Saturday, November 18, 2006

Cameron Sang Penantang

Cameron Sang Penantang

Ketegangan internal dalam Partai Buruh antara Tony Blair dengan calon penggantinya, Gordon Brown, agaknya akan menjadi sisi positif buat David Cameron, ketua Partai Konservatif, sekaligus calon kuat Perdana Menteri Inggris berikutnya selain Brown. Ia seperti melihat ada celah sempit untuk menyalip di tikungan.
Cameron, 39, sejak akhir tahun lalu dipercaya memimpin Partai Konservatif—kelompok kanan yang terus-menerus kehilangan pemilih setelah era keemasan Margaret Thatcher pada 1980-an. Ia lantas bergerak cepat, dengan cara yang kala itu membingungkan pengamat: ia “menjiplak” langkah-langkah Tony Blair dalam memajukan partainya. Biasanya Konservatif bicara tentang upaya mengontrol imigrasi, pemotongan pajak, perbaikan lingkungan hidup, dan rencana ambisius untuk meningkatkan sistem pendidikan Inggris. Namun Cameron bicara tentang “keadilan sosial”, dan bagaimana menghadapi globalisasi dan “kemiskinan global”. “Ini adalah hal-hal yang tidak pernah ditekankan oleh pemimpin Konservatif sebelumnya,” kata David Ruffley, penasihat Cameron di bidang reformasi kesejahteraan. Bahkan semua itu adalah upaya-upaya yang dikerjakan oleh Blair sewaktu melihat keterpurukan Partai Buruh.
Tak pelak, banyak orang mengira ia tengah merunut jejak Blair untuk mencapai kursi perdana menteri. Ia juga tak peduli ketika ada yang mengejek bahwa partainya lebih baik ganti nama menjadi Partai Ala Blair. “Saya adalah pewaris Blair,” kata Cameron suatu kali. Mungkin David Cameron melihat bahwa upaya untuk memodernisasikan partainya adalah syarat utama demi meraih lebih banyak dukungan publik. Mungkin pula ia memang sengaja meniru langkah-langkah yang pernah dilakukan Blair, yang nyatanya berhasil memajukan Partai Buruh. Yang pasti, ia sukses membawa Partai Konservatif menjadi penantang paling ulet dalam adu balap ke puncak kepemimpinan Inggris.
Ia pun yakin bahwa kemenangan Partai Buruh sejak 1997 lebih ditentukan oleh figur Blair yang muda dan gesit daripada Partai Buruh itu sendiri. Keyakinan ini didukung oleh Ruffley: “Sejak 1997, orang banyak tidak berniat memilih untuk Partai Buruh; mereka memilih untuk Blair.” Blair waktu itu bergerak lincah dari kiri ke kanan, dan membuang retorika “singkirkan-orang-kaya”. Sementara, Cameron menyetir partainya dari kanan ke kiri dan mengecilkan volume suara pribumi yang menolak integrasi Eropa dan para pencari suaka. Di bawah Cameron Konservatif benar-benar menganggap Tony Blair sebagai bapak spiritual mereka.
Lanskap politik Inggris pun berubah drastis. Selama 18 tahun terakhir, Buruh seperti tak punya lawan tanding dalam politik. Namun, perubahan-perubahan yang dikerjakan oleh Cameron membuat Partai Buruh layak merasa was-was. Semua langkah Partai Buruh seolah-olah sudah dicegat oleh Cameron. Misalnya, ketika kandidat kuat Buruh, Gordon Brown, mematok persoalan lingkungan sebagai isu kampanye—lingkungan selalu mendapat prioritas dalam setiap kampanye di pelbagai negara, Cameron langsung menyerobot. Dalam wawancara dengan Katie Elliott dari “Friends of the Earth”, November 2005, tentang seberapa tinggi prioritas lingkungan dalam pemerintahannya kelak, Cameron menyatakan: “Sangat tinggi. Banyak agenda yang musykil dikerjakan jika kita tidak benar-benar mempertimbangkan perubahan iklim.”
Dan sekarang Partai Buruh sedang memanas karena perselisihan internal Blair-Brown. David Cameron pasti tidak hanya diam menunggu. Pandangan patronasenya terhadap Blair bisa jadi akan ia manfaatkan untuk “membajak” dan membujuk para pendukung Blair di Partai Buruh supaya tidak memilih Gordon Brown. Kemungkinan itu masih terlalu tipis untuk diandalkan kalau ini terjadi, benarlah anggapan orang bahwa setelah Blair, tidak ada orang lain yang bisa menandingi Cameron.

Dani Wicaksono

No comments: