Sunday, November 19, 2006

Persoalan Filipina tak Hanya Kudeta

Persoalan Filipina tak Hanya Kudeta

Dua setengah tahun setelah dijadikan pemimpin (menggantikan Joseph Estrada yang diguligkan oleh revolusi rakyat pada 1991), Presiden Gloria Macapagal-Arroyo tidak bisa tidur pulas di Istana Malacanang. “Saya merasa dikhianati,” keluhnya pada sebuah stasiun TV di Manila. “Saya ditusuk dari belakang oleh sekelompok perwira-perwira muda yang memberontak.”
Arroyo benar. Sekitar 296 anggota militer mangkir dari kesatuannya dan meminta Arroyo meletakkan jabatan. Mereka menguasai Hotel Oakwood, dan memasang barikade pertahanan diri untuk mengantisipasi serangan pemerintah. Meskipun kemudian menyerah, pada 28 Juli 2003, pesan mereka sudah didengar jelas sekali oleh Arroyo. “Pemerintah harus bertindak: reformasi sejati,” tegas Letnan Kolonel Rod Meija dari unit intelijen Marinir. “Jikalau tidak, kudeta demi kudeta akan terjadi di Filipina.”
Arroyo memang bisa mengantisipasi peristiwa itu. Ia menenangkan para pemberontak dengan menjanjikan mereka reformasi sejati dan tidak akan memenjarakan para pelaku. Namun benar juga ramalan Meija. Pada 22-25 Februari 2006, ketika ribuan rakyat Filipina merayakan 20 tahun Revolusi EDSA dengan berpawai di jalanan, mendadak Arroyo (58) mencium aroma yang sama ketika Marcos, Aquino dan Estrada terusir dari kursinya (baik oleh kudeta militer atau oleh demonstrasi sipil). Ia yang mengagumi Margaret Thatcher, mantan perdana menteri Inggris, itu kemudian tidak mau ambil risiko. Keadaan darurat ia berlakukan selama seminggu, dengan alasan bahwa sejumlah perwira militer yang bersekutu dengan beberapa pemimpin berhaluan kiri tengah merencanakan kup.
Walaupun pengumuman ini ditentang oleh sebagian anggota Senat dan dianggap inkonstitusional oleh pelbagai kelompok ahli hukum, Arroyo bergeming. Ia malah menangkapi ketua-ketua kelompok progresif, juga anggota-anggota partai yang disangkai terlibat. Pejabat-pejabat militer yang terkait pun mengalami perlakuan serupa. Demonstrasi oleh ribuan rakyat, yang menuntut Arroyo mundur, ditumpas dan dianggap ilegal. Sebuah harian nasional diserbu dan diambil alih oleh pemerintah karena dianggap “menerbitkan materi-materi yang memicu keresahan”. Peringatan publik diterapkan: bahwa “polisi akan menahan kelompok-kelompok yang tidak mematuhi standar-standar yang dikeluarkan pemerintah.”
Gregorio “Gringo” Honasan, seorang mantan kolonel dan senator, dituduh sebagai advonturir yang merencanakan semua kejadian itu—mulai 2003, dan terakhir pada 2006. Honasan tertangkap pada 15 November kemarin, dan (kalau tuduhan atas Honasan benar) Arroyo berhasil meredam segala spekulasi tentang kemungkinan tambahan kudeta dalam sejarah Filipina.
Hanya, rakyat lantas semakin sadar bila problem sesungguhnya bukan terletak pada pribadi Arroyo semata-mata, atau siapa pun presidennya. Problemnya terletak pada Filipina secara holistik, dengan Arroyo sebagai sosok kecil yang memerintahkan kesemuanya. Memang anak dari eks-presiden Diosdado Macapagal ini diisukan berbuat curang dalam pemilu 10 Mei 2004. Suami, anak sulung, serta iparnya juga memperburuk citra Malacanang setelah mereka dituduh menerima uang suap dari perjudian ilegal. Namun, rakyat Filipina sepertinya gemas akan persoalan lebih besar yang tak kunjung terselesaikan.
Lebih dari 40 persen Filipinos hidup di bawah garis kemiskinan setelah pemerintahan Arroyo memberlakukan kebijakan-kebijakan yang menyulitkan perekonomian mereka, semisal pajak pertambahan nilai baru. Kebijakan-kebijakan Arroyo tentang pangan dan pertanian yang tunduk di bawah tekanan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi sebab hilangnya matapencaharian dari ribuan produsen pangan di Filipina. Manila juga terus-terusan membuka lahan untuk perusahan-perusahaan kopi transnasional, sehingga merusak ekologi dan menyebabkan bencana seperti tanah longsor di Leyte dan banjir bandang di Mindoro pada Desember 2004.
Ancaman pemakzulan (impeachment), yang untungnya dilalui Arroyo dengan baik, mungkin hanya sebuah penanda bahwa rakyat teramat lelah mendengarkan janji-janji pemerintah. Mereka ingin kehidupan yang lebih baik, yang bisa diperoleh dengan pelaksanaan agenda perubahan secara bersama-sama.
Kalau penguasa Istana Malacanang tidak tanggap, kudeta militer dan people power, yang lama-lama menjadi “kebiasaan sejarah” di Filipina, adalah pernyataan sikap yang paling bisa diserukan oleh anak negeri.

Dani Wicaksono/Time/BBC