Saturday, November 18, 2006

Pada Mulanya adalah Kata

Pada Mulanya adalah Kata

“Habemus Papam… .” Kita telah memiliki seorang Paus. Ucapan itu diteriakkan oleh Jorge Medina dari balkon Basilika Santo Petrus pada pukul 17.50 waktu Vatikan, 19 April 2005. Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah wafatnya Yohanes Paulus II, umat Katholik memiliki Paus Benediktus XVI—yang tadinya bernama Kardinal Joseph Ratzinger.
Sejak saat itulah kemudian Ratzinger yang berjuluk “Panzerkardinal” mengendarai tahta Vatikan untuk memimpin lebih dari 1,2 miliar umat Katholik sedunia. Ia mengemban tugas yang berat, sangat berat, untuk melanjutkan sempurnanya kepemimpinan mendiang Paus Yohanes Paulus II. Ia harus menggembalakan umatnya ketika umat Katholik yang melayat ke Vatikan riuh meneriakkan “Santo Subito”. Para takziyah menghiba, meminta sang idola agar diangkat menjadi santo secepatnya.
Ada derajat kesucian yang menguar di Vatikan, sepeninggal Yohanes Paulus II. Ini bermakna bahwa Ratzinger yang meneruskan “karya Tuhan di dunia” harus bisa membawa diri, merawat dan mempertahankan hal-hal baik yang pernah dilakukan oleh pendahulunya itu. Paus Benediktus XVI untungnya punya haluan yang tak jauh berbeda dibanding Paus Yohanes Paulus II. Benediktus menolak aborsi, penggunaan alat kontrasepsi, euthanasia, perang yang semena-mena, dan masih banyak lagi. Ia punya cukup kemampuan untuk meneruskan tradisi Katholik lewat tahta suci Vatikan. Sayang sekali, setahun setelah memegang tongkat gembala, Paus yang fasih berbahasa Jerman, Italia, Inggris, Latin dan Perancis ini nyaris tergelincir oleh kata-katanya sendiri.
Ia yang memiliki otoritas istimewa untuk menafsirkan Injil tentu paham bahwa kata-kata menjadi mula dari segala kejadian. Kata menjadi firman, menjadi sabda yang kelak abadi dan dibaca umat manusia secara turun-temurun. Kata-kata lantas menjadi ungkapan dari masa lalu untuk menyongsong masa depan. Termasuk, pada akhirnya, masa depan Gereja Katholik Roma. Dan dengan pengalaman ini, Paus Benediktus tanpa sadar telah menggoyahkan posisi Gereja. Ironisnya… dengan kata-kata.
Paus Benediktus XVI membuat umat Islam meradang dengan pernyataan bahwa (kurang lebih) Islam adalah agama yang berdarah-darah karena disiarkan dengan pedang. Paus lantas melakukan koreksi dan lantas meminta maaf dengan tulus. Ia juga menjanjikan bahwa Gereja akan lebih intensif melakukan dialog antaragama untuk merekatkan gading yang telah retak ini. Tentu saja permintaan maaf ini diterima. Kebesaran hati seseorang (muslim, dalam perkara ini) ditentukan oleh kesediaannya untuk memberi pengampunan.
Hanya, tidak ada salahnya bila kita mengetengahkan garis-garis besar (garis-garis besarnya saja!) ceramah Paus Benediktus XVI di Aula Magna, Universitas Regensburg, Jerman, pada 12 September 2006. Bukan untuk menegaskan adanya kesalahan, tetapi untuk menjadi pembelajaran bagi semua yang masih ingin menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama. Seperti katanya sendiri: “Akal budi, yang tuli terhadap Yang Ilahi dan Religi, yang bersembunyi dalam subkultur saja, tidaklah mampu mendorong dialog lintas budaya.” Di Indonesia dan dunia.

KULIAH PAUS BENEDICTUS XVI: Iman, Akal Budi, dan UniversitasUniversitas Regensburg bangga dengan kedua fakultas teologinya (Protestan dan Katolik) yang mendorong teolog untuk menggunakan akal budi. Keduanya mendorong mahasiswanya untuk selalu mengajukan pertanyaan secara rasional tentang Allah dan melakukannya dalam kaitan dengan tradisi iman Katholik. Semua itu muncul dalam kesadaran, ketika belum lama ini saya membaca bagian dialog yang disunting oleh Prof Th. Khoury (Muenster). Di buku itu, tertulis dialog dari tahun 1391 di Ankara antara Kaisar Manuel II Palaeologos dengan sang bijak dari Persia mengenai agama kristiani dan Islam dan mengupas soal kebenaran keduanya. Tanpa mau masuk ke dalam rinci-rincian, bagaimana hubungan antara umat Ahli Kitab dan Orang Tak Beriman, Kaisar secara mengherankan memakai cara langsung ke dalam pertanyaan utama tentang hubungan antara agama dan kekuasaan kepada rekan bicaranya. Ia berkata, “Tunjukkanlah, apa yang dibawa Muhammad dan Anda hanya akan menemukan yang buruk dan tidak manusiawi, seperti bahwa ia memerintahkan agar iman yang diwartakannya disebarluaskan dengan pedang. Hal itu bertentangan dengan kodrat Allah dan kodrat jiwa.
“Allah tidak mencintai darah, dan tidak bertindak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah. Iman itu buah jiwa, bukan dari tubuh. Maka siapa yang menyuruh orang untuk beriman, perlu menggunakan argumentasi yang baik dan cara berpikir yang benar, bukan kekuatan dan ancaman. Untuk meyakinkan seseorang yang rasional, perlulah orang, bukan tangan atau alat kekerasan atau sesuatu alat, yang dapat mengancamkan kematian.”
Kalimat yang menentukan dalam argumentasi terhadap pentobatan dengan kekerasan berbunyi: “bertindak tidak secara rasional, itu bertentangan dengan kodrat Allah.”
Di sini terkuaklah perbedaan cara orang memahami Allah dan dengan demikian juga dalam mengamalkan agama, yang sekarang merupakan tantangan langsung bagi kita.
Saya pikir, di sini ada nada sama antara apa yang secara Yunani tepat dan apa yang tampak dalam Alkitab mendasari iman akan Allah. Seraya mengubah ayat pertama Kitab Kejadian, Yohannes membukan Prolog Injilnya dengan kata: “Pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda adalah Allah.” Itulah yang persis dipakai oleh Kaisar: Allah bertindak dengan Sabda. Sabda itu akal budi dan sekaligus kata. Suatu akal budi, yang kreatif dan dapat mengkomunikasikan diri, secara rasional.
Pada lapisan terdalam terjadilah pertemuan antara iman dan akal budi, antara pencerahan dan religi. Manuel II telah dapat berkata sungguh dari kedalaman hakikat iman kristiani dan sekaligus dari hakikat budaya Yunaninya, yang menyatu dengan iman: bertindak “tidak bersama Logos” itu bertentangan dengan hakikat Allah. Di situ iman tampil tidak lagi sebagai Sabda yang secara historis hidup, melainkan ditancapkan sebagai sistem filosofis.
Etos keilmiahan di universitas adalah kehendak untuk taat pada kebenaran, sekaligus perluasan paham tentang akal budi dan pemakaian akal budi. Dalam Logos yang agung ini, dalam keluasan akal budi ini kami mengundang para rekan bicara untuk berdialog. Tugas universitas adalah senantiasa menemukan hal itu.


Dani Wicaksono

No comments: