Saturday, November 18, 2006

Chavez, Bolivarianisme, dan Minyak

Semangat Venezuela
Chavez, Bolivarianisme, dan Minyak

Di tanah Amerika Latin, tersebutlah nama Simon Bolivar (24 Juli 1783-17 Desember 1830), seorang pemimpin revolusioner dan pahlawan kemerdekaan yang membebaskan sebagian negeri Amerika Selatan, termasuk Kolombia Besar (Gran Colombia) yang meliputi Venezuela, Ekuador, dan Kolombia. Ia juga menjadi sang pembebas (El Libertador) bagi Panama, Peru, dan Bolivia. Ia adalah legenda yang berjuang melawan imperialisme Spanyol di kawasan itu selama awal abad 19.
Oleh Hugo Chavez, Perang Bolivar terhadap imperialisme dan kolonialisme itu ia rekonstruksi menjadi Revolusi Bolivarian. Ini untuk menunjuk gerakan sosial dan proses politik yang berskala massif di Venezuela. Hugo Chavez menjadi pemimpinnya sejak 1998. Di sini, kentara betul bahwa Chavez hendak membangkitkan kembali semangat Bolivar dan para revolusioner lain seperti Simon Rodriguez dan Ezequiel Zamora. Chavez bermaksud menerapkan Bolivarianisme di tanah ini.
Bolivarianisme adalah sebuah aliran pemikiran yang berkembang di Amerika Latin, yang meletakkan jejaknya pada interpretasi sosialis-demokratik dari ide-ide Simon Bolivar. Chavez sendiri menambahkan sejumlah arus ideologi yang menurutnya memberi kontribusi signifikan bagi Bolivarianisme. Ia mengikuti gagasan Noam Chomsky dan para peletak dasar sosialis libertarian dan anarko-sindikalis juga. Sampai-sampai, penolakan terhadap globalisme negara korporasi dan populisme diilhami oleh tulisan-tulisan Chomsky.
Pada September 2005, Chavez bahkan berani menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah seorang aktivis radikal yang menuntut pemberlakuan sosialisme demokratik dan redistribusi keadilan sosial. Menurutnya, Yesus adalah makhluk sosial dan individual yang aktif dalam perjuangan kelas, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Hal-hal itulah yang juga memberi corak pada Bolivarianisme. Mungkin Chavez hendak mencari sensasi. Tetapi dalam perkara ini, ideologi-ideologi yang ia paparkan untuk mendukung Bolivarianisme memang sejalan dengan Teologi Pembebasan dan pemikiran sosialisme Kristen.
Karisma dan kepandaiannya berbicara membuat Chavez seperti menilap kenyataan bahwa sesungguhnya Simon Bolivar sendiri adalah pengagum Revolusi Amerika dan pengkritik Revolusi Perancis. Dalam surat dan tulisannya, Bolivar adalah pembela sistem ekonomi pasar bebas dan mengaku diri sebagai seorang liberal klasik. Bolivar membaca Spirit of the Laws karya Montesquieu dan Wealth of Nations tulisan Adam Smith, sehingga ia mendukung model pemerintahan yang terbatas (seperti federalisme), pembagian kekuasaan, kebebasan beragama, hak kepemilikan, dan tata hukum yang baik. Sebutan Chavez untuk jenis gerakan revolusioner yang dipimpinnya seperti bersifat contradictio in terminis, salah konsep.
Para pengamat memperkirakan bahwa ketidakpedulian Chavez terhadap silap-paham itu lebih dikarenakan ia menyimpan maksud yang lebih besar ketimbang hanya mempersoalkan nama gerakan. Barangkali, dan ini cukup beralasan, Hugo Chavez memakai nama Bolivar untuk mengkonsolidasikan kekuatan, menasionalisasi industri, dan memanfaatkan pemerintahannya untuk mengubah beragam aspek kehidupan rakyat Venezuela. Lebih dari kesemuanya, Chavez hendak menggunakan Revolusi Bolivarian-nya untuk menandingi dominasi imperialis Amerika Serikat.
Hubungan politik Amerika dengan Venezuela memang renggang sejak Chavez mengambil sikap bermusuhan dengan Amerika. Tepatnya sejak Chavez menuduh bahwa kudeta Pedro Carmona, 11 April 2002, disponsori oleh Amerika. Setelah itu, Hugo Chavez seperti tak punya takut. Ia menyebut Presiden Amerika George W. Bush sebagai keledai, Tuan Berbahaya, pemabuk, bangsat, setan, dan entah apa lagi. Chavez demikian galak terhadap Amerika, dan seolah menyimpan maksud untuk meredam dominasi AS di kawasan Amerika Latin. Chavez merasa bahwa ia didukung oleh mayoritas penduduknya, dan tidak peduli dengan segala gertakan khas AS—seperti embargo, atau ancaman perang.
Secara ekonomi, pemerintahan Chaves juga memiliki kedaulatan penuh dan tidak bisa diremehkan, bahkan oleh AS sekalipun. Venezuela menyimpan sekitar 80 miliar barel minyak di perut buminya. Dengan kakayaan seperti itu, Venezuela bisa saja menggaet negara-negara seperti Kuba, Rusia, Iran, dan China sebagai sekutu. Ke depan, minyak, sekutu, dan Revolusi Bolivarian ala Chavez adalah kekuatan yang sulit diperangi secara diplomatik. Apalagi jika negara-negara konsumen minyak (terutama AS) itu ditekan oleh permainan harga yang dikendalikan Venezuela (dan sedikit negara pengekspor minyak lain). Gambarannya, jika Venezuela memproduksi 3,1 juta barel per hari, maka cadangan energi minyaknya akan berumur 100 tahun—lama waktu yang dijanjikan Chavez bila Venezuela berperang dengan Amerika Serikat.
Chavez mungkin pemimpin yang otoriter di Venezuela. Chavez mungkin juga adalah sumbangan terbesar Venezuela terhadap demokrasi. Tetapi Chavez dengan revolusinya adalah ancaman serius bagi Amerika Serikat.


Dani Wicaksono

No comments: