Saturday, November 18, 2006

Seandainya Osama Benar-benar Meninggal

Seandainya Osama Benar-benar Meninggal

Sekitar 23 September lalu, media massa dalam dan luar negeri ramai memberitakan meninggalnya Osama bin Laden, pemimpin puncak Al Qaeda. Bukan karena peluru serdadu AS dan sekutu-sekutunya, Osama mangkat karena sakit tipus. Dan peristiwa meninggalnya bukanlah tanggal tersebut, tetapi pada 23 Agustus, di Pakistan.
Laporan agen intelijen internasional Perancis Direction Generale des Services Exterieurs (DGSE) yang diserahkan kepada Presiden Jacques Chirac dan sejumlah pejabat tinggi Perancis itu sendiri bertanggal 21 September, dan bocor ke koran Perancis l’Est Republicain. Kabarnya, dokumen DGSE berdasarkan atas sebuah laporan dari agen rahasia Arab Saudi pada 4 September yang mengatakan bahwa musuh Amerika itu telah meninggal.
Chirac sendiri masih meragukan kebenaran dari rumor tersebut, dan meminta Menteri Pertahanan Perancis Michele Alliot-Marie untuk melakukan investigasi. Anehnya, ia tak hanya ingin memuaskan penasaran dunia akan fakta meninggalnya Osama, tetapi juga memerintahkan penyelidikan mengenai bocornya dokumen itu. “Berdasarkan sebuah sumber terpercaya, agen rahasia Arab Saudi kini yakin bahwa Osama bin Laden telah meninggal. Ketua Al Qaeda jadi korban tifus yang akut pada 23 Agustus 2006 saat berada di Pakistan,” demikian isi dokumen itu. Dokumen DGSE juga menyebutkan lokasi tempat tinggal Bin Laden yang terisolasi tak memungkinkannya mendapatkan perawatan dokter, sampai-sampai tubuhnya hancur.
Chirac tidak yakin. Begitu juga dengan Vladimir Putin dan Angela Merkel, dua pemimpin dari Rusia dan Jerman yang kala itu melawat ke Perancis. Mereka sama-sama menyebutkan tiadanya bukti yang mensahkan berita tersebut. “Informasi ini tidak bisa dikonfirmasi dengan cara apa pun,” kata Chirac. Apalagi, pada 29 Juni, Osama baru saja menyampaikan ancaman baru lewat kaset rekaman sehubungan dengan tewasnya pemimpin Irak Abu Musab al-Zarqawi, akibat serangan udara AS di awal bulan itu.
Publik boleh bertanya-tanya. Dunia pun bisa menduga-duga. Tetapi semua pasti paham bahwa Osama selalu dikabarkan sakit atau meninggal. Sebelum diisukan mati pada 2002 lalu, ia bahkan dilaporkan sedang sakit-sakitan. Dan semua, tatkala itu, selalu terkecoh dengan kabar burung.
Mungkin kabar yang sekarang benar adanya. Tetapi adakah perbedaannya? Osama selalu meninggal. Osama selalu hidup. Dan semua tidak akan mengubah keadaan. Kita tidak hendak berlaku skeptis terhadap fakta-fakta baru yang akan ditemui setelah isu ini. Kita bermaksud memaparkan kenyataan bahwa tak peduli Osama masih hidup atau sudah mati, Al Qaeda yang dibinanya sudah terlanjur menjadi lembaga teror raksasa yang berani menantang Amerika.
Artinya, kepemimpinan Al Qaeda pastilah tidak bersifat patronase, di mana pemimpin selalu menjadi pusat dari segala sesuatu, di mana keberlangsungan organisasi tergantung sepenuhnya pada hidup dan mati sang pemimpin. Pada pemahaman yang sederhana, Al Qaeda telah memiliki sistem yang mapan, telah menjadi mesin yang terlatih, yang siap dijalankan oleh siapa saja seandainya sang pemimpin absen—secara temporer atau permanen.
Sejak didirikan pada sekitar 1988 oleh bin Laden, Al Qaeda punya pengalaman pilih tanding dalam mendanai kegiatan, merekrut relawan, serta melatih ribuan militan dari puluhan negara. Pada akhir 1980-an, Al Qaeda dikabarkan melatih lebih dari 5000 pejuang di kamp-kamp Afghanistan. Mereka memiliki sel-sel bawah tanah yang otonom, tersebar di 100 negara termasuk AS, Inggris, Italia, Perancis, Spanyol, Jerman, Albania, Uganda, Filipina, dan mungkin Indonesia. Mereka inilah yang kemudian terbiasa dalam kegiatan pembunuhan, pengeboman, penculikan, serangan bunuh diri, dan segala bentuk aktivitas teror lainnya di AS dan negara-negara sekutunya. Sejumlah laporan dan pernyataan publik dari Osama bin Laden malah mengindikasikan bahwa mereka menyimpan siasat untuk memperoleh dan mengembangkan untuk kelak tak segan-segan mempergunakan senjata biologis, kimia, atau nuklir.
Berdasarkan pengalaman, Al Qaeda pernah berkarya di Sudan pada 1991-1996, lantas membantu Taliban hingga terjadi serangan AS ke negeri Mullah Omar itu sampai 2001. Sekarang, intelijen AS malah menduga-duga bahwa jajaran kepemimpinan senior Al Qaeda tengah berusaha mempersatukan daerah-daerah tribal yang nirhukum di pinggir Pakistan, dekat perbatasan Afghanistan, di dalam kota-kota Pakistan atau juga di Iran. Organisasi ini juga menjadi pusat dari beberapa jaringan Islami berskala global yang konon meliputi kelompok-kelompok ekstremis Islam Sunni, sejumlah anggota dari al-Gama’a al-Islamiyya, Gerakan Islamik dari Uzbekistan, dan Harakat ul-Mujahidin. Semua agaknya siap untuk “berjihad” melawan Amerika dan seluruh sekutunya.
Jadi, apakah ada bedanya bila Osama meninggal atau tidak meninggal? Mungkin ada. Tetapi kemungkinan itu hanya berpengaruh ke dalam organisasi. Bersifat internal saja. Seandainya Osama benar-benar meninggal, mungkin sekali ada perombakan di tubuh Al Qaeda. Mungkin putranya, Sa’ad bin Laden, yang pada Oktober 2003 dilaporkan berada di Iran, bakal meneruskan wasiat sang abah untuk menggempur AS dan segala kepentingannya. Dan dunia masih akan terancam, mengingat “AS dan segala kepentingannya” itu bisa saja meliputi separuh bumi.
Seandainya Osama bin Laden benar-benar meninggal, paling-paling juga hanya Bush yang menyimpan kesedihan mendalam. Sebab ia akan kehilangan common enemy yang ucapannya sering ia kutip, yang paling potensial untuk dijadikan isu kampanye dan invasi ke negara lain, serta yang telah menjadikannya begitu heroik dan sedemikian bermakna bagi kemanusiaan.

Dani Wicaksono/Reuters/AP/BBC/NBC/

No comments: