Thursday, December 14, 2006

Pembunuhan Politik dan Anasir Totalitarianisme

Pembunuhan Politik dan Anasir Totalitarianisme

“Kami adalah negara,” teriak Mussolini suatu ketika, “yang mengontrol segala kekuatan aktif di dalam alam. Kami mengontrol kekuatan politik, kami mengontrol kekuatan moral, dan kami mengontrol kekuatan ekonomi.
Maklumat Mussolini tersebut, dalam filsafat politik, memiliki makna yang setingkat lebih tinggi daripada ucapan Louis XIV: L’etat Est moi (Negara adalah saya). Louis XIV secara eksplisit menyebutkan kekuatan tirani absolut, mengingat negara hanya dikendalikan oleh satu orang yang merasa mendapat kekuatan ilahiah, sementara Mussolini terang-terangan menegaskan kekuatan negara yang totaliter, sebab negara mengontrol setiap aspek kehidupan dari masyarakat, dan tidak memberi tempat bagi oposisi atau perbedaan.

Kita tidak hendak mengulas pernyataan Louis XIV secara khusus, tetapi bermaksud mengedepankan anasir-anasir yang mengindikasikan terjadinya proses totalitarianisme, yang anehnya masih juga terjadi di zaman posmodern. Pembunuhan Theo van Gogh, seorang pemimpin Islam di Amsterdam, pada 2 November 2006 menjadi satu bukti betapa kekuasaan (bisa berupa negara, kelompok, atau individual) masih berupaya “menghilangkan” orang-orang yang tidak disukainya, atau yang memotong semua kepentingannya.

Di Libanon, penghilangan nyawa Rafik Hariri (14 Februari 2006) dan Pierre Gemayel (21 November 206) sangat bernuansa politis, di mana kepentingan Suriah dan Hizbullah berbenturan dengan langkah dan haluan politik yang diambil oleh keduanya. Pembunuhan Alexander Litvinenko dengan racun Polonium-210 baru-baru ini, yang konon melibatkan jajaran tertinggi pemerintahan Rusia, mencuat menjadi kasus internasional ketika sang mata-mata itu diduga hendak mengungkapkan adanya darah di tangan sang presiden.


Sesuatu yang sudah lama hilang tampak hadir kembali seiring dengan kasus-kasus pembunuhan politik seperti itu: totalitarianisme warisan Hitler, dan Stalin, dan Mussolini. Dalam contoh kasus pembunuhan politik seperti tersebut di atas, konsep tentang kebenaran objektif dibekukan, dan setiap aspek dari kemanusiaan ditiadakan. Demi kepentingan negara, segala yang berkaitan dengan perbedaan, dan kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat dibatasi, sementara manipulasi fakta menjadi keniscayaan yang tak terbendung. Demi negara pula, manusia tidak eksis secara individual, melainkan kolektif. Di atas semua itu, konsepsi kebebasan adalah omong-kosong sebab pikiran dan pemikiran warganegara secara absolut menjadi milik negara.

Pada zaman di mana demokrasi dipacak sebagai sebuah sistem politik dan ideologi yang nyaris sempurna dalam ketatanegaraan, faham totalitarianisme yang sophisticated, yang mengharu-biru abad 20 itu sudah ditinggalkan seiring dengan bunuh diri Hitler dan matinya Stalin dan Mussolini. Namun, anasir-anasirnya melintasi ruang dan waktu, dan menjadi hantu yang membayang di setiap ruang kekuasaan. Kita bisa menyebut tindak terororisme sebagai salah satu contoh yang paling terlihat.

Individual adalah makhluk yang bisa didoktrin untuk loyal terhadap negara atau kelompok, dan bisa diminta mengorbankan kepentingannya, bahkan nyawanya, untuk kepentingan negara atau kelompok. Kepatuhan buta terhadap negara atau kelompok, dengan demikian, menjadi legitimasi betapa setiap jenis oposisi atas prinsip ini dianggap sebagai pengkhianatan. Pada prinsipnya, tidak ada nilai moral, spiritual, atau kemanusiaan yang eksis di luar garis kepentingan negara. Sebab, seturut Thomas Hobbes, negara membangun masyarakatnya melalui kekuatan memerintah (ditentukan oleh sistem hukum), serta melalui kemampuan penguasa dalam meneguhkan hukum dengan menciptakan rasa takut.

Tidak ada yang salah dengan konsep itu. Akan tetapi bila hukum dan kekuasaan yang tadinya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, atau kelompok, atau negara, lantas diselewengkan oleh pribadi, kelompok, atau bahkan negara, maka tidak akan ada yang tinggal selain daripada represi oleh pihak yang berkuasa dan berkepentingan dalam wajah yang bermacam-macam.

Kita memang sering dibingungkan dengan macam-macam wajah dari setiap kekerasan politik yang terjadi di dunia ini. Namun kita harus senantiasa hati-hati bahwa varian dan anasir totalitarianisme selalu ada dalam setiap proses itu.

Dani Wicaksono



lihat kelanjutannya......

Ketika Hasrat Melampaui Akal Sehat

Pembunuhan Politik
Ketika Hasrat Melampaui Akal Sehat

Julius Caesar adalah seorang pemimpin politik yang ambisius di Roma, yang berniat menjadi penguasa tak terkalahkan. Namun, seorang sahabat yang sekaligus senator Roma bernama Marcus Brutus mencium kehendak Caesar yang menurutnya hanya akan memerintah sebagai tiran.

Bersama Cassius, Brutus lantas merancang sebuah plot pembunuhan terhadap Caesar. Persekongkolan itu berhasil sesuai yang dikehendaki Brutus. Caesar ditikam pisau secara beramai-ramai oleh gerombolan yang menghadangnya. Sang raja masih belum mati hingga saat Brutus sendiri menikamnya dari belakang. “Et tu, Brute?” Caesar menatap pedih. “Kamu juga, Brute?” demikian ia menyesali sahabat yang dikasihinya itu turut dalam upaya pengkhianatan.
William Shakespeare, sastrawan besar Inggris, mungkin sekadar memadukan imajinasi dan fakta tatkala ia menulis drama berjudul Julius Caesar dan mementaskannya di panggung kira-kira 1600-1601. Shakespeare mungkin sepenuh-penuhnya sadar bahwa memang begitulah kira-kira yang terjadi dalam politik. Tidak ada kawan sejati selain daripada sejatinya kepentingan. Hanya, Shakespeare jelas tak pernah tahu bahwa sejak saat itu, idenya sering “dibajak” oleh individu-individu yang merasa bahwa satu-satunya jalan keluar dari sebuah persoalan politik adalah dengan membunuh lawan mainnya.


Kita mengalami hal itu. Hingga sekarang, kematian Munir yang diracun dengan arsenikum masih diyakini menyimpan misteri, meskipun beberapa tertuduh diajukan ke pengadilan. Di Amerika Serikat, peristiwa penembakan John F. Kennedy masih menjadi bahan perdebatan di mana beberapa versi punya argumen yang sulit dipatahkan. Benak kita juga masih bertanya-tanya tentang motif sebenarnya dari pembunuhan Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel yang dulu itu. Belum lagi bila kita menyebut pembunuhan-pembunuhan “multitafsir” kontemporer terhadap Alexander Litvinenko (Rusia), Rafik Hariri dan Pierre Gemayel (Libanon), Altynbek Sarsenbaev (Kazakhistan), Jean Dominique (Haiti), Theo van Gogh (Belanda), atau Anna Politkovskaya (Chechnya).

Meskipun banyak motif yang mendasarinya, umumnya orang akan merasa bila politik menjadi sesuatu hal yang dekat dengan kematian karenanya. Padahal, Aristoteles, filsuf yang secara teoretis merumuskan arti kata “Politik”, mengatakan bahwa ada etika yang harus dipatuhi ketika manusia hendak mengatur manusia lainnya. Dalam Ethics ia tegas menulis bahwa “Tujuan dari politik adalah akhir yang terbaik, dan wilayah utama dari politik adalah untuk menciptakan suatu karakter tertentu pada masyarakat atau warganegara, dan membuat mereka menjadi baik dan siap melakukan segala sesuatu yang mulia.” Kemudian, Aristoteles menambahkan bahwa “Kemitraan politik, dengan demikian, harus dihormati demi kemuliaan tindakan, dan bukan demi keuntungan bersama.”

Dengan idealisasi yang ditawarkan Aristoteles, makhluk politik bernama manusia lantas mengidentifikasikan kekuasaan dengan kebesaran, dengan sesuatu yang mulia, yang berlandaskan etika, ketinggian moral, dan segala kebaikan. Namun, dengan kemampuan retorika yang dimilikinya, para politikus kemudian habis-habisan menepis adanya keburukan (menolak menyebut yang buruk sebagai buruk). Para politikus yang “menyimpang” seperti Brutus malah mengabaikan berapa pun jumlah tumbal manusia yang bisa timbul karena kebingungan menafsirkan konsep itu (dibuktikan dengan timbulnya perang saudara akibat pembunuhan Caesar, hingga menciptakan apa yang kita kenal sebagai Triumvirat Pertama yang memerintah Roma).

Kenyataan duniawi kemudian mengukuhkan adanya kekerasan dalam politik. The Politics of Collective Violence (2003) yang ditulis oleh Charles Tilly juga memberi penegasan betapa, di dalam medan politik, kekerasan politik bisa dilakukan oleh individual atau kelompok atau negara, juga bisa mengenai ketiganya sekaligus. Istilahnya pun bisa bermacam-macam, dengan contoh yang bervariasi pula. Hitler melakukan genosida, Fidel Castro melancarkan revolusi dan menggulingkan diktator Batista, Rwanda mengalami perang saudara antara etnis Hutu dan Tutsi, Stalin “menyingkirkan” Leon Trotsky, sementara Gandhi ditembak oleh seorang maniak.
Kekuasaan dan hasrat menjadi ruh yang menggerakkan kegilaan kolektif semacam itu.

Justifikasi akan adanya kepentingan yang lebih besar, yang tidak boleh diganggu gugat bisa juga menjadi alasan mengapa terjadi kekerasan—hingga yang paling ekstrem, yaitu pembunuhan—dalam politik. Para pelaku umumnya memakai alasan terakhir ini sebagai perisai untuk menutupi degradasi nilai atau ketakutan yang dimilikinya. Nyawa manusia kemudian hanya menjadi atribut fisik, betapa pun arbitrernya—sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh Stalin: “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian ribuan orang adalah statistika.”

Apa yang dimaksud oleh Aristoteles sebagai “akhir yang terbaik demi kemanusiaan” dikalahkan oleh bhinneka hasrat yang menyala, yang membakar habis segala norma dan nilai dalam politik. Akal sehat lantas menjadi satu artefak yang tertinggal di lipatan kitab-kitab Socrates dan Plato, hingga Rene Descartes dan Immanuel Kant.

Dani Wicaksono/AP/The Economist/Journal of Political and Military Sociology


lihat kelanjutannya......

Monday, December 11, 2006

Chavez Bertahan, Amerika Latin Merona Merah

Chavez Bertahan, Amerika Latin Merona Merah

Karena dia, “komunisme baru” bergentayangan di Amerika Latin, sekaligus menjadi hantu di Amerika Serikat. Delapan puluh restoran siap saji McDonald di Venezuela langsung ditutup sejak setahun lalu, dan dituntut telah melakukan penggelapan pajak.

Perusahaan-perusahaan multinasional (khususnya yang bergerak di bidang minyak) diusir atau dibeli mayoritas sahamnya oleh pemerintah Venezuela, sementara elite-elite lama di negara itu segera dituduh menjadi alat bagi korporasi imperialisme Amerika Serikat. Dan sekarang, orang yang berada di balik semua berita di Amerika Latin itu, Hugo Chavez, terpilih kembali sebagai Presiden Venezuela sejak pemilu 3 Desember lalu.

Chavez adalah peletak dasar Revolusi Bolivarianisme di Venezuela, yang menyajikan interpretasi sosialis-demokratik dari ide-ide Simon Bolivar, yang tujuan utamanya adalah menentang hegemoni kapitalisme dan neoimperialisme Washington. Ia adalah orang yang memperkenalkan demokrasi partisipatoris (di mana rakyat tidak hanya berlaku sebagai subyek yang diam), seraya memperkenalkan sosialisme abad 21 (yang “berbeda” dibanding Uni Sovyet atau China dulu). Ia pula penggagas uang minyak bagi orang miskin, di mana keuntungan dari pendapatan minyak Venezuela digelontorkan untuk proyek-proyek pengembangan sumber daya manusia seperti pendirian sekolah-sekolah di daerah rural dan urban, pendirian toko-toko kelontong yang disubsidi pemerintah (istilahnya: “mercal”) sehingga harganya hanya separuh dari pasar, atau klinik-klinik medis bebas biaya.

Hugo Chavez, orang yang diharapkan oleh para elite AS dan Venezuela bernasib sama dengan Salvador Allende dari Chile, memenangi pemilu presidensial dengan 62,89 persen (7.161.637) berbanding perolehan suara Manuel Rosales yang hanya 36,85 persen (4.196.329). Bersamaan dengan itu, Chavez mengambil sendiri tongkat estafet Revolusi Bolivarian, dan kembali menggaungkan proyek sosialisme abad 21.

Sebulan kemarin memang waktu yang sangat signifikan bagi Amerika Latin. Nikaragua berpesta seiring dengan kembalinya pemimpin Sandinista, Daniel Ortega, ke tampuk pemerintahan, dan ratusan ribu orang memperingati hari kelahiran Fidel Castro yang ke-80. Dunia semakin yakin bahwa perlahan tapi pasti, Amerika Latin tengah membuat konsensusnya sendiri: tegak dan semakin kuatnya kelompok sayap kiri yang serempak menentang dan menantang kedigdayaan Amerika Serikat.

Aliansi Kuba, Venezuela, dan Bolivia, yang disebut “Poros Kebaikan”, atau ada pula yang bilang “Poros Harapan”, kembali kukuh sebagai penantang paling kuat dari kepentingan-kepentingan imperialisme Amerika Serikat, secara regional atau internasional. Perekonomian negara Venezuela tumbuh pada kisaran 10 persen per tahun selama tiga tahun terakhir, yang mengakibatkan ledakan konsumsi, yang akhirnya melipatgandakan pendapatan negara. Kemiskinan berhasil dikurangi: dari 55 persen menjadi sekitar 33 persen pada triwarsa itu juga.
Akan tetapi, meskipun kekuatan politik dan ekonomi Venezuela cukup mampu menandingi Washington di kawasan itu, dan Hugo Chavez memimpin untuk ketiga kalinya sejak 1998 (atau kedua kalinya di bawah Konstitusi 1999), tetap saja ada kemungkinan-kemungkinan persoalan yang harus ditanggulangi.

Pertama, adalah soal eksternal. Pemerintahan George W Bush sangat ingin menggulingkan Chavez dari kursi kepresidenan. Chavez dianggap cukup vokal mengkritik Gedung Putih, dan pantas disingkirkan dengan cara apa pun. Bisa jadi Washington akan mendekati kelompok oposisi pimpinan Manuel Rosales, dan membujuk mereka untuk bahu-membahu “mengganggu” Chavez—seperti yang selalu dilakukan AS terhadap Fidel Castro di Kuba. Tak perlu disangsikan, Pemerintahan Bush pastilah akan terus mencoba menggoyang dan mengisolasi Venezuela, serta merongrong Chavez sedikit demi sedikit.

Kedua adalah persoalan internal, yang semakin hari semakin besar, yakni tentang menggejalanya patronase dan korupsi. Dua soal ini telah lama berurat akar di Venezuela, bahkan sejak sebelum Chavez memimpin. Kalau dibiarkan, patronase dan korupsi bisa menjadi benalu yang merusak program-program sosialisme Chavez. Untung bagi Venezuela dan proyek Bolivarian, Chavez telah mengumumkan bahwa dua program awal tahun depan terutama sekali adalah reformasi administrasi publik (termasuk penanggulangan korupsi), dan membentuk sebuah partai revolusi yang bersatu.

Di luar itu, barangkali Chavez hanya tinggal menunggu waktu tibanya perlawanan hebat yang akan dikobarkan oleh Amerika Serikat. Sebab karena Chavez, Amerika Latin perlahan-lahan merona merah sewarna api.

Dani Wicaksono/The Economist/Venezuela Information Office(VIO)/Venezuelananalysis.com

lihat kelanjutannya......

Sang Radikal Kembali Memimpin

Sang Radikal Kembali Memimpin

Para pemilih telah menetapkan keputusannya. Hugo Chavez, sejak 1998, kembali dinyatakan sebagai pemenang dari pemilu presidensial 3 Desember lalu. Ia mengungguli kompetitornya, Manuel Rosales, dengan perolehan suara 62,89 persen (7.161.637) berbanding 36,85 persen (4.196.329) suara.
Ada 14 kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden, yang didukung oleh 79 partai—24 partai mendukung Chavez, dan 43 membela Rosales. Tidak ada kandidat lain yang beroleh lebih dari 1 persen suara. Dengan demikian, Hugo Chavez sebagai presiden terpilih akan memimpin Venezuela untuk masa enam tahun yang kedua kalinya (dalam aturan Konstitusi 1999) mulai Februari 2007 nanti.
Ini adalah hasil yang tidak terlalu mengagetkan. Hampir seluruh publik di Venezuela, terutama, dan dunia, umumnya, yakin betul bahwa presiden yang besar mulut ini akan memimpin kembali negara yang kaya energi. Kampanyenya mengenai Revolusi Bolivarian membuat ia mampu mengkonsolidasikan segenap kekuatan ekonomi dan politik di Venezuela. Nasionalisasi industri yang ia jalankan membuatnya menjadi orang kuat yang setanding dengan siapa pun pemimpin besar di zaman ini. Terlebih lagi, Chavez memanfaatkan pemerintahannya untuk mengubah beragam aspek kehidupan rakyat Venezuela. Dan dengan Revolusi Bolivarian, ia tampak benar bermaksud menandingi dominasi imperialis Amerika Serikat.
Nama Chavez harum di sini. Ia menjadi pelopor dari keberanian Amerika Latin—satu hal yang memang diwariskan oleh orang-orang semacam Simon Bolivar—untuk menjadi antitesis dari dominasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Barangkali Chavez menang karena ini. Ada anggapan bahwa kemenangan kali ini didukung terutama oleh peningkatan pendapatan minyak selama tiga tahun terakhir. Ada juga yang memandang bahwa kejayaan politiknya ditentukan oleh propaganda untuk “meneguhkan dan meluaskan revolusi,” yang tujuannya adalah “sosialisme abad 21”.
Bisa jadi semua benar. Popularitas Chavez terdongkrak karena semua hal itu. Ia dengan cerdik telah menjadikan Amerika Serikat sebagai “common enemy”, dan mengolah isu tersebut untuk meraih simpati publik—dan ternyata berhasil: baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Karena sebab-sebab itulah, barangkali, Manuel Rosales, gubernur Zulia yang berhaluan sosial demokratik, dengan mudah dikalahkan. Dengan upaya yang kuat, Rosales berkampanye tentang reformasi konstitusional, termasuk pengurangan masa jabatan presiden hingga hanya empat tahun, dan berjanji untuk menjamin hak-hak individual dan pilihan pendidikan.
Namun Rosales terbukti belum berhasil mengelola isu-isu ini menjadi kendaraan utamanya. Dalam bidang pendidikan, di mana Chavez bermaksud mendoktrinkan Bolivarianisme ke dalam kurikulum, ia sebenarnya punya peluang untuk mengungguli sang presiden. Tetapi mungkin ia kehabisan tenaga. Begitu pun, kekalahan ini tidak mengecilkan hatinya. Ia mendapat tekanan kuat dari sayap radikal kelompok oposisi, dan dengan tegas menepiskan tuntutan untuk turun ke jalan, memprotes hasil pemilu. Ia cenderung menghormati proses demokrasi “a la Venezuela” dan mungkin menata langkah untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.
Rosales pastilah akan menghadang segala upaya Chavez untuk memberikan pembatasan yang lebih kaku terhadap perusahaan-perusahaan swasta. Chavez terkenal sebagai orang yang berkata bahwa kapitalisme adalah akar dari segala keburukan, dan menolak segala usulan yang ditawarkan Amerika Serikat, termasuk perdagangan bebas di Amerika Latin. Kalau hendak mencari dukungan, wilayah Rosales ada di sini. Bersama kelompok oposisi, dan dengan mendekat ke Washington, Rosales akan punya kesempatan untuk mengejek upaya Chavez yang berniat mengganti sistem kapitalisme dengan “sosialisme berdasarkan solidaritas dan barter”.
Tetapi Rosales harus lebih bekerja keras. Konstitusi memungkinkan Chavez mengikuti pemilu presidensial periode enam tahun berikutnya. Konstelasi politik di Amerika Latin juga mendudukkan Chavez sebagai seorang pahlawan yang sukses mendorong kemenangan kelompok-kelompok kiri di Brasil, Bolivia, Nikaragua, dan sebagainya. Dengan minyak dan kepandaian berbicaranya, Chavez memikat dan merangkul semua kepemimpinan kiri itu ke dalam “Poros Kebaikan” yang dirumuskannya bersama Fidel Castro dari Kuba.
Hingga ada suksesi yang mendadak dan signifikan, yang bisa mengubah keadaan, kelompok oposisi yang dipimpin Rosales masih akan menemui jalan terjal. Sementara Rosales menunggu momentum itu terjadi—entah secara alamiah atau karena politik “pergantian rezim” dari Amerika Serikat—politik hegemoni Chavez pasti sudah akan membentuk wajah masa depan Venezuela—Chavez bisa menjadi diktator seumur hidupnya.

Dani Wicaksono/The Economist/Venezuela Information Office(VIO)/Venezuelananalysis.com

lihat kelanjutannya......

Kini, Ibu Hendak Menyusui Anaknya

Laporan Kelompok Studi Irak
Kini, Ibu Hendak Menyusui Anaknya

Sejak 20 Maret 2003, Amerika Serikat di bawah komando Presiden George W. Bush menginvasi Irak. Sembilan bulan kemudian, 13 Desember 2003, Saddam Hussein tertangkap dalam keadaan seperti tikus tengah sembunyi di selokan.
Namun, bukan berarti perang berhenti. Milisi-milisi bersenjata dari pelbagai golongan mengangkat senjata, dan saling bunuh tak pandang bulu. Dengan banyak motif, mereka menjadikan setiap jengkal tanah di Irak sebagai medan perang. Di mata mereka, barangkali, bukan kaum berarti lawan. Kelompok Sunni bertempur melawan Syiah. Etnis Kurdi bertempur melawan keduanya. Sunni, Syiah, dan Kurdi, menghancurkan segala sesuatu yang berbau Amerika Serikat atau orang asing. Kacau-balau semuanya.
Seperti kata Koffi Annan, suatu ketika, “Kejadian di Irak lebih buruk daripada perang saudara.” Kalau mau lebih mendesak Annan, mungkin saja ia bermaksud bilang bahwa Irak adalah neraka. Di mana-mana adalah api dan ledakan bom. Di mana-mana adalah maut dan erang orang sekarat. Tiada hari di Irak tanpa pembantaian atau pengeboman. Negeri Seribu Satu Malam ini secara konkret berubah menjadi Negeri Seribu Satu Kematian. Sebab segala model kematian tumpah-ruah di tempat ini.
Semenjak penyerbuan ke Irak, tercatat ada 3.172 peti mati dikirim balik oleh tentara multinasional pimpinan Gedung Putih. Paling tidak, Bush sendiri terpaksa mengucapkan bela sungkawa untuk sekitar 2.926 tentara AS yang mati sia-sia. Selebihnya, Pentagon mengakui bahwa sekitar 22.057 anggota pasukan AS mengalami luka atau cacat pascaperang. Kongres sendiri dengan masygul terpaksa mengizinkan pemakaian dana miliaran dollar untuk menutup pembiayaan banyak hal di Irak. Program rekonstruksi yang direncanakan oleh George W Bush dan kawan-kawannya juga tiba-tiba membentur benteng tebal yang tak tertembus. Semua rencana gagal dilaksanakan.
Washington beranggapan, pembentukan pemerintahan transisi di Irak adalah solusi yang mampu menyelesaikan semua persoalan—seraya tetap mengirim pasukan bantuan/pengganti sebanyak mungkin. Hanya, kita bisa lihat bahwa Pemerintahan Koalisi di Irak yang dipimpin oleh Presiden Jalal Talabani (Kurdi) dan Perdana Menteri Nuri al-Maliki (Syiah) lebih terlihat sebagai “patung” daripada pengelola segala unsur ketatanegaraan.
Untunglah anggota Kongres, Frank Wolf, seorang Republikan dari Virginia berkunjung ke Irak selama 3 kali. Dalam kunjungan terakhirnya, September 2005, ia seperti memperoleh pencerahan. Wolf sadar bahwa AS seharusnya bertindak laksana ibu yang menyusui anaknya. Dengan logika sederhana, tidak ada seorang ibu menyusui anaknya sembari membawa senapan mesin M-16 atau bom C-7, hanya untuk menakut-nakuti apabila si bayi rewel. Dengan logika sederhana lagi, ibu tetap harus menyusui anaknya, setelah membuang semua senjata mematikan itu.
Hanya, karena persoalan di Irak tidak demikian sederhana, AS butuh “mata yang jernih” untuk menengahi semuanya—seperti Kennedy butuh penasihat untuk menarik rudal nuklir AS dari Teluk Babi semasa Krisis Misil Kuba, agar tidak kehilangan muka. Maka dibentuklah sebuah komisi yang terdiri dari figur-figur terkemuka dan terpercaya untuk memberi masukan yang sifatnya rekomendatif, yang bisa memuaskan semua kepentingan yang terlibat di Irak. Kelompok Studi Irak, beranggotakan 10 orang, akhirnya menjadi wadah resmi yang bertanggung jawab untuk “membersihkan darah” di tangan Paman Sam sejak dibentuk Maret 2006.
Dipimpin oleh mantan Menteri Luar Negeri James Baker III (Partai Republik) dan mantan anggota Kongres dari Indiana Lee Hamilton (Partai Demokrat) kelompok bipartisan ini dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan kedigdayaan Amerika Serikat. Empat puluh ahli dari segala bidang seperti ilmu perang, Timur Tengah, rekonstruksi, militansi Islam, dan sebagainya, ditanyai dan dimintai opsi untuk membuat “peluru ajaib” yang konstruktif untuk Irak. Kelompok ini juga mewawancarai Presiden Bush, mantan Presiden Bill Clinton, serta berdiskusi dengan pihak-pihak pemilik kepentingan seperti Kofi Annan (masih sebagai Sekjen PBB), Menteri Luar Negeri Suriah Walid Moallem, serta Duta Besar Iran untuk PBB Javad Zarif.
Dan pada 6 Desember 2006, Kelompok Studi Irak mengeluarkan laporannya, yang dikomentari oleh Bush: “Kami akan sangat mempertimbangkan setiap rekomendasi.” Kelompok bipartisan tersebut mengawali uraiannya dengan pemaparan situasi terkini di Irak, dan mendukung pemikiran Bush bahwa Irak sebenarnya bisa memerintah dan mengupayakan kestabilan politik dan keamanannya sendiri, meskipun perlu waktu. Penarikan 150.000 pasukan secara bertahap (hingga 2008) merupakan usulan yang masuk akal. Pola pendekatan terhadap Irak juga harus diubah, dengan melibatkan seluruh tetangga Irak dan anggota tetap PBB. Sementara semua usulan itu dilakukan, pemerintah AS tetap harus membantu dan mendukung pemerintah Irak (secara politik, militer, dan finansial).
Presiden Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair seolah bersorak kegirangan. Dua sejoli ini selalu mengelak bila ada orang bilang bahwa AS dan Inggris kalah di Irak, dan sebaiknya menarik pasukan, seperti pada Perang Vietnam dulu. Keduanya sepakat tidak mau mempermalukan diri sendiri andai menerima kenyataan itu. Dengan 79 rekomendasi dari kelompok Baker-Hamilton, mereka seperti mendapat kesempatan untuk bersikap “rendah hati”, dan menerima usulan pihak lain—meski intinya adalah pergi dari Irak.
“Rakyat Amerika berharap kita menerapkan strategi baru ini,” kata Bush dalam konferensi pers di Washington pada 7 Desember. “Visi itu benar-benar tepat,” ucap Blair pada saat yang sama. Yang pasti, bayi Irak tengah menunggu sang ibu menyusuinya. Tentu saja dengan “kelembutan”, dan bukan dengan senjata.

Dani Wicaksono/The Washington Post/CBS/AP/The Christian Science Monitor

lihat kelanjutannya......

Monday, December 4, 2006

Belajar dari Amerika Selatan

Belajar dari Amerika Selatan

Pada 30 November 2006, kita menjadi saksi dari puncak Konferensi Tingkat Tinggi Afrika-Amerika Selatan. Pertemuan itu sendiri secara teknis dan dalam sesi kementerian sebenarnya telah dimulai sejak empat hari sebelumnya, di Abuja, ibu kota Nigeria.
Ini adalah pertemuan pertama kalinya sepanjang sejarah dari dua benua yang ditalikan oleh benang merah sejarah, dan yang paling ditunggu-tunggu manakala tantangan untuk kerjasama global dalam sejumlah isu benar-benar dibutuhkan. Tidak hanya diharapkan mampu mengadopsi rencana-rencana aksi atas isu-isu strategis demi kepentingan bersama, seperti perdagangan dan energi, momentum ini juga membahas situasi internasional yang tengah berlangsung.
Paling tidak, kedua benua menyadari keberadaan dan fungsi pentingnya di pentas global, juga mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang dicapai sejumlah negara di kawasan itu. Negara-negara Amerika Selatan selama dekade terakhir dan sebelumnya telah mempraktikkan sejumlah model pembangunan ekonomi yang pada prinsipnya berupa kebijakan reformasi ekonomi arahan trio Amerika Serikat, Bank Dunia, dan IMF (atau dikenal sebagai Konsensus Washington).
Di samping kesuksesan cukup signifikan dari beberapa negara yang menjalankan reformasi ekonomi neoliberal, kesenjangan sosial dan marjinalisasi ekonomi yang dirasakan oleh mayoritas penduduk benua ini masih tampak sangat jelas, terutama dalam proses suksesi kepemimpinannya. Hampir sepanjang 1980-an dan awal 1990-an, kawasan ini mengalami tak terhitung protes-protes sosial yang sebagian malah berpuncak pada konflik bersenjata. Demokrasi tanpa penguatan ekonomi masih saja menjadi tradisi dari mayoritas negara Amerika Selatan.
Dari negara terluas di benua ini (Brasil dan Argentina), hingga ke negara menengah (Venezuela, Chile) dan negara kecil (Bolivia, Ekuador), kita akan mendapati kisah reformasi ekonomi neolib yang umumnya setali tiga uang: kesenjangan sosial dan munculnya konflik politik. Bahkan kita punya kosakata “Revolusi Pisang” untuk menyebut akselerasi dan tradisi perubahan di Amerika Selatan, karena saking seringnya, dan saking cepatnya, dan tak berumur panjang. Efeknya, di samping terhentinya sebuah proses pembangunan, kredibilitas pemerintahan di kawasan ini pun banyak diragukan oleh investor. Argentina dan Brasil malah pernah mengalami krisis luar biasa di mana utang luar negeri sudah tak terbayarkan, dan modal asing beterbangan dalam jumlah besar: lari karena nilai mata uang (peso) terjun bebas.
Pada 1998, pemilihan Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela memberi pengaruh besar akan terjadinya perubahan di daratan Amerika Selatan. Dan ini bukan hanya menyebarnya pencarian model perekonomian alternatif dan arah politik yang cocok diterapkan di suatu negara. Satu demi satu, dari Brasil hingga Argentina, mulai Bolivia sampai Chile, partai-partai dari kelompok kiri menguasai kantor kepresidenan melalui pemilu-pemilu demokratis. Dengan perlahan atau lantang, negara-negara tersebut mulai berani bersuara miring terhadap, bahkan sampai menyingkirkan, model perekonomian neolib yang didesakkan Konsensus Washington beserta paket institusi kebijakan sosial dan perekonomiannya.
Sadar bila model neolib hanya menciptakan marjinalisasi sosio-ekonomi dari mayoritas rakyat, pemerintahan-pemerintahan generasi baru (sejak Chavez) mulai memadukan kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas fiskal dan makro, dengan kebijakan-kebijakan sosial yang difokuskan pada isu-isu kemiskinan, pengangguran, dan kesehatan. Hasilnya, kita mendengar adanya harmoni—sebuah orkestrasi yang dimainkan oleh nyaris seluruh kawasan—tentang stabilitas dan keteraturan (juga kewibawaan) politik, kesetaraan sosial dan ekonomi, serta kebangkitan umat manusia. Sayup-sayup atau membahana, orkestrasi itu rancak dan merdu. Konduktornya, mungkin, adalah semangat yang sama untuk kemerdekaan manusia secara utuh.
Ini adalah pelajaran berharga bagi Afrika. Juga bagi dunia. Amerika Selatan bangkit melalui pemilu yang benar-benar demokratis, melalui pemilihan pemimpin (bukan pemimpi), dan melalui penciptaan pemerintahan yang bersih dan baik, dengan model perekonomian alternatif (asal bukan neolib) sebagai kendaraannya.
Pastilah ini bukan pemandangan satu sisi. Afrika tentu punya nilai-nilai adiluhungnya sendiri, yang bisa pula dijadikan suri tauladan. Keikhlasan untuk berbagi—saling memberi dan saling menerima—dengan demikian hanyalah mekanisme yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan forum, atau konferensi, atau apa pun namanya. Intinya adalah persatuan gerak.

Dani Wicaksono/Daily Trust/AP/AFP

lihat kelanjutannya......

Sunday, December 3, 2006

Menyurat Masa Silam, Menggurat Masa Depan

KTT Afrika-Amerika Selatan
Menyurat Masa Silam, Menggurat Masa Depan

“Afrika dan Amerika Selatan adalah dua kawasan dengan kemungkinan luar biasa dan kekayaan tiada terkata, baik dalam hal sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Populasi gabungan dari semuanya mencapai lebih dari 1,2 miliar orang, dan tanah pertanian yang mahaluas beserta melimpahnya sumber-sumber mineral yang dikandung oleh dua kawasan bisa menempatkan kita di posisi teratas dalam hubungan multilateral, tanggung jawab, dan kesempatan-kesempatan global.
Tujuan kita berada di sini, dengan demikian, seharusnya memberikan kekuatan lebih besar dan ekspresi praktis lebih beragam demi idealnya Kerjasama Selatan-Selatan yang telah lama menyita perhatian dua kawasan kita. … Adalah kebutuhan bagi kita, sebagai negara-negara yang berkembang, untuk tetap menjaga kemandirian dan gotong-royong, dan menghapus kesenjangan ekonomi dan finansial antara negara kaya dan negara miskin di seluruh dunia.”
Pidato itu disampaikan oleh Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo di Abuja, 30 November 2006. Sebagaimana disinggung oleh Obasanjo, di ibu kota Nigeria itu telah terjadi perhelatan akbar di mana nyaris seluruh perwakilan Afrika dan Amerika Selatan berkumpul untuk pertama kalinya, untuk membicarakan kerjasama dan aliansi strategis yang berkelanjutan.
Momentum ini seharusnya bukan merupakan sesuatu hal yang mengherankan. Kalau pun bisa dianggap mengherankan, itu lebih karena pertanyaan mengapa pertemuan keduanya baru terjadi sekarang ini, di abad yang berpacu ini. Kedua kontinen berbagi sejarah kolonialisasi dan eksploitasi yang sama. Selama beberapa dekade, kedua kontinen menjadi “subaltern” yang harus “disuarakan” agar bisa didengar hingga ke pojok-pojok dunia.
Afrika disebut sebagai “the Dark Continent” ketika kekuatan kolonial Eropa (Portugis) mendarat di tanah ini pada abad ke-15. Afrika memiliki peradaban-peradaban eksotis yang lantas dianggap tak beradab oleh para pendatang baru. Kulit yang mengkilat seperti arang basah dijadikan legitimasi bahwa mereka adalah “manusia sekondan” yang derajatnya sedikit saja lebih tinggi (atau malah lebih rendah) daripada binatang, dan hanya pantas dijadikan budak. Berturut-turut, Pantai Budak, Pantai Emas, dan Pantai Gading menjadi sumber daya manusia yang bisa diperdagangkan. Berturut-turut pula kapal-kapal penjelajah berbendera Portugis, Belanda, dan Inggris berlabuh untuk “menghabisi” tanah dan manusia Afrika.
Pada saat yang sama (abad 15), dua kekuatan besar maritim Eropa, yakni Portugal dan Spanyol, berebut daratan baru yang diketemukan di barat. Keduanya akhirnya sepakat untuk membelah tanah itu: semua tanah di barat garis Traktat Tordesilhas, yang sekarang dikenal sebagai Amerika Selatan, menjadi milik Spanyol, dan seluruh tanah di timur garis imajiner itu menjadi wilayah kekuasaan Portugal. Namun, sejak 1530-an manusia dan sumber daya alam Amerika Selatan berturut-turut diperas habis oleh Spanyol dan kemudian Portugal. Dua bangsa kolonial ini bersaing dan mengukuhi tanah dan seisinya sebagai milik mereka, dan mulai membaginya dalam koloni-koloni. Kebutuhan akan tenaga kerja lantas semakin memperjelas ikatan historis keduanya: budak-budak Afrika diangkut untuk dipekerjakan di Brasil, misalnya.
Enam abad setelahnya, dua kontinen yang berbagi suka dan duka yang sama ini berjalan sendiri-sendiri. Bergolak dan bergolak untuk merdeka. Keduanya sama-sama menghasilkan pahlawan terhebatnya masing-masing (Nelson Mandela, Simon Bolivar, misalnya), dan berjalan sendiri-sendiri untuk menghadapi kekuatan baru dari Barat: neoliberalisme dan neoimperialisme.
Enam abad setelahnya, sekitar 900 orang delegasi dari 53 negara Afrika (total negara Afrika adalah 54) dan 12 negara Amerika Selatan (seluruhnya) lantas memutuskan untuk berkumpul di Abuja, Nigeria. Merasa dipersatukan oleh masa yang silam dan yang menjelang, para pemimpin dua benua ini menyatu dan menciptakan peristiwa “pertemuan dua hari” yang paling besar sedunia sepanjang sejarah.
Mereka membicarakan pelbagai jenis kerjasama, mulai dari bidang energi, perbankan, demokrasi, reduksi kemiskinan, pendidikan, penyakit, konflik antarnegara, hingga krisis politik di dalam negeri. Lula da Silva, Presiden Brasil, menyerukan persatuan untuk memerangi hambatan-hambatan perdagangan di negara-negara berkembang. Moamar Qadaffi, pemimpin Libya, mencerca negara-negara kaya yang selalu menindas negara-negara miskin. Evo Morales, Presiden Bolivia, menuntut adanya persamaan hak bagi para pribumi yang sering dizalimi.
Namun itu keinginan tersebut bisa dipandang superfisial. Kita bisa lebih jauh melihat pertemuan yang rencananya dilangsungkan dua tahunan ini sebagai sebuah komitmen sangat teguh untuk menciptakan dan merawat sebuah ikatan adidaya di antara dua benua.
Seturut kata-kata Presiden Obasanjo, “Kita akan membangun jembatan permanen untuk saling memahami, bekerjasama, pertahanan dan keamanan, serta berbagi pengalaman dan kesejahteraan.”

Dani Wicaksono/AP/AFP/Panapress

lihat kelanjutannya......

Ekuador dan Akhir Neoliberalisme di Amerika Latin

Ekuador dan Akhir Neoliberalisme di Amerika Latin

Seandainya hasil penghitungan suara terakhir di pemilu Ekuador tetap berpihak pada Rafael Correa dari partai Alianza, dan tidak menjungkirbalikkan perkiraan pengamat pada umumnya, maka Amerika Latin akan mendapat tambahan amunisi untuk melawan dominasi Barat di benua ini sejak seabad lalu.
Rafael Correa, yang menerima gelar Ph.D bidang ekonomi dari University of Illinois, seandainya benar-benar terpilih menjadi presiden Ekuador, akan menjadi orang kesebelas di Amerika Latin selama 8 tahun terakhir yang berkampanye melawan kebijakan-kebijakan perekonomian “neoliberal” selama periode tersebut.
Semenjak beberapa tahun berselang, nyata nian terjadi perubahan haluan politik di Amerika Latin. Venezuela mengawalinya dengan penunjukan Hugo Chavez sebagai presiden sejak 1998. Belakangan Brazil, Chile, Bolivia, Argentina, Uruguay, Meksiko dan Nikaragua, mengikuti pola yang nyaris sama: terpilihnya kandidat dari kelompok kiri sebagai presiden.
Ekuador, negeri dengan problem ekonomi terbesar di Amerika Latin, pun tak luput dari kecenderungan yang sama. Kehancuran ekonominya, di mana pada periode 1980-2000 PDB-nya anjlok hingga 14 persen dan pertumbuhan ekonominya stagnan, membuat Ekuador terpaksa mengkaji ulang politik neoliberalisme yang digembar-gemborkan Amerika Serikat di kawasan ini.
Meski setelah 2000, Ekuador beroleh pencapaian baik secara regional, dengan peningkatan pendapatan per kapita hingga 8 persen dari 2000-2005, publik masih yakin bila itu semua belum cukup untuk memulihkan stabilitas ekonomi dan politik yang hancur-hancuran selama dua dasawarsa sebelumnya. Bahkan secara keseluruhan, kemiskinan masih mendera 45 persen dari populasi (pada 2001), sementara hingga sekarang, rata-rata 13,4 juta warganya hanya mampu mengais US$2.630 setiap tahunnya. Hampir 80 persen dari penduduk pribumi (kira-kira sepertiga populasi) malah masih berkubang kemiskinan.
Presiden Alfredo Palacio, yang berkuasa setelah Lucio Gutierrez diberhentikan oleh Kongres pada April 2005, dianggap tidak terlalu serius memerangi kemiskinan. Bahkan ia merencanakan perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, yang dikhawatirkan oleh para politisi sebagai langkah awal kehancuran perekonomian Ekuador. Bagi orang-orang seperti Correa, jelas bahwa neoliberalisme bukanlah obat mujarab untuk menghapuskan kemiskinan di Ekuador. Justru kebijakan pemerintah seperti penandatanganan perdagangan bebas itu memperburuk kesenjangan golongan kaya dan miskin di negara itu.
Sebaliknya, Rafael Correa memainkan perannya sebagai figur yang siap bertarung menentang cengkeraman tangan Bank Dunia dan IMF dan semua kekuatan neoliberalisme. Ia menjanjikan penghapusan utang dan pemutusan hubungan dengan negara pemberi utang. Berbeda dengan Alvaro Noboa yang memfokuskan kampanyenya pada serangan terhadap kepribadian rivalnya, Rafael Correa suntuk pada upaya penanggulangan ancaman-ancaman yang akan merusak stabilitas negara.
Di Ekuador, sejak 1990-an, Washington berhasil mendesakkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertumpu pada pengurangan batasan-batasan perdagangan internasional dan pembukaan kran-kran investasi di pelbagai bidang. Perusahaan-perusahaan publik diprivatisasi, dan kebijakan-kebijakan industrial serta perencanaan-perencanaan pembangunan lebih ditentukan oleh pasar dan bukan pemerintah. Harapannya, pemerintah bisa mengurangi pengeluaran, bank-bank sentral semakin independen dan kuat menahan inflasi. Negara lebih terbuka untuk sayap-sayap neoliberalisme yang menyerbu tanpa ampunan.
Sejak 1980-an, Amerika Serikat pun tak segan-segan mengucurkan miliaran dollar dan mendukung pembantaian puluhan ribu orang tak berdosa untuk menjaga kontrol atas negara-negara kecil yang signifikan secara ekonomi di benua ini. Presiden Bill Clinton, misalnya, mengotori tangannya di Guatemala, membantai rakyat El Salvador, merusuhi Kuba, dan merusak Nikaragua. Washington pun menanamkan pengaruhnya secara kuat melalui Bank Dunia dan IMF, seraya menawarkan program-program seperti “promosi demokrasi” atau kucuran utang—yang justru mengakibatkan krisis perekonomian secara massif di Meksiko, Argentina, Brasil, dan Ekuador.
Sekarang, era ini sudah mulai berubah. Neoliberalisme memang belum berakhir secara tuntas di Amerika Latin. IMF pun masih berpengaruh di beberapa tempat sebagai “penjaga gerbang” untuk masuk dan pinjam duit ke Bank Dunia atau negara-negara G8.
Akan tetapi, perubahan telah terjadi pelan-pelan, dan pasti, dan tak tertolak. Hasil (sementara) pemilu Ekuador menunjukkan bahwa Rafael Correa siap menjadi salah seorang pembawa obor pembaharuan di kawasan yang sama. Dan bila semua pembawa obor bergabung, Amerika Latin niscaya akan terang-benderang, seolah-olah mengalami Renaisans.

Dani Wicaksono/CEPR/Time/AP

lihat kelanjutannya......

Ekuador Pascapemilu: Bergerak ke Kiri

Ekuador Pascapemilu: Bergerak ke Kiri

Pemilu putaran kedua di Ekuador, Minggu, 26 November 2006, boleh jadi akan menghembuskan angin perubahan. Berdasarkan hasil perhitungan suara cepat atau quick count dari tiga media polling (Gallup, Teleamazonas, dan Market pollsters), Rafael Correa memperoleh 56,9 persen suara, sementara pesaingnya Alvaro Noboa hanya mendapat 43,1 persen.
“Kami terima kemenangan ini dengan sederhana dan rendah hati,” kata Correa (43 tahun), lulusan doktor ekonomi University of Illinois. “Begitu kami mengambil alih kekuasaan, saat itu pula rakyat Ekuador berkuasa.”
Correa, seorang ekonom sayap kiri, yang menyerukan pemutusan hubungan Ekuador dengan negara-negara pemberi hutang, akhirnya akan menjadi pemimpin bangsa Andean yang tidak stabil secara politik. Seiring dengan angin kencang reformasi yang menggetarkan daratan Amerika Latin, yang dihembuskan Venezuela dan Bolivia dan Kuba, agaknya Correa akan mengembangkan layarnya ke arah yang sama.
Rafael Correa adalah mantan menteri ekonomi Ekuador, yang mengkampanyekan sebuah “revolusi rakyat” melawan sistem politik Ekuador yang tidak berwibawa. Selama masa kampanye pula, ia berjanji bahwa Ekuador akan memutuskan hubungan dengan Bank Dunia dan IMF. Ia yang menjuluki Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai “orang bebal”, juga ingin menyelenggarakan referendum untuk memperbaharui konstitusi untuk mengurangi kekuasaan partai-partai tradisional dan membatasi aktivitas-aktivitas militer AS di Ekuador.
Selain itu, Correa berniat membangun 100.000 rumah sederhana dan meniru janji Noboa untuk menggandakan “bonus kemiskinan” US$36 setiap orang per bulan untuk 1,2 juta warga tidak mampu di Ekuador.
Hanya, kebijakan luar negeri Correa-lah yang menjadi perhatian publik. Bukan karena Ekuador mampu memproduksi dan mengekspor 535.000 barel minyak setiap harinya, bukan pula karena Ekuador hendak bergabung kembali dengan OPEC, yang pernah ditinggalkannya pada 1993. Tetapi, seperti diperhatikan oleh dunia, sejak awal kampanyenya, Correa selalu mengidentifikasikan diri dengan Presiden “ugal-ugalan” dari Venezuela, Hugo Chavez.
“Besar harapan kami bisa lebih dekat dengan Chavez,” katanya kepada televisi Channel 8 dalam sebuah wawancara, “sebab Chavez adalah seorang sahabat yang personal.” Meskipun ia kemudian memperbaiki keberpihakannya dengan menyatakan bahwa “di rumah saya, bukan sahabat yang pegang kendali, melainkan rakyat Ekuador”, masyarakat Barat terlanjur memegang omongan pertama Correa sebagai hipotesis untuk melihat Ekuador ke depan. Di samping itu, kesiapan Correa untuk menunjuk ekonom sayap kiri Ricardo Patino dan Alberto Acosta, sebagai menteri ekonomi dan energi menambah jelas gelagat pergerakan Ekuador setelah pemilu 2006.
Fakta lain: meskipun bilang tidak hendak membatasi hubungan luar negeri, Correa tegas-tegas menginginkan ikatan lebih kuat dengan presiden-presiden kiri moderat seperti Michelle Bachelet (Chile), Nestor Kirchner (Argentina), dan Luiz Ignacio Lula da Silva (Brasil). Dan dengan Washington, Correa siap menjalin hubungan baik, tetapi “tidak akan menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, sebab mereka hanya akan menghancurkan pertanian, peternakan, dan industri unggas kami.”
Kemenangan Rafael Correa sebenarnya masih belum diresmikan. Hasil pemilu keseluruhan sebenarnya baru bisa diketahui hari Minggu, 3 Desember 2006. Namun, komisi pemilihan di Ekuador akan mengumumkannya secara resmi Selasa depan.
Sementara itu, rival berat Correa, Alvaro Noboa, seorang miliuner yang dekat dengan keluarga Kennedy dan Rockefeller, tidak mau mengakui kekalahannya sampai pengumuman resmi dikeluarkan.
“Ada skenario untuk memancing kerusuhan dengan pengumuman polling cepat itu,” ucap Noboa di hadapan pendukungnya di kota pantai Guayaquil. Ia sendiri sudah menginstruksikan ketua kampanyenya untuk pergi ke Mahkamah Tinggi Pemilu dan menuntut mereka membuka kotak suara dan menghitungnya satu demi satu supaya tidak ada keraguan.
Namun, euforia sudah merebak di salah satu kawasan Amerika Latin. Sebuah euforia tentang kemenangan (lagi-lagi) kelompok kiri. Sebab, kemenangan Correa meniscayakan arah angin buritan yang menggiring Ekuador untuk bergabung dengan armada kiri tingkat benua yang sebelumnya sudah angkat sauh: Chile, Bolivia, Brasil, Argentina, Uruguay dan Venezuela.

Dani Wicaksono/AP/Time/BBC

lihat kelanjutannya......

Monday, November 27, 2006

Bush yang Kesepian dan Paman Sam yang Siap Berpaling

Pasca-Pemilu Sela 2006 Amerika Serikat
Bush yang Kesepian dan Paman Sam yang Siap Berpaling

Dua tahun sisa pemerintahan Presiden George W. Bush tampaknya tidak akan menyenangkan. Kemungkinan besar, Gedung Putih akan semakin gerah menurutnya. Pemilu sela Amerika Serikat yang berakhir pada 9 November lalu telah menjadi bukti tentang adanya semacam referendum rakyat untuk mengucilkan Bush, dan menata ulang politik Amerika ke depan. Partai Demokrat memenangi kontes demokrasi, dan menggusur kekuasaan Republikan di Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah berlangsung selama 12 tahun.
Para pemilih telah bicara, tulis harian terkemuka The Washington Times (9 Nov. 2006), dengan cara yang tajam dan menyakitkan, tentang inkompetensi Partai Republik dan konvoi perang Presiden George W. Bush ke Irak. Dikabarkan, 41 persen rakyat merasa “sangat tidak puas” dengan kinerja Bush dan Kongres yang dijalankan Partai Republik. Dari sini, vox populi jelas dan keras. Mereka mengutuk skandal korupsi, ekonomi, terorisme, dan Irak. Barangkali hanya karena nama Bush tidak tertulis di kertas suara, maka para pemilih menghukum partainya.
Kesepian Bush bermula di sini. Kontraterorisme (yang membuatnya sangat agresif dan malah membuat rakyat semakin merasa tak aman) dan kontra-Irak adalah program andalan Bush. Bisa dibilang, kedua kebijakan luar negeri itulah yang menegaskan eksistensi Bush dalam memimpin AS. Ia pun sangat percaya diri dalam dua hal itu: mayoritas Republikan memenuhi Parlemen, dan ia beroleh dukungan penuh dari partainya.
Persoalan muncul karena Bush bukanlah seorang politisi yang lentur (dalam pengertian lincah dalam pergerakannya) seperti Lyndon Johnson atau Bill Clinton. Ia telah menjadikan kedua program itu sebagai sesuatu yang personal, dan berbangga diri dengan ideologi “garis keras” yang dianutnya. Bush tidak mau mundur sejengkal pun. Ia tidak mau mengakui kegagalannya di Irak secara terang-terangan dan hanya bilang: “Irak butuh pendekatan baru.” Itulah kira-kira alasan rakyat yang terutama, yang membuat Bush harus menelan pil pahit pemilu sela 2006.
Tak heran, rakyat berpaling ke para Demokrat. Rakyat menyalahkan pemerintahan Bush yang melempem. Hasilnya, ramai-ramai para kandidat Republik bertumbangan. Sebagai konsekuensinya, mayoritas kursi Senat dan Parlemen pun dimandatkan ke Demokrat. Di Senat, Demokrat lantas mempunyai 51 suara, sementara Republik merangkum 49 orang. Di Parlemen, rakyat mengutus 232 Demokrat, dan memberikan 203 sisa kursi ke Republikan.
Kentara betul bahwa selain bermaksud menghukum Bush, rakyat ingin Paman Sam berubah. Gayung pun bersambut. Kandidat terkuat dari Partai Demokrat untuk menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Nancy Pelosi, selepas berbicara dengan Bush telah memutuskan rencana “balas dendam” selama dua tahun ke depan. Ia akan membuat Parlemen meloloskan undang-undang tentang peningkatan upah minimum, pemotongan bunga pinjaman siswa, juga mereformasi praktik-praktik lobi. Bahkan setelah pengumuman kemenangan Demokrat, Pelosi yang diundang dalam perjamuan makan dengan Presiden Bush berhasil menekankan “pendekatan baru untuk Irak”.
Agenda jangka pendek Pelosi, yang secara dramatis disebut sebagai “Rencana 100 Jam”, itu menandakan bahwa Paman Sam siap berbenah. Paling tidak di dalam negerinya sendiri, sebab para pengamat mengira bila kebijakan luar negeri AS tak akan banyak berubah. Secara sederhana, peralihan kekuasaan di Kongres tidak berarti perubahan kebijakan luar negeri. Bagi Bush, tetap ada beberapa “hal mendasar” yang harus “berada pada jalurnya”.
Yang pasti, ini adalah tentang “Perang Melawan Terorisme”. Konstitusi AS jelas-jelas memberikan memberikan tanggung jawab besar kepada Gedung Putih (lebih besar daripada Kongres) untuk berurusan dengan pihak atau negara lain yang mengancam Amerika. Kekuatan Bush terletak di sini. Ia adalah satu-satunya orang AS yang bisa seenaknya mengubah haluan politik luar negeri Washington. Sebagai presiden, ia punya semacam hak prerogatif untuk melindungi setiap inchi dari tubuh Paman Sam, dan karena butuh alokasi anggaran yang besar, ia tak akan ragu bila harus bertarung dengan masing-masing orang di Kongres untuk menyampaikan kebenaran dari rumusan kebijakan luar negeri semacam itu. Strategi Ketahanan Nasional yang mengutamakan demokrasi dan mencegah aksi terorisme agaknya akan menjadi kekal di bawah desakan Bush.
Kemudian, tentang Irak. Kongres punya kekuatan konstitusional untuk menghentikan perang, sebagaimana pernah terjadi pada Perang Vietnam 1974. Hanya, Demokrat tidak terlalu bodoh untuk langsung memotong agresi Bush (dan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld yang baru saja mengundurkan diri). Penghentian anggaran Perang Irak dan penarikan pasukan AS hanya akan menampar muka sendiri. Katastrofi AS di Irak adalah problem riil. Namun, pergi begitu saja dari negeri Saddam Hussein itu hanya akan membuahkan kecaman dalam negeri dan dunia karena berkesan “cuci tangan”. Lagi pula, Demokrat pasti lebih memilih “memelihara” Perang Irak sebagai sarana untuk menekan lawannya: bahwa persoalan terletak di Bush dan Partai Republik-nya.
Tiga hal pokok yang dipaparkan di sini adalah kemungkinan AS ke depan pascapemilu sela 2006. Di dalam negeri, “Rencana 100 Jam” dari Demokrat tidak terlalu kontroversial dan cenderung menjadi pakem dari setiap pemerintahan. Malah, rencana pemotongan pajak di sejumlah bidang, juga rencana pengurangan ketergantungan minyak luar negeri dianggap banyak kalangan sebagai sesuatu yang mengada-ada.
Di luar negeri, hasil pemilu sela 2006 mungkin saja bisa memberikan arah pandang baru dalam penyelesaian konflik di Irak. Bukan berarti tentara AS langsung ditarik dari Irak, namun setidaknya akan ada pengurangan personil dari medan perang itu, yang bakalan menenteramkan mayoritas rakyat. Namun, kebijakan AS mengenai “Perang Melawan Teror” tidak akan mengalami perubahan signifikan. Banyak negara dan organisasi dan individual yang sudah terlanjur marah terhadap agresivitas AS. Rakyat AS pun mau tak mau sepaham dengan Bush yang percaya bahwa jaringan teroris masih saja punya rencana menyerang AS. Entah sampai kapan.
Bush telah membawa AS “kesepian” karena Irak dan kontraterorismenya. Bush sendiri benar-benar kesepian ketika rakyat berpaling daripadanya. Semua ini bisa jadi akan membaik jikalau Paman Sam sedikit-banyak mau mengubah kebijakannya, di dalam dan luar negeri.

Dani Wicaksono/The Economist/Time

lihat kelanjutannya......

Nasionalisasi Hidrokarbon: Propiedad de los Bolivianos!

Nasionalisasi Hidrokarbon: Propiedad de los Bolivianos!

Senin pagi, 23 Mei 2005, adalah hari yang dikenal Bolivia sebagai awal kebangkitan kesadaran negeri: cukup sudah modal asing membelit kemandirian politik dan ekonomi Bolivia.
Ketika itu, enam ribu petani, penanam Koka, dan orang-orang biasa lainnya mengakhiri perjalanan empat hari dari Caracollo hingga ke El Alto. Sekitar 200 kilometer jarak yang terbentang mereka tempuh dengan jalan kaki beramai-ramai. Dipelopori oleh partai Gerakan Menuju Sosialisme (MAS), dan dipimpin oleh Evo Morales, massa menuntut peningkatan jumlah royalti yang diberikan perusahaan-perusahaan minyak transnasional kepada pemerintah Bolivia.
Tuntutan itu sendiri akhirnya diserukan setelah Presiden Bolivia pada masa itu, Carlos Mesa Gisbert, mensahkan UU baru yang mengatur pembagian royalti penambangan hidrokarbon—di mana perusahaan asing diuntungkan karena hanya dibebani pajak sebesar 22 persen, sementara Bolivia hanya mendapat royalti sebesar 18 persen. Bagi para demonstran, UU tersebut akan membuat para perusahaan asing demikian mudah menghindari pembayaran.
Di antara semua tuntutan, hanya Morales yang menyerukan nacionalizado energi. “Kita tidak menuntut pembubaran Kongres karena lembaga itu menyimbolkan demokrasi Bolivia. Kami hanya meminta diadakan nasionalisasi gas!” kata Morales ketika itu. “Dan jikalau tuntutan kami tidak dipenuhi, kami akan merebut kekuasaan di Bolivia untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut.”
Setahun kemudian, tepatnya pada 22 Januari 2006, Evo Morales berhasil memenangkan pemilu dan dilantik menjadi Presiden Bolivia. Morales kemudian melangsungkan apa yang disebutnya sebagai Revolusi Damai di Bolivia. Ia menegaskan izin penanaman pohon Koka, tanaman tradisional berumur ratusan tahun yang bisa digunakan untuk memproduksi kokain—di samping kegunaan lain yang bernilai medis. Ia juga mengumumkan rencana nasionalisasi industri hidrokarbon, dan menjalankan revolusi agraria dengan membagi-bagikan 20 juta hektar tanah milik negara kepada para petani.
Lantas pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2006, pemerintah Bolivia mengeluarkan pernyataan tentang nasionalisasi sektor hidrokarbon (gas alam dan minyak bumi). Dengan Dekrit Presiden Nomor 28701, Bolivia mengumumkan “nasionalisasi pertama di abad 21”, setelah gelombang pasang nasionalisasi di dunia pada 1960-an dan 1970-an, dan melepaskan diri dari cengkeraman modal. Dalam kata-kata Wapres Bolivia Alvaro Garcia Linera, yang disampaikan di hadapan puluhan ribu rakyat di Istana Kepresidenan di La Paz, “Bolivia tak akan pernah lagi tunduk di bawah tekanan perusahaan-perusahaan transnasional. Ini adalah tindakan patriotik dan heroik yang bakal mengembalikan jiwa dan martabat kita.”
Perusahaan-perusahaan hidrokarbon seperti Petrobas dari Brasil, Repsol dari Spanyol, Total dari Perancis, atau perusahaan Inggris BP yang sudah berinvestasi hingga US$ 3,5 milyar di Bolivia tentu saja keberatan. Direktur Repsol YPF Spanyol, Antonio Brufau, bahkan mengatakan bila kebijakan nasionalisasi itu bertolak belakang dengan logika bisnis. Mereka merasa dipaksa untuk menandatangani penjualan minimal 51 persen sahamnya kepada pemerintah Bolivia, dan ditodong oleh militer untuk menyelesaikan semua administrasinya dalam jangka waktu enam bulan. Banyak yang terpaksa harus menerima, sebab pilihannya sangat terbatas: tunduk atau hengkang. Seperti ditegaskan oleh Menteri Energi Bolivia Andres Soliz, “Jika perusahaan-perusahaan asing tidak setuju, mereka boleh pergi saja dari sini.”
Sektor hidrokarbon memang termasuk topik sensitif di Bolivia. Meski terbilang sebagai negara termiskin di Amerika Latin, Bolivia memiliki cadangan energi terbesar di Amerika Latin setelah Venezuela. Pengelolaan sumber-sumber hidrokarbon selalu menjadi sumber kecemburuan sosial dan memicu beberapa kali revolusi rakyat yang menentang kebijakan pemerintahan, terutama antara 2003 dan 2005. Ini beralasan, sebab di mata pribumi, perusahaan asing hanya menaruh sedikit modal, tetapi mengeruk terlalu banyak bahan baku dan keuntungan.
Sikap Morales jelas mencerminkan terjadinya arus balik Amerika Latin dari pasar bebas dan investasi asing. “Ini baru permulaan. Besok atau lusa giliran sektor pertambangan, kemudian sektor kehutanan, dan akhirnya seluruh sumber alam yang sejak dahulu telah dipertahankan dan dibela oleh nenek moyang kami,” kata Morales kepada massa di lapangan utama La Paz dalam perayaan Hari Buruh itu.
Isu nasionalisasi itu makin menambah deretan kecemasan Barat terhadap persoalan-persoalan global. Terkait dengan dampak nasionalisasi Bolivia, dunia seperti tahu bahwa Morales telah melakukannya dengan mudah—empat hari berjalan sepanjang 200 kilometer, dan hanya makan waktu satu tahun. Apalagi negara-negara peminum minyak tampak gelisah ketika dihadapkan pada merambatnya harga minyak dunia menuju 75 dolar AS per barel akibat sengketa nuklir Iran.
Nasionalisasi dengan dekrit ini tidak hanya akan menegaskan kepemilikan kekayaan alam Bolivia oleh rakyat sendiri (Propiedad de los Bolivianos). Sekaligus, ini adalah sinyal tentang gelombang nasionalisasi abad 21, yang barangkali akan menyebar dari Bolivia, Venezuela, Meksiko, atau ke seluruh Amerika Latin atau dunia.

Dani Wicaksono/Reuters/BBC/Counter Punch

lihat kelanjutannya......

Revolusi Sebatang Jerami

Revolusi Sebatang Jerami
Orang Jepang ini mengurai batang-batang jerami di atas lahan di mana padi sebelumnya sudah ditebarkan. Dari situ ia meletuskan sebuah revolusi. Bukan Revolusi Hijau, melainkan revolusi jerami.
Pertanian di Jepang, tak ubahnya di Indonesia, sulit berkelit dari jangkauan tangan-tangan modal yang bertopeng lembaga pangan dunia, Food and Agriculture Organization (Indonesia digenggam lewat International Rice Research Institute yang berkedudukan di Filipina). Bagi FAO, sebagaimana diungkap oleh Dirjen Dr. Jacques Diouf, baru-baru ini, “Tantangan bagi ketahanan pangan hanya bisa diatasi lewat kerjasama global yang melibatkan sektor-sektor nasional, internasional, umum, swasta, dan sukarelawan.” Sayangnya, penyelesaian yang dimaksud adalah penandatanganan semacam kontrak bagi hampir setiap negara untuk, salah satunya, menyerahkan segenap plasma nuftah mereka demi rekayasa genetika yang bertujuan pada ‘penyempurnaan’ benih. Kelak, benih-benih unggul dipasarkan, beserta pupuknya, sehingga tanaman-tanaman lokal tak lagi mudah ditemukan. Tanah menjadi keras dan mati. Pertanian kimiawi mantap menggeser pertanian alami.
Fukuoka tegas menolak pertanian kimiawi. Masanobu Fukuoka, seorang Jepang bermahkotakan Ramon Magsaysay Award (1988) untuk Pengabdian Masyarakat ini, lahir di Shikoku, 2 Februari 1913. Fukuoka dikirim oleh sang ayah untuk mengenyam pendidikan tinggi di Kolese Pertanian Gifu, di jantung pulau Honshu. Di sini ia ditempa oleh Profesor Makoto Hiura, dan lulus pada tahun 1933 dengan menyandang gelar di bidang patologi tumbuhan. Atas saran mentornya, si anak kedua dari tujuh bersaudara meniti karirnya di Yokohama sebagai seorang mikrobiolog, dan bekerja sebagai seorang inspektur pabean pertanian. Di tempat ini ia menyesap pengalaman nyata tentang pertanian, untuk kemudian memawas garis hidupnya yang terkenal: manusia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang alam.
Pertanian bagi Fukuoka, dengan demikian, berarti usaha untuk mencoba mengenal serta memahami rahasia alam. Fukuoka memandang, sejak dahulu kala, tanaman tumbuh dengan sendirinya sebagai semacam anugerah dari dewa Okuninushino-mikoto yang berkeliling sembari memanggul karung berisi aneka benih untuk disebar. Alam yang tandus disembuhkan dengan taburan benih, dan dirawat oleh akar-akar yang tumbuh sesuai kodratnya. Tanpa campur tangan manusia, alam telah menunjukkan kebijaksanaannya sendiri. Fukuoka terkesima. Ia melihat sebersit hukum, yang lantas menjadi fondasi bangunan pemikirannya. Tanaman tumbuh sendiri, dan seharusnya tidak ditumbuhkan. Pada saat itulah ia menyangsikan kaidah ilmu pertanian modern yang lebih menitikberatkan pada intensifikasi, yang bertujuan akhir semata-mata pada hasil produksi (Revolusi Sebatang Jerami, Yayasan Obor Indonesia, 1991). Pupuk dan segala pestisida telah merusak tatanan ekosistem dan mengabaikan kesehatan tanah. Revolusi Hijau, dalam jangka panjang, malah memperburuk kualitas lahan.
Fukuoka lantas keluar dari pekerjaannya sebagai peneliti ahli, dan pulang ke kampung halamannya di Pulau Shikoku, di Jepang bagian selatan. Lelaki yang eksentrik namun arif ini bertekad mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengembangkan sistem pertanian organik. Bertani secara alami, bertani tanpa bekerja. “Saya hanya mengosongkan pikiran saya, dan berusaha menyerap apa saja sebanyak mungkin dari alam,” katanya merendah. Ia tahu bahwa lebih dari seribu tahun lampau, para petani Jepang tidak mengenal sistem membajak sawah. Teknik ini baru dikenal seiring dengan merangseknya modernisasi Barat yang melanda Jepang sejak awal Restorasi Meiji, pada permulaan 1980-an. Pertanian kimiawi menjadi marak (meskipun tidak gampang menyulih pola pertanian organik. Tercatat, sebagian Jepang masih memakai pola lama dalam pertanian sepanjang Zaman Meiji dan Taisho, 1868-1926, hingga akhir Perang Dunia II.). Begitu pula dengan berbagai macam hamanya.
Iming-iming percepatan masa panen, bibit unggul, serta hasil yang melimpah telah membuat para petani keblinger. Ritual yang diwariskan nenek moyang untuk bekerja dan memuliakan alam digeser oleh nilai-nilai pasar dan modal. Kapitalisme perlahan-lahan mencabut kearifan petani atas lahannya. Koeksistensi serta saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidupnya, mengutip Vandana Shiva, yang sebenarnya memelihara gemulainya tarian kesuburan dikacaukan oleh kepentingan kapitalisme. Negara (Indonesia, misalnya), dengan kebijakan pertanian yang pro-Barat, bermain di wilayah ini. Petani menjadi tidak berdaulat atas profesinya, plasma nuftah berangsur-angsur punah, dan pestisida serta insektisida menghancurkan tatanan ekosistem. Manusia meremukkan kuasa alam. “Kita tidak sedang meningkatkan kesuburan atau hasil produksi, namun hanya menunda kegagalan panen dengan menebar pupuk dan obat-obatan bikinan pabrik,” kata Fukuoka.
Secara sengaja, kearifan lokal dihancurkan oleh Revolusi Hijau. Petani menjadi ‘tukang tani’ di tanahnya sendiri. Tukang menyemprot pestisida, tukang menabur pupuk buatan pabrik, serta tukang menanam benih transgenik ‘ajaib’ yang dikeluarkan laboratorium. Segalanya harus dibeli, harus didapat dari luar ekosistem petani. Petani tidak lagi bercocok-tanam demi mencukupi kebutuhan subsistensinya, tetapi juga mesti memenuhi kebutuhan komoditi negara. Kapitalisme ditanamkan pelan-pelan, dan petani sekaligus menjadi lahan empuknya (Jess Prince, 2004).
Kondisi itulah yang ditemui Fukuoka manakala ia berkeputusan untuk berhenti dari pekerjaannya, untuk menggarap tanah orangtuanya. Lahan itu rusak, sementara berjenis-jenis hama menyerbu tanpa ampunan. Percaya bahwa manusia harus tunduk pada alam dan membiarkan hukum alam bekerja dengan sendirinya, Fukuoka minta izin pada ayahnya untuk merawat lahan dengan cara membiarkannya begitu saja. Ayahnya hanya tertawa geli. Si anak secara radikal mencoba merombak sistem yang sudah lama terbangun. Alhasil, serangga semakin ganas menyerang, dedaunan layu, dan akhirnya semua tanaman sekarat. “Kamu tidak bisa merombak teknik pertanian dengan segera, “ nasihat sang ayah, “tanaman yang sudah terolah itu tidak gampang beradaptasi.”
Itulah pelajaran pertama Fukuoka. Seraya belajar, Fukuoka lantas bekerja sebagai pengawas divisi pertanian ilmiah di The Khochi Prefecture Testing Station (Stasiun Pengujian Prefecture Kochi) untuk lima tahun ke depan. Sesungguhnya selama lima tahun tersebut, Fukuoka mengkaji secara mendalam hubungan antara pertanian ilmiah dan alami. Ada anggapan bahwa pertanian kimiawi lebih unggul dibanding pertanian alami. Dari sini Fukuoka bertanya-tanya, “Dapatkah pertanian alami berdiri sama tegak dengan pertanian modern?”
Ia kembali keluar dari pekerjaannya. Kali ini dengan tekad membaja dan pengetahuan setinggi Gunung Fuji: sekali lagi, manusia tidak tahu apa-apa. “Alam akan mengajari,” ujarnya yakin. Empat ratus batang jeruk yang sudah tertancap ia musnahkan. Pada musim gugur, Masanobu Fukuoka menabur benih padi, semanggi putih, dan biji-biji musim dingin di atas lahan-lahan yang sama dan menutupnya dengan lapisan tebal jerami padi. Gandum gerst dan gandum hitam serta semanggi tumbuh tegak, sementara biji-biji padi tetap terbengkelai sampai musim dingin. Gandum hitam dan gandum gerst dituai pada bulan Mei dan disebar di lapangan secara merata selama seminggu atau sepuluh hari biar kering. Kemudian dikirik dan ditampi, lalu dimasukkan ke dalam karung untuk disimpan. Jerami gandum lantas disebar tanpa dipotong-potong, sebagai mulsa (Revolusi Sebatang Jerami, 1991). Demikianlah, ia menunggu tumbuhnya padi.
Sekilas menganalisa keunggulan cara itu, semanggi putih berguna sebagai herbisida bagi gulma; mulsa bermanfaat untuk menahan air, kompos organik, dan sekaligus benteng penahan serbuan pipit. Gulma memang harus dipangkas ketika tanaman sedang dalam masa pertumbuhan. Tetapi, begitu tanaman beranjak dewasa, gulma dibiarkan saja tumbuh bersama padi-padian atau sayur-mayur. Toh, alam mengajarkan demikian pula. Cara ini tentu saja tidak sebegitu mudah diaplikasikan di setiap wilayah pertanian. Namun di Jepang yang beriklim basah dan curah hujannya bisa diandalkan, sang guru ini memantapkan keunggulan tekniknya.
Panennya melimpah, tanahnya semakin subur dari tahun ke tahun, ekosistem terjaga, dan ia dikenal sebagai pioner dari metode bertani tanpa mengolah tanah (kalau seluruh petani Indonesia mengikuti cara Fukuoka, Bulog tak perlu melempar gagasan impor beras!). “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen, melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia,” demikian ajaran Fukuoka. Dialah sejatinya ‘peasant’, kalau harus menyebut James Scott. Petani yang memuliakan alamnya. Petani yang menyerahkan hidupnya pada kuasa alam. Terang, angin, bumi, air, api, sebenarnya sudah cukup untuk pertanian. Alam sebetulnya sudah menyediakan segalanya. Revolusi berbekal sebatang jerami yang dilakukan Fukuoka menjadi sebenar-benarnya revolusi manakala unsur-unsur tersebut kembali diagungkan oleh manusia.

Dani Wicaksono

lihat kelanjutannya......

Sunday, November 19, 2006

Aung San Suu Kyi: Kepentingan Negara yang Pertama

Aung San Suu Kyi: Kepentingan Negara yang Pertama

Ellen Nakashima, jurnalis dari Washington Post, melukiskan peristiwa Jumat Kelabu dengan sangat dramatis. Ketika itu, 30 Mei 2003, seorang pemuda berteriak: “Bibi, lari! Lari!”
Pemuda itu menjerit demi keselamatan seorang perempuan separuh baya, yang memimpin demonstrasi damai untuk menegakkan demokrasi di Burma, bangsa yang diperintah junta militer, yang mengganti nama negara dengan Myanmar. Pemuda itu, juga ribuan massa yang resah, pantas khawatir sebab ratusan tentara yang mengendarai sepeda motor merangsek dan mencerai-beraikan kerumunan.
Kurang lebih 100 orang terbunuh, dan banyak lagi yang luka-luka, atau ditahan, atau hilang. Aung San Suu Kyi, pemimpin demonstrasi damai, ketua partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang akrab dipanggil “Bibi” mengabaikan seruan banyak orang. “Ia tak mau lari,” kata Wunna Maung, pengawal Suu Kyi yang berusia 26 tahun. Meski sopirnya kemudian menginjak pedal gas dan berusaha menancapkan mobilnya, keluar dari medan kerusuhan, toh Suu Kyi tertangkap pula.
Selama hampir empat bulan, ia ditahan di tempat rahasia, dan tidak diperbolehkan menghubungi atau dihubungi orang luar. Pada 26 September 2003, ia dikeluarkan dari penjara, hanya untuk menjalani tahanan rumah—yang kesekian kalinya, selama 17 tahun lebih—hingga sekarang.
Barangkali Suu Kyi sengaja tak mau lari. Perempuan anggun pengikut ajaran Gandhi itu punya alasan kuat untuk diam dan ditahan, seperti yang sudah-sudah. Media massa akan sangat berminat menuliskan berita penahanan dirinya, dan dengan itulah ia berharap bila dunia internasional akan ingat bahwa demokrasi masih belum mau mendekati Burma.
Barangkali pula Suu Kyi tahu bahwa ia adalah salah seorang yang mampu membuat perubahan di Burma. Ia adalah putri Aung San, seorang jenderal yang memimpin perjuangan kemerdekaan Burma atas Inggris pada 1940-an, seorang bapak bangsa legendaris yang harum namanya. Pembawaan Suu Kyi yang tangkas, gaya bicaranya yang lugas, serta matanya yang bersinar membuat ia benar-benar menjadi replika dari sang ayah.
Takdir yang serupa semakin menegaskan kemiripan ayah-anak. Semasa berusia 43, ia mendirikan partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang juga membawahi dua kawan seperjuangan sang ayah. Dari situ Suu Kyi memulai perjuangannya untuk menegakkan demokrasi, membebaskan rakyatnya dari penjajahan bangsanya sendiri. “Saya selalu berpikir bahwa saya mungkin akan sendirian dalam perjuangan ini. Tetapi kemudian saya tahu kalau Anda semua mendukung,” katanya kepada massa, pada suatu saat.
Ketika rezim militer melancarkan kudeta dan mendirikan pemerintahan junta yang represif pada 1960-an, Suu Kyi bekerja sebagai seorang staf bidang keuangan di PBB, New York, pada 1969, setelah ia lulus dari Kolese St. Hugh di Oxford. Kala itu Suu Kyi tidak terpikir untuk terjun ke dunia politik. Ia lebih suka mendalami kesusastraan, dan tergerak untuk menuliskan biografi ayahnya. Namun, ketika 31 Maret 1988 ia mendapat telepon dari Rangoon yang mengabarkan bahwa ibunya, Daw Khin Kyi, sedang sakit didera stroke, ia tahu jalan hidupnya akan berubah. Kepada suaminya, Michael Aris, Suu Kyi bilang: “Saya punya firasat kalau hidup kita akan berubah selamanya.”
Benar, hidupnya berubah. Suu Kyi ternyata tidak hanya menjumpai ibunya yang sakit, juga rakyatnya yang resah, rusuh, marah, sekaligus ketakutan. Pemerintahan junta semakin menggila, dan para pelajar tak lagi duduk di bangku sekolah—sebab turun ke jalan sudah menjadi tuntutan keseharian.
Pada pukul 8:08 malam, 8 Agustus 1988—terkenal sebagai “Empat Delapan” atau 8/8/88—demonstrasi nasional aktivis pro-demokrasi dilangsungkan. Ratusan ribu pelajar, buruh, dan pemuka agama Buddha tumpah ruah di jalanan untuk menuntut perubahan. Suu Kyi memimpin semuanya. Pada 26 Agustus tahun itu, di Pagoda Shwedagon yang berlapis emas, Suu Kyi berdiri di panggung dan menyampaikan pidato pertamanya di muka umum.
“Yang terhormat para biksu dan rakyat! Demonstrasi ini ditujukan untuk memberi tahu dunia apa yang kita inginkan. Kita, seluruh rakyat Burma, menginginkan adanya sebuah sistem pemerintahan multipartai,” teriaknya dengan lantang. Tak lupa, ia juga menyerukan sebuah “perjuangan kemerdekaan nasional kedua”.
Ratusan ribu massa bersorak gegap-gempita. Dan Presiden Sein Lwin semakin gerah. Selalu, dan selalu, dan diikuti oleh pemerintahan selanjutnya, Presiden memerintahkan tentara untuk menembak. Suu Kyi selalu siap mati. Dalam rapat internal partai, ia bahkan bilang kepada kawannya, Nyo Ohn Myint: “Kalau saya terbunuh, kalian harus memanfaatkannya sebagai peluang untuk memenangkan demokrasi dan kebebasan di negara ini.”
Agaknya suatu pilihan telah ditetapkan: “Pertama-tama, urusan negara dulu…,” katanya kepada NBC pada 2000. Dan ini bukan pilihan mudah. Suu Kyi bahkan tidak bisa menjenguk suaminya yang terkena kanker prostat, hingga Michael meninggal pada 27 Maret 1999.
Ia diganjar Nobel Perdamaian 1991 karena perjuangannya. Perjuangan melawan totalitarianisme yang menakutkan, juga perjuangan melawan ketakutan itu sendiri. Dan entah sampai kapan, rakyat percaya bahwa ia masih akan terus berjuang.

Dani Wicaksono/Washington Post/Burma Digest/Nobleprize.org

lihat kelanjutannya......

Antara Pemberontakan dan Kepahlawanan: Gregorio “Gringo” Honasan

Antara Pemberontakan dan Kepahlawanan: Gregorio “Gringo” Honasan

Tertangkapnya “Gringo” oleh aparat keamanan Filipina pada 15 November kemarin cukup melegakan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. Minimal, Arroyo yang menjabat sejak 2001 ini tak lagi makan hati oleh kemungkinan kudeta militer yang dilancarkan oleh lelaki ganteng berperawakan tegap ini.
Arroyo tentu saja merasa direpotkan oleh Gregorio Ballesteros “Gringo” Honasan (lahir 14 Maret 1948). Pada 2003 dan Februari 2006, Honasan adalah otak dari upaya kudeta terhadap rezim yang dipimpinnya. Arroyo bahkan terpaksa mendekritkan keadaan darurat bagi Manila selama satu minggu gara-gara isu tersebut.
Dunia pun bertanya-tanya tentang figur kontroversial ini. Bagi rakyat Filipina, ia adalah salah satu aktor dari Revolusi EDSA 1986: Rambo-nya Asia. Selain itu, mantan kolonel ini adalah simbol dari kepahlawanan dan legenda revolusioner yang memikat para pemuda—keasyhurannya di dalam negeri mungkin hanya sedikit lebih rendah dari Che Guevara. “Ia seperti Clint Eastwood dalam film The Good, the Bad, and the Ugly. Ia hanya duduk dan dor!” papar seorang warga Filipina.
Bagi para presiden Filipina, Honasan adalah kebalikannya. Ia adalah duri dalam daging: mantan senator, namun juga pemberontak. Ia seolah dilahirkan untuk menjadi penentang abadi kekuasaan status quo Filipina. Untuk membuat setiap presiden merasa gerah di Istana Malacanang yang megah. Pada saat people power 1986, Kolonel Honasan memimpin pasukannya untuk mengkudeta Presiden Ferdinand Marcos. Ratusan ribu rakyat menjadi perisai hidup bagi Honasan. Dan berhasil. Marcos lari ke Guam, dan lantas ke Hawaii.
Corazon Aquino, janda dari Benigno Aquino (pemimpin oposisi yang dibunuh semasa Revolusi EDSA), akhirnya marak sebagai presiden. Honasan yang dianugerahi bintang kehormatan Revolusi EDSA oleh pemerintahan baru, pada Agustus 1987, malah memimpin kudeta melawan Aquino. Pemberontakannya dipadamkan, dengan puluhan korban jiwa. Ia sendiri tertangkap, dan kemudian meloloskan diri. November 1989, Honasan kembali mengangkat senjata. Bersama pasukannya, ia menguasai pangkalan udara, dan beberapa fasilitas penting dan strategis. Pemerintah Aquino terpaksa meminta bantuan Amerika Serikat untuk meredam kup kali ini. 100 orang tewas sebagai tumbalnya.
Honasan ditangkap dan diberi amnesti oleh Presiden Fidel Ramos. Kemudian (orang yang sinis selalu bilang bahwa ia memanfaatkan ketenarannya) ia memasuki panggung politik sejak 1995, dan menjadi senator. Ia terpilih kembali pada 2001, dan meninggalkan gedung senat setelah masa jabatannya selesai pada 2004. Mungkin sekali, semasa di senat, ia tahu bila sistem sosial dan sistem pemerintahan di Filipina setelah Perang Dunia II diwarnai dengan gejolak. Situasi politik nyaris tidak menentu di setiap periode pemerintahan (kestabilan hanya tercapai pada periode pertama pemerintahan Marcos), dan Honasan menjadi penanda bahwa ledakan kemarahan rakyat hampir menjadi sebuah keharusan untuk dilalui oleh setiap presiden.
Kesenjangan sosial menjadi pemicunya yang terutama. Di Filipina, sepertiga pendapatan nasional dimiliki oleh hanya 5 persen populasi terkaya. Reformasi agraria yang digadang-gadang mampu menutup kesenjangan ini berjalan terlalu lamban, sementara harga di pasaran untuk produk-produk pertanian terus terjun bebas. Kesempatan-kesempatan sosial dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak pada akhirnya tertutup (atai terbatas sekali) bagi sekitar 40 persen penduduk miskin yang tidak mampu mengais US$ 1 per hari.
Pertumbuhan populasi yang tinggi (2,3 persen per tahun) semakin menambah berat beban perekonomian bangsa, mengingat PDB cenderung stagnan. Di luar itu, perwakilan-perwakilan rakyat di pemerintahan pada umumnya terdiri dari orang-orang yang tergolong kelas atas. Perebutan kursi pemerintahan pun tak lepas dari isu kaya-miskin, politik uang, jual-beli suara, manipulasi pemilu, korupsi, juga favoritisme.
Selalu pada saat-saat seperti inilah militer menunjukkan peranannya. Perang tahunan antara militer Filipina dan gerakan-gerakan Islam di selatan mungkin bisa diungkapkan sebagai satu contoh semata-mata. Namun, kalau hendak diamati lebih jauh, konflik disintegrasi itu adalah puncak dari keresahan masyarakat akibat kurangnya perhatian negara terhadap sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, serta penekanan program industrialisasi yang menyisihkan pertanian. Bahkan pemerintah dianggap terlalu mengeksploitasi potensi-potensi ekonomi dari wilayah selatan. Akibatnya, tanggungan hutang nasional membengkak (kira-kira 92 persen dibanding PDB) dan inflasi semakin menanjak.
Keberadaan Honasan (atau militer secara umum) ada di tengah-tengah problem nasional semacam itu. Sosoknya berdiri di antara kekalutan masyarakat dan kepentingan negara (yakni minoritas yang berkuasa). Dengan mengesampingkan segala bentuk motif pribadi, ia keluar dari barak, mengacungkan senjata ke arah penguasa-penguasa lalim, dan menanggung risiko dari perbuatan makarnya.
Ia menuntut suatu perubahan yang cepat, serta mengusung agenda idealis untuk kepentingan rakyat. Ia adalah pahlawan dari sudut pandang ini. Namun ia adalah pemberontak dari sisi sebaliknya.

Dani Wicaksono/Time/PCIJ (Philippine Center for Investigative Journalism)

lihat kelanjutannya......

Persoalan Filipina tak Hanya Kudeta

Persoalan Filipina tak Hanya Kudeta

Dua setengah tahun setelah dijadikan pemimpin (menggantikan Joseph Estrada yang diguligkan oleh revolusi rakyat pada 1991), Presiden Gloria Macapagal-Arroyo tidak bisa tidur pulas di Istana Malacanang. “Saya merasa dikhianati,” keluhnya pada sebuah stasiun TV di Manila. “Saya ditusuk dari belakang oleh sekelompok perwira-perwira muda yang memberontak.”
Arroyo benar. Sekitar 296 anggota militer mangkir dari kesatuannya dan meminta Arroyo meletakkan jabatan. Mereka menguasai Hotel Oakwood, dan memasang barikade pertahanan diri untuk mengantisipasi serangan pemerintah. Meskipun kemudian menyerah, pada 28 Juli 2003, pesan mereka sudah didengar jelas sekali oleh Arroyo. “Pemerintah harus bertindak: reformasi sejati,” tegas Letnan Kolonel Rod Meija dari unit intelijen Marinir. “Jikalau tidak, kudeta demi kudeta akan terjadi di Filipina.”
Arroyo memang bisa mengantisipasi peristiwa itu. Ia menenangkan para pemberontak dengan menjanjikan mereka reformasi sejati dan tidak akan memenjarakan para pelaku. Namun benar juga ramalan Meija. Pada 22-25 Februari 2006, ketika ribuan rakyat Filipina merayakan 20 tahun Revolusi EDSA dengan berpawai di jalanan, mendadak Arroyo (58) mencium aroma yang sama ketika Marcos, Aquino dan Estrada terusir dari kursinya (baik oleh kudeta militer atau oleh demonstrasi sipil). Ia yang mengagumi Margaret Thatcher, mantan perdana menteri Inggris, itu kemudian tidak mau ambil risiko. Keadaan darurat ia berlakukan selama seminggu, dengan alasan bahwa sejumlah perwira militer yang bersekutu dengan beberapa pemimpin berhaluan kiri tengah merencanakan kup.
Walaupun pengumuman ini ditentang oleh sebagian anggota Senat dan dianggap inkonstitusional oleh pelbagai kelompok ahli hukum, Arroyo bergeming. Ia malah menangkapi ketua-ketua kelompok progresif, juga anggota-anggota partai yang disangkai terlibat. Pejabat-pejabat militer yang terkait pun mengalami perlakuan serupa. Demonstrasi oleh ribuan rakyat, yang menuntut Arroyo mundur, ditumpas dan dianggap ilegal. Sebuah harian nasional diserbu dan diambil alih oleh pemerintah karena dianggap “menerbitkan materi-materi yang memicu keresahan”. Peringatan publik diterapkan: bahwa “polisi akan menahan kelompok-kelompok yang tidak mematuhi standar-standar yang dikeluarkan pemerintah.”
Gregorio “Gringo” Honasan, seorang mantan kolonel dan senator, dituduh sebagai advonturir yang merencanakan semua kejadian itu—mulai 2003, dan terakhir pada 2006. Honasan tertangkap pada 15 November kemarin, dan (kalau tuduhan atas Honasan benar) Arroyo berhasil meredam segala spekulasi tentang kemungkinan tambahan kudeta dalam sejarah Filipina.
Hanya, rakyat lantas semakin sadar bila problem sesungguhnya bukan terletak pada pribadi Arroyo semata-mata, atau siapa pun presidennya. Problemnya terletak pada Filipina secara holistik, dengan Arroyo sebagai sosok kecil yang memerintahkan kesemuanya. Memang anak dari eks-presiden Diosdado Macapagal ini diisukan berbuat curang dalam pemilu 10 Mei 2004. Suami, anak sulung, serta iparnya juga memperburuk citra Malacanang setelah mereka dituduh menerima uang suap dari perjudian ilegal. Namun, rakyat Filipina sepertinya gemas akan persoalan lebih besar yang tak kunjung terselesaikan.
Lebih dari 40 persen Filipinos hidup di bawah garis kemiskinan setelah pemerintahan Arroyo memberlakukan kebijakan-kebijakan yang menyulitkan perekonomian mereka, semisal pajak pertambahan nilai baru. Kebijakan-kebijakan Arroyo tentang pangan dan pertanian yang tunduk di bawah tekanan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi sebab hilangnya matapencaharian dari ribuan produsen pangan di Filipina. Manila juga terus-terusan membuka lahan untuk perusahan-perusahaan kopi transnasional, sehingga merusak ekologi dan menyebabkan bencana seperti tanah longsor di Leyte dan banjir bandang di Mindoro pada Desember 2004.
Ancaman pemakzulan (impeachment), yang untungnya dilalui Arroyo dengan baik, mungkin hanya sebuah penanda bahwa rakyat teramat lelah mendengarkan janji-janji pemerintah. Mereka ingin kehidupan yang lebih baik, yang bisa diperoleh dengan pelaksanaan agenda perubahan secara bersama-sama.
Kalau penguasa Istana Malacanang tidak tanggap, kudeta militer dan people power, yang lama-lama menjadi “kebiasaan sejarah” di Filipina, adalah pernyataan sikap yang paling bisa diserukan oleh anak negeri.

Dani Wicaksono/Time/BBC

lihat kelanjutannya......

Agaknya AS akan Melawan Separuh Amerika Latin

Kemenangan Daniel Ortega di Nikaragua
Agaknya AS akan Melawan Separuh Amerika Latin

Pada 3 November 2006, ketika Daniel Ortega naik ke panggung dalam sebuah seremonial politik menjelang pemilu, seorang nenek yang mengaku pernah membuatkan tortilla (kue jagung) untuk pasukan Sandinista menjerit girang seperti anak kecil. “Danielku,” serunya tak bisa menahan luapan perasaan. Tangannya menegang di dada, dan ia nyaris melonjak-lonjak.
‘Daniel-nya’ tersenyum sekilas, mengingatkan orang Nikaragua pada momentum kemenangan gerilyawan Sandinista National Liberation Front (lantas menjadi partai politik, FSLN) pasca-terjungkalnya diktator Somoza, 19 Juli 1979. Dua hari setelah peristiwa di panggung itu, nenek yang dicatat oleh The Christian Science Monitor itu mungkin akan kembali berbahagia: Ortega terpilih sebagai Presiden Nikaragua.
Ia meraih 38 persen suara, dan langsung memenangi pemilu—sebab aturan pemilu Nikaragua menyatakan bahwa seorang kandidat dinyatakan menang, tanpa melanjutkan ke putaran kedua, bila meraih setidaknya 35 persen suara. Memang bukan kemenangan telak buat Ortega. Namun, yang jelas ia telah mengalahkan pesaingnya: Eduardo Montealegre dari Aliansi Liberal Nikaragua (29 persen), José Rizo dari Partai Liberal Konstitusional (26 persen), Edmundo Jarquin dari Gerakan Renovasi Sandinista (6 persen), dan Eden Pastora, seorang mantan pemimpin Contra (1 persen).
Enam belas tahun sejak dikalahkan dalam pemungutan suara 1990 oleh Violeta Chamorro, dan kemudian kalah lagi dalam tiga kali pemilu kepresidenan, Daniel Ortega akhirnya kembali ke kursi presiden yang sempat didudukinya sejak 1984.
Bagi Nikaragua dan Amerika Latin, kemenangan Ortega demikian langka dan historikal. Jarang ada kemenangan seperti ini dalam pemilu dunia, dan orang Nikaragua seolah diajak bernostalgia ke alam Revolusi Nikaragua (1922-1934, dipimpin oleh Augusto C. Sandino) dan Revolusi Sandinista (1979-1990, dipimpin oleh Daniel Ortega).
Bagi Amerika Serikat, kembalinya “Comandante” Ortega di negeri tropis itu adalah sinyal akan hadirnya satu lagi kekuatan penentangnya yang paling gigih sekaligus paling merepotkan. Sebab dengan kemenangan ini, mantan pemimpin gerakan revolusioner berhaluan Marxis itu sekaligus akan memiliki semacam paspor untuk bergabung dengan “Poros Kebaikan” (Axis of Good) yang sebelumnya telah dibentuk oleh Hugo Chavez (Venezuela), Fidel Castro (Kuba), dan Evo Morales (Bolivia).
Otto Reich, seorang pejabat senior di era Ronald Reagan yang mendukung pemberontakan Contra melawan Ortega, menyebut kemenangan ini sebagai “kenyataan sejarah yang melipatgandakan masalah” AS di benua konflik ini. “Jika ada orang yang memerintah Nikaragua, dan lantas bilang, ‘Saya adalah kawan Fidel Castro dan Hugo Chavez, dan saya menentang politik AS,’ maka orang itu pantas dianggap sebagai pembawa masalah dan perpecahan,” katanya.
Sebelumnya, selama masa kampanye, pemerintahan Bush telah mengeluarkan ancaman bahwa Washington mungkin akan mengambil langkah-langkah “menghukum” apabila Ortega menang—mungkin langkah itu akan berarti embargo dagang. Seturut juru bicara Departemen Luar Negeri, Sean McCormack, “Kami, Amerika Serikat, akan menegosiasikan kembali komitmen-komitmen di wilayah-wilayah yang dikuasai partai Sandinista apabila Ortega menang.” Bahkan Menteri Perdagangan Carlos Gutierrez baru-baru ini memperingatkan bahwa Washington mungkin saja akan menghentikan bantuan tahunannya yang nyaris mencapai U$ 100 juta ke Nikaragua apabila Ortega menang.
Amerika Serikat memang pantas khawatir. Setelah membantu Nikaragua dengan menggulingkan kediktatoran keluarga Somoza, Ortega dengan Sandinista-nya yang didukung Moskow selalu memotong segala kepentingan AS selama Perang Dingin. Nikaragua waktu itu dianggap sebagai “Kuba kedua”, dan itu berarti perang. Reagan lantas melatih dan mendanai gerakan pemberontak Contra pada 1980-an demi menancapkan dominasi Paman Sam. Namun ia gagal total dalam menjegal Ortega, dan hanya membuahkan perang saudara dengan korban 50.000 jiwa lebih. Sejarah pahit inilah yang menumbuhkan kebencian Washington terhadap Ortega, sekaligus memupuk perasaan nasionalisme kebanyakan penduduk Nikaragua.
Dendam lama AS seolah terungkit kembali ke permukaan. Apalagi kemenangan Sandinista diduga berkaitan dengan rencana perdagangan minyak dengan Venezuela—negara pimpinan Hugo Chavez yang belum lama ini menyebut George W. Bush sebagai “setan”. Sebulan lalu, Venezuela mengirimkan kapal-kapal pengangkut minyak ke Nikaragua. Harga murah yang ditawarkan Chavez dianggap sebagai “pembangkit suara” untuk Sandinista dalam pemilu kali ini, sebab Chavez juga menjanjikan suplai minyak murah untuk Nikaragua apabila orang seperti Ortega naik ke tampuk kekuasaan.
Chavez mungkin saja menghendaki kemenangan Daniel Ortega. Hanya, rakyat Nikaragua seperti tak punya pilihan lain. Sejak Uni Sovyet kolaps sekitar 1990-an, pengaruh Amerika Serikat di Nikaragua tidak terlalu membesarkan hati. Washington memang kemudian leluasa mengatur suksesi kepemimpinan di kawasan ini, dan memasang orang-orang seperti Arnoldo Aleman untuk menjadi kepanjangan tangannya. Namun rakyat kemudian tahu bahwa reformasi kapitalis yang didukung AS ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk. Pendapatan per kapita di Nikaragua hanya lebih sedikit dari U$ 900 setiap tahunnya, sementara 70 persen rakyat hidup dalam kemiskinan.
Fakta inilah yang bisa jadi berpengaruh besar dalam kemenangan Daniel Ortega. Rakyat ingin Sandinista “berperang” lagi. Fokusnya tentu saja adalah memerangi kemiskinan. Akan tetapi bila Washington merasa terancam dan berulah seperti yang sudah-sudah, Ortega mungkin tak akan segan memeranginya untuk kedua kali. Dan dengan kesediaan “Poros Kebaikan” untuk membantu Nikaragua, Washington sama saja akan adu kuat melawan separuh Amerika Latin.

Dani Wicaksono/The Christian Science Monitor/Time/The Washington Post

lihat kelanjutannya......

Saturday, November 18, 2006

Komunitas yang Merayakan Kemurnian

Komunitas yang Merayakan Kemurnian

Sejak dituduh bida’ah oleh Gereja Protestan Swiss pimpinan Ulrich Zwingli pada masa setelah Refosmasi abad 16, kelompok Anababtis dan variannya terpaksa lari dan sembunyi ke mana-mana. Jacob Amman Jr., pemimpin komunitas Amish pada 1730-an, membawa umatnya ke Pennsyvania demi bertahan hidup.
Di tempat baru itu, mereka menunaikan dan merawat tradisi lama, hingga sekarang. Mereka juga mempertahankan konsep purifikasi yang diusung gerakan Protestantisme (Martin Luther, John Calvin, dan Ulrich Zwingli), yang pada prinsipnya adalah memurnikan ajaran Yesus. Kelompok Amish sendiri menganut ajaran yang meniru Yesus secara harfiah—dalam perbuatan dan perkataan.
Dari mulai bahasa, komunitas Amish menjaga betul pemakaian bahasa Pennsylvania Dutch—sejenis dialek yang berakar dari bahasa Jerman. Bahkan, untuk mendirikan misa atau pertemuan doa, para pendeta mereka masih mempergunakan bahasa Jerman tinggi, seperti Kromo Inggil untuk terminologi Jawa.
Pakaian mereka pun terbuat dari bahan sederhana dan tebal, dengan warna-warna dasar atau alamiah seperti biru. Banyak perempuan yang mengenakan celemek dan penutup kepala warna hitam. Para lelakinya biasanya mengenakan celana dan baju warna hitam, dan selalu pakai topi. Meskipun pada perkembangannya selanjutnya ada toleransi dalam batas tertentu untuk soal penggunaan peralatan modern, kelompok-kelompok Amish tertentu (seperti Amish Ordo Lama) tetap melarang pemasangan teknologi dan elektronika di dalam kediamannya yang sederhana. Bahkan, listrik pun jarang dijumpai di kebanyakan varian kelompok Amish.
Sebagian besar pasangan Amish tidak memanfaatkan segenap cara pengendalian kelahiran seperti alat kontrasepsi, dan tidak mengirim anak-anaknya masuk bangku sekolah hingga umur 14. Di kebanyakan komunitas, kelompok-kelompok Amish malah membangun sekolahnya sendiri, dengan sistem pendidikannya sendiri—meskipun itu berarti sekolah dengan satu ruang kelas, dengan pengajar dari golongan mereka. Dan untuk menjaga keberlangsungan usia komunitas (yang terpelihara sejak kira-kira empat abad silam), komunitas Amish sangat membatasi hubungan kekerabatan terhadap pihak luar dan mengusahakan pernikahan sekaum. Pernikahan seorang anggota komunitas Amish dengan orang lain sangat dilarang, dan komunitas siap melepaskan keanggotaan pelaku apabila peraturan itu benar-benar dilanggar, dan dampaknya merugikan komunitas.
Tak pelak, eksklusivitas dan kebijakan “tirai bambu” komunitas Amish membuat masyarakat umum seringkali menganggap mereka aneh atau inferior terhadap gaya dan kebudayaan mayoritas. Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Martin van Bruinessen, seorang Indonesianis asal Belanda, gejala seperti ini hanya terjadi ketika gesekan relasi kekuasaan membuat mereka terpaksa tinggal dalam lingkungan khusus, menyendiri, dan tertutup.
Bisa jadi kelompok Amish adalah mereka yang merasa terisolir dari induknya (dalam hal ini Gereja Protestan Swiss) dan dilanda keraguan akan sebuah ajaran iman yang “seharusnya” dijalankan. Mereka tidak dipercaya dan, sebaliknya, tidak percaya juga dengan segala di luar kelompoknya. Faktanya, mereka bahkan pernah terusir dari komunitas besarnya, dan harus mengasingkan diri untuk mempertahankan kehidupan dan ajaran. Mereka lantas membentuk komunitas tersendiri, yang cukup intim, menyelenggarakan kontrol sosial yang cukup ketat, sekaligus menciptakan sistem perlindungan yang senantiasa dipatuhi.
Pada masyarakat modern yang berciri inklusif, kelompok-kelompok intervensionis, yang dipaparkan oleh sosiolog dari Inggris Bryan Wilson, cenderung berkonsentrasi kepada perbaikan moral kolektif di internal kaumnya. Ini semacam purifikasi kolektif. Tak peduli apa pun alasan dan konteksnya, mereka mencari kesucian dan kemurnian diri dan ajaran. Meskipun itu meniscayakan pengabaian segala situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat. Meskipun itu berarti harus dihinakan dan disia-siakan.
Kelompok Amish mengambil tempat di sini. Mereka melarang pemakaian listrik karena ada kekhawatiran bila kabel-kabel tembaga itu menjadi sarana penodaan atas ajaran tradisional mereka. Mereka tidak mau jika ajaran yang menurut mereka adalah murni harus terkontaminasi oleh hal-hal asing dan merusak dari dunia luar. Pola pikir ini sederhana saja, sebenarnya. Tidak semua unsur dunia luar itu buruk, tetapi tidak semuanya juga baik.
Dan kalau semuanya tidak tentu baik, lebih bagus melestarikan semua yang sudah pasti baik. Dan karena mereka cinta damai, barangkali kelompok Amish cuma perlu berkilah: ampunilah kami yang tidak melakukan apa yang Anda lakukan, sebagaimana kami mengampuni kalian yang tidak melakukan apa yang kami lakukan.

Dani Wicaksono/The Encyclopedia of American Religions/Time/BBC

lihat kelanjutannya......

Suku yang Menyanyikan Waltzing Matilda

Suku yang Menyanyikan Waltzing Matilda

Pada 25 Maret 2000, pemerintahan federal Australia menolak kebenaran laporan PBB mengenai adanya diskriminasi rasial terhadap suku Aborigin. Pemerintah berkilah, laporan itu tidak akurat dan kurang berimbang.
PBB sendiri tetap ngotot bahwa pelaksanaan hukum di Australia Barat dan Daerah Utara terlalu berpihak pada warga kulit putih, dan berlaku tidak adil terhadap orang-orang Aborigin. Ini jelas-jelas menciderai konvensi PBB yang berlaku secara internasional tentang penghapusan rasisme.
Juru bicara kelompok Aborigin, Daryl Melham, menyatakan bahwa laporan PBB tersebut cukup faktual dan seimbang. Ia sekaligus menegaskan bahwa persoalan diskriminasi negara terhadap warga Aborigin tidak hanya berskala internasional, tetapi juga memiliki akar historis yang panjang. Walaupun ditutup-tutupi oleh pemerintah, entah karena malu atau karena tak hendak menghentikan perlakuan itu, diskriminasi rasial itu tetap menjadi bahaya laten di Australia. Dan Aborigin tetap menjadi kelompok yang paling dirugikan.
Sejak kedatangan kapal pertama kolonialis Inggris yang dipimpin James Cook pada 1770, suku Aborigin seperti disisihkan dan dianggap hina seperti parasit. Padahal Aborigin (dan Torres Strait Islander) adalah suku pribumi yang diyakini sudah mendiami kawasan itu sejak 40.000 hingga 60.000 tahun lalu. Mereka juga memiliki sistem pemerintahan dan hukum tersendiri. Namun, Kapten Cook kemudian menyatakan hak kerajaan Inggris atas benua Australia.
Para imigran pun berdatangan. Kapal pertama dari Inggris tiba pada tanggal 26 Januari 1788, mengangkut para “pom” (prisoners of her majesty: tawanan sang ratu) untuk dibuang. Kemudian para pendatang bebas terus mengalir masuk, dan sampai 1861, jumlah penduduk Australia sudah mencapai 1.200.000. Pada pertengahan kedua abad 20, lebih dari 5.000.000 orang masuk ke Australia. Sekarang tak kurang dari 41% (19 juta orang) penduduk Australia dilahirkan baik di luar negeri atau anak dari pendatang yang dilahirkan di luar negeri.
Orang Aborigin dan Torres Strait Islander menderita kerugian dan ketidakadilan setelah berasimilasi dengan pendatang. Tanah pribumi diakuisisi dan dieksploitasi. Sistem sosial dan kekeluargaan dihancurkan. Selain itu, banyak dari antara mereka yang menjadi korban penyakit bawaan orang-orang kulit putih. Undang-undang Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Nationality and Citizenship Act) 1948 memang mengakui hak kewarganegaraan dari semua penduduk Australia. Namun, kenyataannya tidak semua suku pribumi Australia memiliki semua hak politik, sosial dan ekonomi yang setara dengan orang Australia kulit putih.
Untuk mengatasi ketidakadilan ini, Parlemen Australia lantas membuat komitmen tentang persamaan hak bagi semua orang Australia pada 1966. Ini termasuk komitmen dalam proses rekonsiliasi dengan suku Aborigin dan Torres Strait Islander—khususnya dalam mengatasi kerugian sosial dan ekonomi mereka. Komitmen ini, anehnya, harus diulang lagi pada November 2000. Memang, proses menuju rekonsiliasi bukanlah persoalan mudah, tapi pengulangan komitmen yang sama itu mengindikasikan keberatan atau rintangan yang dihadapi Australia untuk mengatasi problem prasangka rasial.
Malahan, kenyataan menunjukkan bahwa penduduk pribumi (rata-rata) meninggal 20 tahun lebih cepat dibanding orang kulit putih. Jumlah pribumi yang tersisa, sekitar 469,135 orang, memiliki akses terbatas untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk menuntut hak-haknya. Karena miskin, mereka tenggelam ke dalam belukar perdagangan obat bius, minuman keras, dan menjadi obyek penderita dari hukum Australia. Mereka lantas menjadi kelompok yang menyanyikan beberapa baris Watzing Matilda, lagu terkenal di Australia yang digubah oleh Banjo Paterson pada 1895.
//…/ Aku adalah korban tak bersalah dari jalan setapak yang buta/ dan aku lelah dengan semua tentara di sini/…/ segalanya berantakan/…/ Sekarang aku tidak membutuhkan simpatimu, kata sang buronan/ bahwa jalan-jalan itu bukanlah lagi tempat untuk bermimpi/…/ Menarilah Waltzing Matilda, Waltzing Matilda/ kamu akan menari Waltzing Matilda bersamaku//

Dani Wicaksono/BBC/Wikipedia/AP

lihat kelanjutannya......

Berebut Pengaruh di Asia

Berebut Pengaruh di Asia

Ada tiga negara yang tampak berebut pengaruh di Asia: China, Jepang, dan Korea Utara. China mengawali semuanya dengan membangun birokrasi, menegakkan administrasi perdagangan, mengatasi inflasi, dan menaikkan angka pertumbuhan ekonomi. Jepang mengikuti dengan menaikkan prestasi ekonomi dan menegaskan politik luar negeri yang kuat. Terakhir, Korea Utara melakukan ujicoba nuklir yang membuat dunia tersentak.
Jepang dan China—yang berseteru soal kuil Yashukuni—langsung sadar bahwa pemain lama ini memang pantas diwaspadai. Serentak mereka lantas mengecam tindakan Korut yang provokatif. Mereka juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap negara Kim Jong Il. Paling tidak, mereka menunjukkan kekhawatiran bila ke depannya Korut kemudian bersikap jumawa atau semakin mendominasi konstelasi politik di Asia.
Jepang merapat ke AS, seperti biasa, untuk lebih menunjukkan taringnya, sementara China yang tadinya merupakan sekutu tradisional Korut berusaha tenang dengan hanya mengatakan bahwa “Korut tak tahu malu.” Isu holocaust pun didengung-dengungkan kembali. Kali ini dengan ancaman perang nuklir.
Secara historis, Korut mulai tertarik mengembangkan nuklir saat berlaku perang Korea sepanjang 1950 hingga 1953. Dalam perang itu, Korut yang dibantu Uni Soviet dan China, melawan Korea Selatan (Korsel) yang didukung AS dan sekutunya.
Perang yang berakhir tanpa perjanjian damai menyebabkan kedua pihak saling berusaha mengimbangi kekuatan militer. Konsep perimbangan militer inilah yang memelihara stabilitas Semenanjung Korea hingga saat ini.
Sekarang Korut memiliki nuklir. Ia kini menjadi salah satu dari 9 negara pemilik nuklir. Kebanyakan berharap bahwa Korut hanya memakai nuklirnya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Tetapi, melihat situasi politik pasca-ujicoba, agaknya Korut akan mengembangkan senjata nuklir pula.
Dengan senjata nuklir, negara ini akan mampu bertahan dari serangan musuh dan punya kekuatan yang mengancam AS. Dengan senjata nuklir pula, Korut sekaligus mentasbihkan diri sebagai salah satu kekuatan hebat di Asia.
Jepang yang sejak era Koizumi mengungkit kemungkinan agar diperbolehkan membangun kekuatan militer aktif, agaknya harus lebih mengutamakan kekuatan politik dan ekonomi jika hendak bertarung di benua ini. Kalau tidak, maka dominasi Asia pastilah terletak di China dan Korut.

Dani Wicaksono










Junichiro Koizumi:
Reformasi untuk Jepang

Masa kejayaan Koizumi berakhir ketika kepemimpinan partai LDP (Liberal Democratic Party) berpindah tangan. Sejak 20 September kemarin, Perdana Menteri Junichiro Koizumi tidak lagi mengepalai partai nomor satu di Jepang itu karena sudah habis masa jabatannya. Kursi beralih ke Shinzo Abe, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang pada Pemerintahan Koizumi.
Namun, orang tidak akan melupakan Koizumi. Ia telah memimpin Jepang selama lebih dari lima tahun dan membawa Jepang ke arah perubahan signifkan. Koizumi melakukan pembaharuan struktural, mengubah wajah politik, dan mereformasi perekonomian politik. Dalam masa kepemimpinan Koizumi, Jepang menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi yang cukup diperhitungkan.
Koizumi melihat reformasi itu sebagai kebutuhan yang mendesak bagi ekonomi Jepang. Bagi Koizumi dan pendukungnya, liberalisasi ekonomi sebagai satu-satunya cara untuk membangkitkan kembali ekonomi Jepang yang stagnan.
Semula Jepang diremehkan sebagai kendaraan AS di Asia, baik secara ekonomi maupun politik. Namun, berkat Koizumi, Jepang menjadi pemain utama dalam politik global-yang mungkin saja kelak akan memiliki kekuatan militer yang berfungsi sepenuhnya; yang mungkin saja kelak akan mendapat satu jatah kursi di Dewan Keamanan PBB. Dialah yang telah mengukuhkan diri sebagai salah satu pemimpin dunia yang paling disegani pada abad 21.
Awalnya, Koizumi cukup disenangi oleh publik karena gayanya yang fashionable dan eksentrik. Koizumi dianggap berbeda dari para pendahulunya. Ia merilis CD berisi lagu-lagu Elvis kegemarannya dan bahkan berduet ria dengan aktor film pujaan dunia, Tom Cruise.
Popularitas Koizumi merosot ketika pemerintahannya memasuki usia setahun. Menurut jajak pendapat surat kabar Mainichi Shimbun, April 2002, perdana menteri yang penampilannya paling ‘colourfull’ itu hanya mendapat 42 persen suara publik yang mendukungnya. Ini karena Koizumi memutuskan untuk menjadi sekutu utama AS dengan cara mengirim tentara Jepang ke Irak.

Dani Wicaksono/BBCNews/Times














Kim Jong Il, Sang Pemimpin Tersayang

Kim Jong Il adalah pemimpin Korut yang gemar minum konyak Hennessey, dan mengoleksi 20.000 film termasuk serial James Bond yang lengkap.
Ia dilahirkan pada 16 Februari 1941 (tahun kelahirannya diubah menjadi 1942, agar tepat berselisih umur 30 tahun dengan sang ayah) ketika orangtuanya eksil ke Khabarovsk, Siberia, Uni Soviet. Ia adalah putra tertua dari Kim Il Sung dan istri pertamanya, Kim Jong Suk.
Sedikit yang diketahui tentang masa kecil Kim Jong Il. Ketika kanak-kanak, ia dipanggil “Yura”. Sebelum menjadi orang pertama Korut, dunia hanya tahu nama Kim yunior sebagai seorang playboy yang secara menggelikan memakai sepatu dengan hak tebal biar kelihatan lebih tinggi. Kim Jong Il dikenal sebagai “Pemimpin Tersayang”, sementara ayahnya dikenal sebagai “Pemimpin Besar”.
Kemudian ia tiba-tiba dikenal sebagai pewaris tongkat kepemimpinan Korea Utara sepeninggal ayahnya. Pada 1994, Sung meninggal dan Kim marak ke tampuk kekuasaan Korut (dan kemudian diangkat menjadi ketua partai Komunis sejak 1997). Pada saat itu Korut menjadi negara yang paling terkucil di dunia, dengan perekonomian dalam negeri yang rusak parah dan bencana kemanusiaan, seperti kelaparan, yang berulang kali melanda.
Ia adalah figur terkuat di Korut setelah Kim Il Sung. Seturut penilaian orang Korut, “Jenderal Kim Jong Il adalah orang besar yang jarang didapati. Ia memperoleh pendidikan revolusioner langsung dari ayahnya, dan memiliki semangat revoslusioner dan kekuatan seperti Gunung Baekdu—yang melambangkan kemerdekaan dan revolusi dan keagungan.” Maka ia pantas menjadi panglima tertinggi dari Angkatan Bersenjata Rakyat Korea (1991).
Ketidaksabaran dan temperamen tinggi yang dimiliki Kim sangat berbeda dengan kharisma dan ketenangan Sung. Ayah Kim adalah seorang yang terbuka terhadap masukan orang lain, sementara Kim terkenal arogan dan suka mengatur, terutama dalam hal kebijakan. Ia gampang berprasangka dan sering menunjukkan sikap emosional berlebihan.
Mungkin segenap kepribadian Kim diskreditkan oleh para intelijen Korea Selatan, negara yang secara ideologis bertentangan dengan jirannya. Namun, yang pasti, usaha Kim untuk mengembangkan negara nuklir bukanlah basa-basi. Ia malah mengaku telah melakukan ujicoba nuklir pada 9 Oktober berselang. Kim seolah tak peduli anggapan Presiden Bush, pada 2002, bahwa Korut adalah bagian dari “poros setan” bersama dengan Iran dan Irak—negara yang dipandang sebagai ancaman bagi AS dan kepentingannya.

Dani Wicaksono/The Encyclopedia of Asian History






Permainan Berbahaya dari Korea Utara

Pada 3 Oktober 2006, Menteri Luar Negeri Korea Utara, Kim Kye-guan, mengatakan bahwa negaranya siap mengadakan ujicoba nuklir kedua setelah 1998 dalam waktu dekat. Ia pun buru-buru menambahkan, Korut tidak akan menggunakan menggunakan senjata atom dan tetap berkomitmen pada program denuklirisasi Semenanjung Korea.
Enam hari kemudian, pengumuman itu ditepati juga.
Dunia internasional, dimotori oleh Jepang dan Amerika Serikat, segera mengutuk tindakan Korut. AS menyebut ujicoba tersebut sebagai “tindakan provokatif”, Perdana Menteri Jepang, dan Shinzo Abe menegaskan bahwa Korut tidak dapat dimaafkan. Sementara China yang merupakan sekutu Korut ikut menyatakan penentangan keras terhadap tes tersebut dan menyebutnya sebagai “tidak tahu malu”.
Korut yang mundur dari Traktat Pelucutan Senjata Nuklir, 10 Januari 2003, memang membuat was-was kontinen itu karena dikabarkan memiliki bahan-bahan yang memadai untuk membuat enam hingga delapan bom nuklir. Hingga sekarang, sejak Korut membuka kembali fasilitas-fasilitas nuklirnya pada 5 Februari 2003, tidak ada yang bisa memastikan apakah Korut memang mengembangkan persenjataan nuklir.
Secara politis, Korut berada di antara hidup dan mati. Sejak lama Korut dikenai sanksi ekonomi oleh AS, juga ancaman perang dari AS. Presiden George W. Bush sejak 2002 malah tegas mengatakan bahwa Korut (dengan komunismenya) telah mengancam stabilitas kekuasaan, dan diperintah rezim otoriter yang menyengsarakan rakyat.
Korut sendiri menyatakan bersedia duduk dalam perundingan internasional untuk mengakhiri program nuklir di negara itu, dengan syarat AS mencabut sanksi keuangan terhadap Korut. Namun AS menolak mencabutnya, dan belum bersedia mengadakan pembicaraan langsung dengan Korut.
Setelah ujicoba nuklir, hampir semua pihak yang sehaluan dengan AS lantas mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi yang mengecam Korut, juga memberlakukan sanksi ekonomi. PM Jepang Shinzo Abe yang tengah berada di Seoul untuk menemui Presiden Korea Selatan, Roh Moo Hyun, sigap mendesak Dewan Keamanan agar mengambil sanksi tegas. Korea Selatan pun mengatakan sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk sehubungan dengan nuklir Korut.
Hanya Jepang barangkali yang sudah dengan tegas menjatuhkan sanksi sepihak kepada Korut. Mulai Juli tahun depan, Negeri Matahari Terbit melarang seluruh kapal Korut melintas di perairan Jepang. Pemerintahan Abe juga akan menolak semua warga Korut yang hendak memasuki Jepang.
Korut telah bermain di zona bahaya. Sanksi dari Jepang saja sudah akan menghentikan perdagangan kedua negara yang senilai US$180 juta. Belum kalau menghitung kerugian sosial dan politik akibat tersisih dari pergaulan internasional. Barangkali Kim Jong Il, pemimpin Korut, sudah menimbang: bahwa semua ini adalah harga yang layak untuk kepemilikan nuklir.

Dani Wicaksono/Cininta Analen/BBC/AFP/Reuters/Antara



Kuil Yasukuni, Situs Sengketa Politik Jepang, China, dan Korea Selatan

Di samping kemajuannya di bidang politik dan ekonomi, Jepang selalu memicu krisis politik yang tak mengenakkan dengan Korea Selatan dan China. Ketegangan hubungan antartetangga ini selalu diawali dengan kunjungan Koizumi (atau para pemimpin Jepang lainnya ke Yasukuni). Dan kemudian merembet ke masalah lain.
Pada masa pemerintahannya, setiap tahun Koizumi selalu memicu kontroversi dengan mengunjungi Kuil yang dijadikan tempat peringatan bagi lebih dari 2,5 juta prajurit Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II—yang menjadi pahlawan bagi Jepang, tetapi penjajah bagi China dan Korsel.
China dan Korsel selalu melancarkan protes keras karena Kuil Yasukuni adalah penghinaan bagi kedua bangsa bekas jajahan Jepang tersebut, sekaligus dianggap sebagai pemutar-balikan fakta sejarah karena sebenarnya Jepang-lah yang melakukan penindasan.
China dan Korsel menunjukkan sikap yang meradang. China sampai melakukan kampanye besar-besaran untuk memboikot produk-produk Jepang di China. Korsel sendiri melayangkan pernyataan resmi bahwa Tokyo harus menyampaikan permintaan maaf “setulus-tulusnya” berkaitan dengan okupasi Jepang ke Korsel pada 1910-1945 (meskipun hubungan kedua negara sudah berlangsung normal sejak diadakannya sebuah perjanjian pada 40 tahun silam).
Bisa jadi Koizumi benar-benar cuma hendak “menghormati pejuang-pejuang yang gugur dalam perang, yang kematiannya menjadi tumbal bagi perdamaian dunia di masa depan.” Hanya, di luar itu, konteks yang lebih luas (atau konteks yang meluas) selalu disertakan seiring dengan memanasnya hubungan bilateral kedua negara.
Sejak April 2005, Jepang demikian gencar melancarkan kampanye untuk menduduki satu kursi tetap di Dewan Keamanan PBB. Bagi Korsel, Jepang tidak pantas duduk di kursi tersebut karena tidak punya perasaan bertetangga. Bagi China, langkah Jepang harus dihentikan karena seperti ingin mengukuhkan kembali niatnya untuk menjadi kekuatan dominan di Asia secara militer sebagaimana pernah terjadi pada pertengahan abad ke-20.
Perselisihan politis Jepang versus China dan Korsel ini semakin memanas sejak Jepang mengklaim hak pengelolaan perairan kaya sumber daya di seputar pulau-pulau perbatasan di Pasifik. Di perairan Laut China Timur, di sebelah utara Taiwan, Jepang dan China berseteru soal garis perbatasan-di mana ada ladang gas yang cukup subur. Di sekitar perairan yang sama, Jepang mengklaim Pulau Tokdo yang sebelumnya dimiliki oleh Korsel.
Pada tingkatan ini, Koizumi menunjukkan sikap acuh tak acuh dan cenderung keras kepala. Dan para pengamat pun mahfum bahwa berdasarkan kedekatan Jepang dengan Amerika Serikat, seiring dengan kemajuan politik dan ekonomi Jepang, dan “kesengajaan” Jepang untuk memancing suasana keruh di Asia, maka perdebatan sesungguhnya semata-mata bukanlah tentang perbatasan, atau sejarah yang ditelikung, atau permintaan maaf atas dosa-dosa masa lalu.
Bisa jadi Koizumi pun sadar bahwa isu sebenarnya barangkali berkutat pada siapakah di antara China dan Jepang yang akan menjadi kekuatan dominan di Asia pada abad sekarang dan selanjutnya.

Dani Wicaksono/BBCNews/Times

lihat kelanjutannya......