Saturday, November 18, 2006

Segitiga Takdir dan Palestina ke Depan

Segitiga Takdir dan Palestina ke Depan

Ada dua bangsa di dunia ini yang saling memahami satu sama lain dalam pengertian yang seluas-luasnya. Dan hanya ada dua saja: Palestina dan Israel. Peperangan selama lebih dari 50 tahun di antara keduanya merupakan waktu yang sangat memadai untuk mengenali watak masing-masing, untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan untuk melihat posisi masing-masing di muka bumi.
Dua bangsa itu laksana konsep yin-yang dalam filosofi China. Seperti kutub positif dan negatif pada sebuah magnet. Dua unsur itu lekat dan dekat justru oleh karena adanya perbedaan. Keduanya berseberangan dalam banyak hal, namun menjadi dua garis yang bertemu dalam satu titik: sama-sama ingin menjadi bangsa merdeka di Yerusalem. Kehadiran Amerika Serikat di tengah-tengah “perselisihan historis-ideologis” kedua bangsa itu ibarat garis ketiga yang akan memberi makna pada dua garis sebelumnya. Terlibatnya Amerika meniscayakan kesempurnaan sebuah perlambang. Menjadikan tiga garis itu sebagai ruang dua dimensi. Noam Chomsky menyebutnya sebagai Segitiga Takdir (The Fateful Triangle).
Banyak orang tahu, ada “hubungan spesial” antara AS dan Israel, yang begitu rapat dan semarak—seperti tak terpisahkan. Hubungan itu diterjemahkan ke dalam dukungan diplomatik, militer, dan ideologis dari Amerika terhadap Israel. Apa pun yang dilakukan oleh Israel, Amerika selalu bersikap akomodatif.
Publik tentu masih ingat dengan peristiwa “Lavon Affair” pada 1954. Israel menyerang sejumlah instalasi AS “hanya” untuk mendiskreditkan pemerintahan Mesir dalam Krisis Terusan Suez. Publik juga belum lupa peristiwa penyerbuan Israel ke kapal Amerika USS Liberty pada 8 Juni 1967. Selama 90 menit, 34 awak kapal Liberty tewas, dan 75 lainnya luka-luka. Beberapa saat kemudian, Israel menyatakan bahwa serangan terjadi cuma karena salah sasaran, keliru dalam mengindentifikasi target. Padahal penyidik yakin bahwa Israel bermaksud melenyapkan para saksi mata dari pembantaian 150 tawanan perang Mesir oleh Israel.
Apakah publik bisa membayangkan reaksi Amerika? Bagaimana bila kedua contoh peristiwa itu dilakukan oleh Al Qaeda atau Korea Utara, misalnya? Pertanyaan kedua gampang dijawab. Pertanyaan pertama sudah terjawab: Amerika diam dan tidak melakukan apa-apa. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bisa menyerang Amerika, atau membunuh dan melukai 100-an warganya, tanpa pembalasan setimpal, tanpa kritik, tanpa kecaman, dan tanpa pembahasan, terkecuali Israel. Dengan demikian, hubungan Israel-AS merupakan salah satu hubungan bilateral di dunia, dan di kulturnya Amerika, yang paling ganjil yang pernah ada, sekaligus membuat orang kerap terheran-heran.

Konflik Palestina-Israel dan Campur Tangan Amerika
Sejak tahun 1967 (Pertempuran Enam Hari), perseteruan Israel dan Palestina tidak lagi bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana. Bukan sekadar Zionisme melawan Islam. Ada komunitas Islam dan Kristen di Palestina, yang punya pandangan berbeda-beda. Ada kelompok Yahudi di Israel yang juga memiliki pemahaman berlainan. Konflik keduanya sudah rumit dalam dirinya sendiri.
Namun, satu hal yang khas bisa dikemukakan di sini. Adalah semangat Yasser Arafat dan Ariel Sharon yang membuat kedua bangsa bisa dianggap mempunyai satu ambisi serupa. Baik Arafat maupun Sharon adalah figur pemimpin ideal yang dibutuhkan oleh masing-masing bangsanya. Mereka sama-sama tidak menyimpan ambisi kekuasaan. Mereka juga tidak gila hormat. Keduanya mulia sebagai pemimpin karena rakyatnya tahu bahwa mereka hanya ingin memberikan kebebasan bagi bangsanya. Kemerdekaan yang hakiki dan absolut.
Karakteristik khusus yang dibentuk oleh dua pemimpin kharismatik itu membuat konflik Palestina dan Israel tampak sulit didamaikan. Kedua bangsa sama-sama menganut paham “rejectionism”. Paham “pokoknya-tolak” dari Israel ditandai dengan kuatnya dogma Zionisme untuk melawan hak politik nasional Palestina. Ini mendasari totalitas manuver Israel, yang berarti penolakan absolut atas hak ekonomi, budaya dan hak asasi manusia Palestina.
Di lain pihak, Palestina (atau, katakanlah, sebagian Palestina—terutama Hamas) pun menolak mentah-mentah segala bentuk okupasi Israel atas wilayah Palestina. Bangsa ini, diwakili oleh Hamas, menyangkal kedaulatan negara Israel. Bahkan, sejak didirikan, Hamas, yang sekarang memegang tampuk Pemerintahan Palestina, adalah front perjuangan paling aktif dan non-kooperatif. Salakan senapan Kalashnikov adalah bukti bahwa Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya) tidak perlu banyak bicara atau mengadakan perundingan. Dalam Piagam Hamas 1988, kita bisa membaca Surat Al-Imran (III), ayat 109-111: Israel akan bangkit dan akan terus tegak sampai Islam melenyapkannya, sebagaimana Israel melenyapkan nenek-moyangnya. Bahkan, dalam pasal 13 di Piagam itu, “Inisiatif-inisiatif, apa yang disebut solusi-solusi damai, dan konferensi-konferensi internasional untuk menyelesaikan problem Palestina, bertolak-belakang semuanya dengan keyakinan-keyakinan Hamas.”
Kedua belah pihak punya prinsip yang seteguh Gunung Sinai. Itulah barangkali yang membuat perang Palestina-Israel terlihat demikian destruktif dan tanpa kompromi. Mungkin juga kekal.
Amerika adalah pihak ketiga yang masuk ke kancah peperangan karena lobi elite Yahudi yang kuat di Gedung Putih. Amerika menganggap Israel adalah agen yang membawahi kepentingan politik dan ekonomi Amerika di Timur Tengah. Persepsi umumnya, Israel adalah aset strategis bagi Amerika. Maka miliaran dollar pun dikucurkan Amerika setiap tahun untuk memanjakan Israel. Maka, dukungan Amerika terhadap Israel meniscayakan kebebasan untuk berbuat semau-maunya, secara politik atau militeristik.
Peristiwa terbaru di Palestina mengenai rencana pembentukan Pemerintahan Koalisi Fatah dan Hamas pun tak luput dari campur tangan Amerika. Mahmoud Abbas, seorang ekonom yang jadi pemimpin Fatah dan Presiden Palestina, tidak mampu lagi bertahan terhadap blokade ekonomi “sementara” dari Amerika dan negara donor lainnya, yang menyebabkan bangsanya kelaparan. Amerika tidak akan mau membantu Palestina sepanjang kelompok teroris Hamas masih memerintah Palestina. Amerika sendiri hanya memandang Fatah, yang moderat, untuk diajak bicara. Bukan Hamas.
Berkaitan dengan Koalisi Nasional, Hamas tampaknya hanya “mengalah” untuk kepentingan jangka pendek semata: menyelamatkan jutaan warga Palestina yang kelaparan. Asumsi ini semakin kuat ketika Hamas menolak salah satu syarat untuk mencairkan dana bantuan internasional, yakni untuk mengakui kedaulatan negara Israel. Amerika dan Israel tentu juga tak gampang dibodohi. Mereka pasti akan memastikan Palestina mengakui kedaulatan Israel sebelum membuka kran bantuan.
Rencana pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional Palestina sebenarnya jauh lebih rumit daripada kelihatannya. Perselisihan sebenarnya adalah antara Pemerintahan Hamas dan Israel-AS. Bagi tiga kelompok itu, Mahmoud Abbas bagaikan unsur pelengkap. Ia penting bagi AS karena moderat, ia penting bagi Palestina karena menggantikan Yasser Arafat. Tetapi ia bukan Perdana Menteri.
Dengan demikian, untuk melihat Palestina ke depan, kita hanya bisa kembali kepada sejarah. Dan sejarah menyatakan: sepanjang paham “rejectionism” masih menjangkiti kedua kubu, kesepakatan-kesepakatan yang dilangsungkan pasti akan dilanggar. Itulah yang tidak berubah dari Palestina dan Israel sejak konflik dimulai. Kita berharap ada perbaikan. Namun, kehadiran AS seolah-olah menegaskan bahwa relasi segitiga yang aneh ini punya masa depan yang barangkali abadi.

Dani Wicaksono

No comments: