Saturday, November 18, 2006

Ekologi-Dalam untuk Brazil

Ekologi-Dalam untuk Brazil

Ada satu pemikiran yang berkembang dari Rene Descartes (1595-1650) setelah ia mempostulatkan Cogito ergo sum, Aku berpikir, maka aku ada. Pemikiran itu secara khusus membahas relasi manusia dengan alam benda: sebuah relasi yang egologis antara minda dan benda. Di fakultas itu, manusia adalah yang terutama dari segalanya, adalah subyek dari segala makhluk yang berada di atas bumi—semua dianggap sama, sementara manusia yang bisa berpikir adalah istimewa. Kalangan pembaca filsafat lebih mengenal konsep ini sebagai Dualisme Cartesian.
Dualisme Cartesian adalah salah satu cara manusia dalam memandang alam sekitarnya. Descartes mengumumkan bahwa manusia dan alam jelas-jelas merupakan entitas yang sama sekali berbeda. Ada garis batas yang terentang seperti jurang yang membelah dua tepian. Alam punya kualitas yang sempit, mekanis, dan tak punya peran selain untuk kepentingan manusia. Sementara manusia adalah makhluk yang bisa mempergunakan pikirannya untuk memberikan kesejahteraan kepada dirinya. Ada res cogitans untuk menyebut alam minda yang subyektif, ada res extensa untuk membilang alam benda yang obyektif.
Rasionalisme model ini memberi implikasi buruk yang pada hakikatnya akan menjauhkan kesatuan manusia dengan alamnya. Manusia menjadi sangat egois dalam hubungan dua arah tersebut. Akal manusia akan menganggap keterpisahan ini sebagai alasan sah untuk mendominasi alam. Dengan segenap kualitas yang dimilikinya, manusia akan menganggap perlunya menguasai alam untuk kepentingannya. Apalagi alam sendiri mengandung kekayaan yang tiada ternilai. Eksploitasi besar-besaran pun menjadi akibat yang tak terelakkan, yang membuktikan perasaan tak bertanggung jawab manusia terhadap alam.
Hutan di Brazil menjadi contoh paling nyata tentang pongahnya egologi manusia. Sejak pahlawan lingkungan Brazil, Chico Mendes, masih hidup pada 1970-an, sekitar 600.000 kilometer persegi dari hutan Amazon dihancurkan. Antara Mei 2000 hingga Agustus 2005 saja, Brazil sudah kehilangan 132.000 kilometer persegi hutannya. Beberapa pihak menuduh pertanian skala besar sebagai biang keladi. Selainnya mencurigai pembalakan hutan sebagai sebab paling signifikan dari rusaknya hutan Brazil. Betul, pembalakan membuat hutan terdegradasi—artinya, hutan bisa kembali lebat suatu waktu nanti. Tetapi deforestasi hutan Brazil sebenarnya terjadi karena penerapan dan pembukaan kawasan-kawasan peternakan dan pertanian-pertanian skala kecil. Hutan-hutan di lingkungan Amazon digunduli, untuk secara permanen disulih oleh bangunan-bangunan peternakan atau sawah-sawah pribadi.
Peternakan menjadi penyebab utama deforestasi di Brazil. Sejak 1966-1975, pemerintah Brazil mencatat ada sekitar 38 persen deforestasi untuk membuka kawasan peternakan skala besar. Dan tentu saja situasinya semakin buruk saat ini. Seturut Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR), “… antara 1990-2001, persentase impor daging olahan negara-negara Eropa dari Brazil meningkat dari 47 persen hingga 74 persen.” CIFOR juga menyatakan bahwa peningkatan ekspor daging bagi Brazil memacu semangat para peternak untuk mengembangkan usahanya. Ini berarti bahwa di antara rentang waktu itu, aktivitas penggundulan hutan Amazon juga turut meningkat.
Mengingat program peternakan berkaitan dengan investasi, deforestasi Amazon akhirnya berkorelasi kuat dengan kesehatan ekonomi negara itu. Penurunan deforestasi pasca-terbunuhnya Chico Mendes, terutama 1988-1991, diiringi dengan melambatnya perekonomian Brazil. Sementara, tingkat deforestasi yang meroket dari 1993-1998 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dari Brazil. Pada periode ini, para peternak dan kontraktor tidak punya dana cukup untuk secara cepat melebarkan kawasan operasinya. Pemerintah sendiri juga kekurangan dana untuk mensponsori program kolonisasi dan pembangunan jalan, atau untuk memberi keringanan pajak dan subsidi bagi para pengelola hutan. Harga tanah untuk peternakan lantas turut melambung. Inflasi kemudian menjadi dampak paling umum dari penggundulan hutan Amazon.
Ini baru soal ekonomi. Selebihnya, kita sama-sama tahu bahwa deforestasi juga berpengaruh besar terhadap terjadinya bencana, semisal banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Secara global, deforestasi juga akan meningkatkan suhu bumi yang sudah panas. Akan semakin sedikit gas karbon yang diserap oleh pepohonan, akan semakin tipis lapisan ozon yang menyelimuti kita dari terjangan sinar ultraviolet. Keberlangsungan bumi dan manusia dan kehidupan secara umum pun semakin sulit diprediksi.
Brazil butuh Chico Mendes baru untuk memperjuangkan kemanusiaan. Mungkin seorang filsuf modern berkebangsaan Norwegia, Arne Naess, pantas dikemukakan untuk membangkitkan kembali kesadaran lingkungan orang-orang Brazil. Arne Naess adalah orang yang mengembangkan konsep ekologi-dalam. Naess beranggapan bahwa Dualisme Cartesian, termasuk antroposentrisme yang berkembang dari paham itu, punya potensi merusak yang luar biasa. Tercerainya manusia dari alam menjadi pangkal dari segala bencana yang terjadi karena “pembalasan” dari alam. Naess menyatakan bahwa kesadaran ekologis-lah yang bisa mengembalikan keseimbangan tata lingkungan-manusia. Manusia harus sadar bahwa ia tak lebih penting dari pepohonan, bunga gugur, burung murai, atau parasit di alam.
Bagi Naess, alam adalah laksana jejaring kain semesta. Jejaring yang rumit, tetapi utuh. Sebuah network fenomena yang secara fundamental saling berhubungan dan interdependen. Di tempat ini, manusia adalah sehelai benang di antara beribu-ribu bahkan bermiliar-miliar helai benang lain yang turut membentuk alam semesta. Hanya sehelai benang, tak lebih dari itu, dan menjadi salah satu unsur yang membentuk kesatuan itu. Jadi manusia sebenarnya tak berhak berbuat seenaknya terhadap alam. Ekologi-dalam menegaskan kesatuan manusia dengan alamnya. Ekologi-dalam menganggap bahwa segala makhluk hidup memiliki nilai intrinsik yang patut dihargai, dan manusia hanyalah salah satu jenis makhluk dalam jejaring kehidupan ini. Filsafat inilah yang kelak akan membebaskan manusia dari keserakahan duniawinya, sekaligus melenyapkan alienasi manusia dari alamnya.
Filsuf yang mengagumi Mahatma Gandhi ini menambahkan bahwa hidup manusia dan non-manusia di atas bumi memiliki nilainya sendiri-sendiri. Nilai ini terbebas dari upaya pemberdayaan kualitas non-manusia untuk kepentingan manusia. Kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan menegaskan peranan nilai-nilai ini, dan sekaligus bernilai dalam dirinya sendiri. Dan karena manusia adalah satu elemen semata-mata, maka ia tidak punya hak untuk mengurangi kekayaan dan keanekaragaman ini, terkecuali hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja. Jadi, hubungan antara manusia dan alam non-manusia adalah hubungan yang psikologis, bukan logis.
Brazil telah mengalami kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh keserakahan manusia—karena hubungan yang berlandaskan logika. Bangsa lain pun barangkali didera hal yang sama. Mungkin Arne Naess benar. Musim semi tak akan lagi mengalami kesunyian apabila manusia mulai belajar menghargai alamnya.

Dani Wicaksono

No comments: