Sunday, November 19, 2006

Antara Pemberontakan dan Kepahlawanan: Gregorio “Gringo” Honasan

Antara Pemberontakan dan Kepahlawanan: Gregorio “Gringo” Honasan

Tertangkapnya “Gringo” oleh aparat keamanan Filipina pada 15 November kemarin cukup melegakan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. Minimal, Arroyo yang menjabat sejak 2001 ini tak lagi makan hati oleh kemungkinan kudeta militer yang dilancarkan oleh lelaki ganteng berperawakan tegap ini.
Arroyo tentu saja merasa direpotkan oleh Gregorio Ballesteros “Gringo” Honasan (lahir 14 Maret 1948). Pada 2003 dan Februari 2006, Honasan adalah otak dari upaya kudeta terhadap rezim yang dipimpinnya. Arroyo bahkan terpaksa mendekritkan keadaan darurat bagi Manila selama satu minggu gara-gara isu tersebut.
Dunia pun bertanya-tanya tentang figur kontroversial ini. Bagi rakyat Filipina, ia adalah salah satu aktor dari Revolusi EDSA 1986: Rambo-nya Asia. Selain itu, mantan kolonel ini adalah simbol dari kepahlawanan dan legenda revolusioner yang memikat para pemuda—keasyhurannya di dalam negeri mungkin hanya sedikit lebih rendah dari Che Guevara. “Ia seperti Clint Eastwood dalam film The Good, the Bad, and the Ugly. Ia hanya duduk dan dor!” papar seorang warga Filipina.
Bagi para presiden Filipina, Honasan adalah kebalikannya. Ia adalah duri dalam daging: mantan senator, namun juga pemberontak. Ia seolah dilahirkan untuk menjadi penentang abadi kekuasaan status quo Filipina. Untuk membuat setiap presiden merasa gerah di Istana Malacanang yang megah. Pada saat people power 1986, Kolonel Honasan memimpin pasukannya untuk mengkudeta Presiden Ferdinand Marcos. Ratusan ribu rakyat menjadi perisai hidup bagi Honasan. Dan berhasil. Marcos lari ke Guam, dan lantas ke Hawaii.
Corazon Aquino, janda dari Benigno Aquino (pemimpin oposisi yang dibunuh semasa Revolusi EDSA), akhirnya marak sebagai presiden. Honasan yang dianugerahi bintang kehormatan Revolusi EDSA oleh pemerintahan baru, pada Agustus 1987, malah memimpin kudeta melawan Aquino. Pemberontakannya dipadamkan, dengan puluhan korban jiwa. Ia sendiri tertangkap, dan kemudian meloloskan diri. November 1989, Honasan kembali mengangkat senjata. Bersama pasukannya, ia menguasai pangkalan udara, dan beberapa fasilitas penting dan strategis. Pemerintah Aquino terpaksa meminta bantuan Amerika Serikat untuk meredam kup kali ini. 100 orang tewas sebagai tumbalnya.
Honasan ditangkap dan diberi amnesti oleh Presiden Fidel Ramos. Kemudian (orang yang sinis selalu bilang bahwa ia memanfaatkan ketenarannya) ia memasuki panggung politik sejak 1995, dan menjadi senator. Ia terpilih kembali pada 2001, dan meninggalkan gedung senat setelah masa jabatannya selesai pada 2004. Mungkin sekali, semasa di senat, ia tahu bila sistem sosial dan sistem pemerintahan di Filipina setelah Perang Dunia II diwarnai dengan gejolak. Situasi politik nyaris tidak menentu di setiap periode pemerintahan (kestabilan hanya tercapai pada periode pertama pemerintahan Marcos), dan Honasan menjadi penanda bahwa ledakan kemarahan rakyat hampir menjadi sebuah keharusan untuk dilalui oleh setiap presiden.
Kesenjangan sosial menjadi pemicunya yang terutama. Di Filipina, sepertiga pendapatan nasional dimiliki oleh hanya 5 persen populasi terkaya. Reformasi agraria yang digadang-gadang mampu menutup kesenjangan ini berjalan terlalu lamban, sementara harga di pasaran untuk produk-produk pertanian terus terjun bebas. Kesempatan-kesempatan sosial dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak pada akhirnya tertutup (atai terbatas sekali) bagi sekitar 40 persen penduduk miskin yang tidak mampu mengais US$ 1 per hari.
Pertumbuhan populasi yang tinggi (2,3 persen per tahun) semakin menambah berat beban perekonomian bangsa, mengingat PDB cenderung stagnan. Di luar itu, perwakilan-perwakilan rakyat di pemerintahan pada umumnya terdiri dari orang-orang yang tergolong kelas atas. Perebutan kursi pemerintahan pun tak lepas dari isu kaya-miskin, politik uang, jual-beli suara, manipulasi pemilu, korupsi, juga favoritisme.
Selalu pada saat-saat seperti inilah militer menunjukkan peranannya. Perang tahunan antara militer Filipina dan gerakan-gerakan Islam di selatan mungkin bisa diungkapkan sebagai satu contoh semata-mata. Namun, kalau hendak diamati lebih jauh, konflik disintegrasi itu adalah puncak dari keresahan masyarakat akibat kurangnya perhatian negara terhadap sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, serta penekanan program industrialisasi yang menyisihkan pertanian. Bahkan pemerintah dianggap terlalu mengeksploitasi potensi-potensi ekonomi dari wilayah selatan. Akibatnya, tanggungan hutang nasional membengkak (kira-kira 92 persen dibanding PDB) dan inflasi semakin menanjak.
Keberadaan Honasan (atau militer secara umum) ada di tengah-tengah problem nasional semacam itu. Sosoknya berdiri di antara kekalutan masyarakat dan kepentingan negara (yakni minoritas yang berkuasa). Dengan mengesampingkan segala bentuk motif pribadi, ia keluar dari barak, mengacungkan senjata ke arah penguasa-penguasa lalim, dan menanggung risiko dari perbuatan makarnya.
Ia menuntut suatu perubahan yang cepat, serta mengusung agenda idealis untuk kepentingan rakyat. Ia adalah pahlawan dari sudut pandang ini. Namun ia adalah pemberontak dari sisi sebaliknya.

Dani Wicaksono/Time/PCIJ (Philippine Center for Investigative Journalism)