Saturday, November 18, 2006

Minyak dan Air yang (akan) Memberi Makan

Koalisi Hamas-Fatah
Minyak dan Air yang (akan) Memberi Makan

Sejarah mencatat, selama lima puluh tahun terakhir, selalu ada alasan bagi Israel untuk menyerang Palestina. Pada 28 Juni 2006 lalu, Israel kembali melakukan hal yang sama. Kali ini, alasannya adalah membebaskan seorang prajurit Israel (serangan ke Libanon pun dengan alasan serupa) yang ditawan oleh tiga kelompok militan di Palestina, termasuk Hamas, dalam pertempuran di perbatasan tiga hari sebelumnya.
Ada balas dendam yang menggila waktu itu. An eye for an eye, kata pepatah Barat. Hutang nyawa dibalas nyawa. Di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Israel menyandera dan membunuh 220 orang-orang Palestina. Tidak sekadar itu. Teritori Palestina dipagari dengan senjata berat, bank-bank Israel membekukan rekening warga Palestina, bagi hasil pajak pendapatan orang Palestina yang bekerja di Israel tidak dikasihkan ke Pemerintahan Palestina, jalur transportasi diputus, dan suplai barang-barang produksi dan konsumsi dihentikan.
Pemerintahan Hamas yang berkuasa sejak Maret lalu sudah teramat miskin karena tidak lagi beroleh bantuan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa—takut bila kucuran dana dipergunakan sebagai modal melawan Israel dan AS. Negara-negara Arab memalingkan muka dari Hamas, karena Hamas pun acuh dengan inisiatif Perdamaian Arab yang ditandatangani oleh semua negara Arab pada KTT Liga Arab 2002 di Beirut. Dengan terhentikannya aliran finansial, termasuk gara-gara ditutupnya perbatasan, Pemerintah Palestina kolaps.
Semua negara seperti menutup mata. Ada janji dari beberapa negara yang merasa peduli (seperti Rusia atau Iran), dan mungkin sudah terealisasi, namun faktanya kemudian adalah bangunan baru Pemerintahan itu nyaris ambruk. Tidak ada kas untuk membayar semua pegawai—ada sekitar 165.000 pegawai negeri. Tidak ada uang untuk memenuhi anggaran belanja negara. Rakyat kelaparan, protes pun diteriakkan.
Situasi buruk ini dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh Amerika Serikat dan Israel (sekutu abadi abad ini) untuk menekan Palestina. Para negara donor, yakni AS dan Uni Eropa, bilang kepada Mahmoud Abbas, Presiden Palestina dari fraksi Fatah, bahwa mereka akan langsung mengucurkan bantuan dengan tiga syarat: Palestina mengakui kedaulatan Israel, menandatangani perjanjian perdamaian, dan menghentikan penggunaan kekerasan (baca: terorisme).
Sepintas lalu, ketiganya adalah syarat yang sederhana dan mudah dipenuhi. Tapi sebenarnya rumit dan dilematis bagi bangsa Palestina. Perdana Menteri Ismail Haniya (dari kelompok Hamas) dengan lantang menolak ketiga syarat itu. Memenuhi syarat-syarat itu, sama saja mengakui penjajahan Israel, takluknya Palestina, dan penghapusan dosa-dosa masa lalu. Mengakui syarat-syarat itu berarti mengingkari hati nurani empat juta kelompok etnis yang telah bersatu dalam naungan bangsa Palestina, yang telah diproklamirkan oleh Yasser Arafat sejak 15 November 1988.
Hanya saja, menolak syarat ini berarti pula mengancam nafas kehidupan empat juta etnis yang sama. Palestina tidak cukup memiliki sumber keuangan dalam negeri yang mandiri dan memadai. Selain pajak, sejauh ini Palestina hanya memperoleh duit dari beberapa negara Timur Tengah, lembaga-lembaga Islam, serta tokoh perseorangan yang bersimpati. Inilah barangkali yang membuat gundah para pemimpin Palestina yang ditahan di penjara Israel sejak agresi Juni kemarin.
Mereka mengeluarkan sebuah dokumen—disebut Dokumen Penjara atau Kesepakatan Nasional—yang isinya adalah solusi untuk keluar dari krisis. Paling tidak ada dua saran yang bisa dikemukakan: Mahmoud Abbas dan Ismail Haniya diminta membentuk pemerintahan koalisi, dan kembali pada Persetujuan Oslo, yakni kesepakatan awal tentang berdirinya dua negara yang berdampingan.
Dokumen Penjara yang dikeluarkan pada pertengahan Mei itulah yang kemudian dijadikan pertimbangan oleh Hamas dan Fatah (yang jelas-jelas berbeda haluan dalam prinsip perjuangan) untuk mengatasi kemelut perut. Setelah beberapa bulan perundingan tanpa hasil, 10 September lalu Abbas bersama Haniya akhirnya memproklamirkan rencana restrukturisasi pemerintahan, yang kelak akan disebut dengan Pemerintahan Persatuan Nasional. Hamas mengalah.
Meskipun demikian, Hamas ngotot tidak mau mengakui kedaulatan Israel. Hamas menyeru pada dunia untuk mengakui pemerintah koalisi Palestina dan memulihkan bantuan dengan segera. Ismail Haniya meminta jatah kursi Perdana Menteri. Mahmoud Abbas tidak menunjukkan bukti dokumen kesepakatan terbaru itu kepada publik. Bahkan Abbas (dan bukan Haniya, karena AS hanya mengakui Abbas) berangkat ke Washington untuk mengadukan kondisi Palestina di depan Sidang Majelis Umum PBB.
Ada sesuatu yang membuat penasaran. Apakah ini adalah siasat Hamas untuk berkompromi sementara waktu saja, untuk menyelamatkan jutaan bangsa Palestina seraya menghimpun kekuatan; apakah Amerika dan Israel benar-benar terpuaskan oleh langkah dua faksi yang berseberangan itu; apakah kemudian tidak akan ada lagi darah tertumpah di “Tanah Terjanji” itu; dan masih banyak “apakah…” lain yang membutuhkan kejelasan.
Mempersatukan Hamas dengan Fatah sama saja mempersatukan minyak dengan air. Namun, dengan cara istimewa dan oleh orang-orang ahli, minyak dan air sangat berguna untuk membuat suatu masakan, makanan yang akan menghapuskan lapar bangsa Palestina. Sementara itu terjadi, kita hanya bisa menunggu, dan menduga-duga.

Dani Wicaksono

No comments: