetika yang sama.

Dani Wicaksono/BBC/Reuters/AP

No comments: