Saturday, November 18, 2006

Perdana Menteri yang Terlalu Percaya Diri

Perdana Menteri yang Terlalu Percaya Diri

Dalam sebuah wawancara di tengah berlangsungnya KTT ASEM (Asia-Europe Meeting), 10 September kemarin, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra meyakinkan dunia bahwa tidak ada indikasi gerakan apa pun untuk melancarkan kudeta di Thailand.
“Saya tidak pernah bilang kalau ada gerakan apa pun yang bisa dianggap sebagai sebuah rencana kudeta. Sebab sejauh yang saya tahu, gerakan seperti itu tidak pernah ada,” ungkapnya dengan penuh percaya diri.
Thaksin rupanya bukan orang yang menghargai sejarah, atau, katakanlah, bukan orang yang peduli dengan sejarah negerinya sendiri. Sejak 16 September 1957, ketika Perdana Menteri Songgram digulingkan, terdapat semacam siklus kudeta di Thailand yang tetap. Pada 8 Oktober 1976, Admiral Sangad Chaloryu sempat mengambil alih kekuasaan di Thailand. Selanjutnya, 23 Februari 1991, Perdana Menteri Choonhaven ditahan oleh Jenderal Sunthorn Kongsompong.
Seandainya Bung Karno masih hidup, barangkali ia hanya akan tersenyum, atau menggeleng-gelengkan kepala seraya bergumam: Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Dua kudeta tersebut berlangsung dalam rentang waktu 15 tahunan. Dan sekarang, pada putaran siklus selanjutnya, Thaksin harus terbuang dari negerinya sendiri.
Rabu (20/9) dinihari, Panglima Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaraglin mengatakan dalam suatu pernyataan bahwa mereka telah menguasai Bangkok, menduduki kantor Perdana Menteri, dan merebut kekuasaan dari Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Sejak menjabat sebagai PM, Januari 2001, kebijakan-kebijakan perekonomian dan kesehatan Thaksin melegakan para pemilihnya yang kebanyakan berasal dari daerah rural. Ia pun menjadi PM pertama di Thailand yang berhasil memerintah selama empat tahun penuh. Bahkan, ia terpilih kembali pada pemilu selanjutnya, Februari 2005. Sayang, kejayaan Thaksin dengan cepat meredup, dan Thailand terpuruk dalam krisis politik berkepanjangan di sepanjang 2006.
Kelompok oposisi—yang menyoroti kritik-kritiknya yang intoleran dan kegagalannya untuk mengakhiri konflik separatisme di Thailand Selatan—dibuat marah oleh keputusan Thaksin (sekeluarga) untuk menjual saham-sahamnya di Shin Corp, satu grup perusahaan telkom terbesar di Thailand. Penjualan ini membuat keluarga Thaksin untung sampai 1,9 miliar dollar. Rakyat Thai marah besar. Mereka menuduh keluarga Thaksin hanya berkelit untuk menghindari pajak, dan mengalihkan kontrol aset nasional itu kepada investor-investor Singapura.
Tak pelak, Thaksin diminta mundur dari jabatannya. Jalanan Bangkok dipenuhi demonstran yang bersuara sama. Thaksin sendiri menjawab tuntutan lawan-lawan politiknya dengan penuh percaya diri, melalui penyelenggaraan pemilu luar biasa (semacam referendum) pada April lalu, dan menantang: bertarung atau diam.
Namun, partai-partai oposisi memboikot pemilu, dan banyak pemilih memilih untuk “tidak memilih”. Akibatnya, kandidat-kandidat dari partai penguasa gagal mencapai 20 persen suara—syarat mutlak bagi parlemen untuk menjadi PM. Untuk menenangkan para oposan, Thaksin menjanjikan bahwa ia akan segera turun dari kursi jabatannya.
Selama minggu-minggu yang tak menentu, akhirnya Raja Bhumibol Adulyadej menyatakan bahwa negara dalam keadaan kacau dan memerintahkan lembaga peradilan untuk mencari jalan keluarnya. Oleh Mahkamah Konstitusi, pemilu tersebut dinyatakan invalid dan akan diulang nanti pada tahun ini.
Thaksin sendiri, pada Agustus lalu, membuat manuver politik dengan mengungkapkan adanya “plot militer” untuk membunuhnya. Thaksin menyebut ada tiga jenderal dan dua sersan. Ketiga jenderal itu disebut-sebut berasal dari kesatuan Internal Security Operations Command (Isoc), dan dekat dengan Jenderal Pallop Pinmanee. Atmosfer politik jadi semakin tegang. Thaksin memerintahkan penangkapan sejumlah perwira tinggi militer, yang menunjukkan ketidakpuasan Thaksin terhadap dinas kemiliteran.
Hingga kemudian terjadilah apa yang diharapkan oleh sebagian orang Thailand, apa yang telah menjadi siklus di Thailand, dan apa yang sudah biasa bagi Thailand. Militer lagi-lagi mengendalikan keadaan yang kacau.

Dani Wicaksono

No comments: