Saturday, November 18, 2006

Perang Dingin di Daratan China

Perang Dingin di Daratan China

Setelah Perang Dunia II usai, Perang Dingin ternyata tidak hanya terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, namun juga China dan Taiwan. Revolusi China 1949 telah membawa Ketua Mao menuju tampuk kekuasaan. Perseteruan antara golongan komunis pendukung Mao Zedong dan nasionalis memaksa pemimpin nasionalis Chiang Kai-shek mundur ke Taiwan.
Penduduk asli Taiwan merasa sangat keberatan dengan dua juta orang pengungsi yang menyertai kedatangan pemimpin Kuomintang tersebut. Jutaan pribumi marah dengan invasi tersebut, sehingga konflik pun tak terelakkan. Chiang terpaksa mengambil tindakan tegas dan keras. Ia memaksakan hukum militer yang “berkelanjutan” atas pulau itu—hukum yang berlaku hingga 38 tahun ke depan. Pada saat inilah tangan Chiang Kai-shek berlumuran darah. Ribuan penentang dihukum mati atas perintahnya, dan batasan-batasan yang kejam ia timpakan terhadap kebebasan sipil dan politik. Taiwan di bawah Chiang Kai-shek nyaris menjadi negara totaliter.
Pada masa itu, China (RRC) tumbuh cepat menjadi negara kuat. Blok komunis dan sekutu pun menunjukkan persaingan menghebat. Dan ketika meletus Perang Korea 1950 antara Korea Utara dan Korea Selatan, China dan Uni Soviet yang komunis merasa perlu turut campur demi membendung laju negara “imperialis” Korsel yang disokong Amerika Serikat dan sekutunya. Nah, ketika inilah Taiwan khawatir bila China menyerbu wilayahnya. Chiang Kai-shek meminta perlindungan kepada Amerika.
Presiden AS Harry S. Truman segera menyanggupi permintaan negara baru itu.
Taiwan waktu itu tidak memiliki potensi ekonomi yang luar biasa, yang bisa memikat negara lain untuk masuk. Amerika mau membantu karena tanah Taiwan dianggap penting untuk membendung gerak laju komunisme di Asia pada umumnya. Bagi Amerika, Taiwan adalah benteng dari gelombang ekspansi kaum merah. Dan Amerika tak keberatan mengirimkan Armada 7 ke Selat Taiwan, sekaligus menandai intervensinya untuk kali pertama ke dalam konflik sesama bangsa itu. Ke depan, Taiwan pun dimanjakan dengan suplai finansial dan militer.
Taiwan menghapuskan hukum militernya pada 1987, setahun sebelum Chiang Ching-kuo—anaknya Chiang Kai-shek—meninggal semasa masih menjabat sebagai presiden. Wapres Lee Teng-hui menggantikannya, dan menjadi presiden pada periode berikutnya. Di bawah Lee, Taiwan memperkuat hubungan diplomatiknya dengan negara-negara lain di dunia, termasuk dengan AS. Pada 1995, Lee berangkat ke Washington untuk menjumpai Bill Clinton. Waktu itu hubungan Taiwan dan China memang lagi memanas. Bahkan, Maret 1996, manakala pemilu semakin dekat, China melakukan uji coba rudalnya di Selat Taiwan. Kabarnya untuk mengganggu dan mempengaruhi proses pemilu di Taiwan.
Amerika merespons dengan mengirimkan armada Angkatan Laut secara besar-besaran—bahkan disebut sebagai pameran kekuatan laut terbesar setelah Perang Vietnam. Presiden Clinton memerintahkan pesawat militer AS berpatroli di wilayah tersebut. Pemilu pun berlanjut sesuai rencana, dan Lee Teng-hui terpilih untuk kali kedua.
Ketegangan kembali terjadi ketika Inggris menyerahkan pengelolaan Hongkong kepada China pada 30 Juni 1997. Taiwan menanggapi pesta peralihan kekuasaan itu dengan mempertontonkan latihan militer di sepanjang Selat. Maksudnya tentulah untuk menunjukkan bahwa Taiwan tidak pernah berkeinginan mengikuti teladan Hongkong. Lee bahkan dengan senang hati menikmati sebuah “hubungan spesial di antara kedua negara”. Pernyataan Lee dengan tegas menunjukkan kedaulatan Taiwan. China marah besar, dan pembicaraan bilateral antara pemimpin kedua negara sejak saat itu terputus sama sekali.
Hubungan kedua negara membeku. Pada Maret 2000, terpilihnya Chen Shui-bian, kandidat Partai Progresif Demokratik, yang berhaluan kemerdekaan Taiwan, semakin mendinginkan suasana. Rakyat Taiwan menyukai Chen karena prinsipnya itu cukup tegas menjawab ancaman militer China. Meskipun Chen kemudian melunakkan sikapnya—bahwa ia tidak akan menyatakan kemerdekaan Taiwan kalau China tidak menyerang dengan kekuatan militer—tetap Perang Dingin itu berlangsung hingga sekarang.


Dani Wicaksono/CNN/NYT/VOA/Wikipedia/ NewsMax.com

No comments: