Saturday, November 18, 2006

Kuba: Menetapi Masa Silam, Menggenapi Masa Depan

Kuba:
Menetapi Masa Silam, Menggenapi Masa Depan


Melihat Kuba secara sepintas, mata akan sedemikian dimanjakan oleh bangunan-bangunan epik bergaya kolonial, penari-penari salsa yang sedemikian muda dan menggairahkan, lukisan-lukisan Che Guevara di tembok-tembok kota, pantai-pantai berpasir putih nan lembut, dan ladang-ladang tebu yang subur dan luas. Imaji tentang Kuba seolah-olah menegaskan sebuah kenangan: ketetapan masa lalu yang bergerak seiring zaman.
Arsitektur kolonial adalah pahatan konkret dari hasrat merkantilisme Spanyol yang menduduki Havana sejak 1511. Vila yang dibangun oleh Diego Velazquez de Cuellar, seorang Spaniard yang menjadi gubernur Kuba pertama kali, menjadi bukti paling jelas betapa pusat kota Kuba pertama bukanlah di Havana, melainkan di Baracoa. Keuskupan Kuba pertama pun berada di daerah ujung timur Kuba ini.
Penari-penari salsa yang ranum dan eksotis itu meniscayakan pandangan dunia penduduk Kuba yang penuh semangat dan dinamis. Melihat tarian salsa, kita seperti melihat Republica de Cuba yang muda, seperti memandang Castro muda yang sangat enerjik. Kita bisa lihat betapa Fidel Castro yang masih berusia 27 memimpin serombongan milisi sipil menyerang barak Moncada. Misi utamanya adalah menggulingkan rezim diktator Batista. Castro gagal, tertangkap, dan dibuang ke Meksiko. Namun Castro tidak menyerah. Bersama dengan sang adik, Raul Castro, serta seorang sahabat dari Argentina bernama Ernesto “Che” Guevarra, Fidel bersauh kembali ke Kuba pada November 1956, disertai 82 gerilyawan saja.
Bedanya dengan serbuan pertama, kali ini Castro berhasil menghimpun kekuatan publik, dan menjadikan perangnya sebagai peperangan rakyat semesta. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Batista yang menindas diubah oleh Castro menjadi senjata paling ampuh untuk memenangi perjuangan. Gerak Castro pun semakin ritmis dan cepat. Pada 1 Januari 1959, Batista tumbang. Fidel Castro pun menjadi pemimpin dari negara komunis pertama di belahan Barat dunia.
Pantai-pantai berpasir putih, juga ladang-ladang tebu, menyiratkan sisi wisata dan perekonomian Kuba. Pantai-pantai berpasir putih, yang mungkin pula tidak kotor karena sepi pengunjung, barangkali adalah hikmah satir yang didapat dari larangan Pemerintah Amerika untuk bepergian atau berwisata ke Kuba. Perairan Kuba adalah debur ingatan pahit bagi Amerika. Sejarah dunia mencatat, Presiden AS John F. Kennedy dipermalukan oleh Fidel Castro ketika invasi Teluk Babi April 1961 yang disponsori Amerika gagal sama sekali. Perairan Kuba menjadi saksi betapa negara yang luasnya lebih kecil dari Jawa itu sukses memukul mundur negara adidaya AS.
Kuba memang tidak terlalu kuat secara ekonomi bila dibanding dengan rival AS seperti Rusia, China, dan Jepang. Gula, sebuah komoditas andalan Kuba, yang pengetahuan tentang pengolahan dan tradisinya diwarisi dari budak-budak bawaan orang Perancis, barangkali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tetapi Kuba sangat kuat secara politik. Dari sedikit negara di dunia yang berani menentang Amerika, Kuba menjadi salah satunya.
Dan sekarang Kuba memegang tampuk pimpinan Gerakan Non-Blok. Sejak didirikan pada 1961 oleh Joseph Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, dan Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, GNB punya asas yang satu dan tidak berubah: bebas dari pengaruh blok mana pun. Tidak ada aliansi dengan dua kekuatan adidaya (pada waktu itu AS dan Uni Sovyet). Gerakan Non-Blok adalah sekaligus blok tersendiri yang dipenuhi semangat perdamaian dan kemerdekaan, yang tidak mendukung penindasan suatu bangsa atas bangsa lain.
Nadine Gordimer, sastrawan besar Afrika Selatan yang meraih penghargaan Nobel Sastra 1991, ketika berkunjung ke Havana menyatakan: “Aku melihat Kuba sebagai tempat dari sebuah perlambang. Atlantis yang bangkit dan menantang kita. Ambruknya Soviet menenggelamkan negara pulau ini menjadi peninggalan kekuatan politik abad 20.”
Gordimer benar. Kuba adalah mantan sekutu dari Uni Sovyet. Dunia bahkan pernah dipanaskan oleh Krisis Misil Kuba 1962-peristiwa menegangkan saat Uni Sovyet menempatkan nuklirnya di Havana untuk menantang nuklir Amerika. Tetapi itu Kuba yang dulu: negara yang terbebani oleh heroisme Marxisme-Leninisme. Kuba sekarang dituntut untuk menyelaraskan konvensi revolusinya dalam era kerjasama global.
Yang tidak berbeda, Kuba sekarang tetap saja tidak bisa lepas dari maskotnya: Fidel Castro. Meskipun sejak 31 Juli menyerahkan tampuk kepemimpinan Kuba kepada Raul Castro, bagi dunia wajah Kuba adalah wajah Fidel.
Dalam lingkaran GNB, sebenarnya bukan Kuba saja yang cakap dipandang secara politis. Ada Iran dengan Mahmoud Ahmadinejad, ada Venezuela dengan Hugo Chavez, ada India dengan Manmohan Singh, ada Indonesia dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih dari 100 anggota GNB sekarang pun tidak lagi terdiri atas negara-negara berkembang seluruhnya. Lebih jauh, GNB sekarang bisa dipandang sebagai kekuatan besar yang tak boleh diremehkan.
Problem riil yang dihadapi GNB sekarang terutama sekali adalah merumuskan agenda ke depan. Banyak pakar yang mengusulkan bila GNB lebih berkonsentrasi ke wilayah politik, dan tidak cuma meningkatkan kerjasama ekonomi. Pada 2003 lalu, KTT GNB di Malaysia membuat kesimpulan penting untuk mencegah serangan ke Irak. Entah karena dominasi AS terlampau kuat, atau karena negara-negara GNB sendiri kurang berperan secara aktif, serangan ke “Babilonia Baru” itu tetap berlanjut.
Inilah yang mesti menjadi refleksi bagi GNB sekarang. Ada banyak masalah internasional yang membutuhkan aspirasi GNB sekarang. Kita bisa menyebut konflik Timur Tengah, misalnya, atau pemilihan Sekretaris Jenderal PBB, atau isu nuklir Iran dan upaya untuk menghentikan dominasi AS. Kekuatan politik negara-negara anggota GNB cukup diperhitungkan secara monolateral. Tetapi secara multilateral?
Kuba bisa menjadi pemimpin yang baik seandainya Castro berhasil mempersatukan para pemimpin Non-Blok ke dalam satu suara. Kalau ini terlaksana, maka Castro tidak hanya akan dikenal sebagai pemimpin rakyat Kuba, namun juga dunia. Fidel dan Raul Castro tidak hanya akan dikenang sebagai pemimpin yang berjuang untuk keadilan manusia dalam tingkat global, tetapi juga sebagai pelaku dari keniscayaan gerak sejarah dunia.

(DN Wicaksono/Berbagai Sumber)

No comments: