Saturday, November 18, 2006

Gembala yang Nyaris Tergelincir

Gembala yang Nyaris Tergelincir

Semasa masih segar, Paus Yohanes Paulus II pernah menyatakan bahwa umat Katholik seharusnya berbahagia karena telah mendapatkan seorang Paus yang bisa menjadi Paus. Ia menjadi bintang media, menjadi pemimpin dari seluruh umat Katholik sedunia, dan ketika menemui orang yang nyaris membunuhnya, menjadi pelaku dari salah satu pokok ajaran Yesus yang paling berat: “Kasihilah musuhmu.”
Menjadi Paus berarti memegang tongkat gembala yang hanya satu. Memimpin domba-domba menuju padang rumput dan telaga yang memuaskan lapar dan dahaga. Menjadi Paus tidak sekadar berarti bahwa ia harus menjalankan tugasnya. Lebih dari kesemuanya, ia pun mengemban misi ilahiah. Karena sifatnya yang agung, misi inilah yang membuat seorang Paus disebut juga primus interpares, yang pertama dari antara yang sejajar, yang ditunjuk sebagai orang pertama untuk menjalankan misi Tuhan dari antara orang-orang lain yang sebenarnya pantas pula memikulnya.
Persoalannya, tugas mulia Paus tidak hanya dilihat berdasarkan tingkah laku atau perbuatan semata-mata. Perang Salib yang bermula sejak 1095 dan berlangsung hingga dua abad setelahnya menjadi tamsil betapa fatwa para pemimpin gereja mampu menggerakkan pasukan besar Eropa untuk menyerbu Baitul Maqdis di tanah pendudukan Palestina. Apa pun bunyinya, jelas bahwa kata-kata menjadi inti dari segala gerak—seturut ucapan Rendra: “… dan perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Banyak yang telah belajar tentang kekuatan kata-kata. Utusan-utusan gereja yang disebar sejak zaman penjelajahan samudera oleh Colombus, Alfonso D’ Albuquerque, Magelhaens, dan sebagainya, mengandalkan kata-kata sebagai kekuatan dari penyebaran iman Katholik. Kita membaca novel Dan Damai di Bumi karangan Karl May, dan semakin yakin bahwa kata-kata mampu menundukkan segala karang-penghalang dan membuat manusia melakukan segala yang luar biasa. Dan sebagai satu-satunya kekuatan, pilar paling pokok dari Gereja, kata-kata itu tidak boleh meleset. Sama sekali tidak boleh meleset. Apalagi ketika diucapkan oleh seorang Paus.
Kekeliruan pengucapan oleh pucuk pimpinan Gereja Katholik pada 12 September 2006 menyiratkan dampak yang mungkin timbul ketika kata-kata yang meleset menimbulkan pemahaman yang melukai orang lain. Waktu itu, Paus Benediktus XVI berceramah dalam kuliah umum di Aula Magna, Universitas Regensburg, Jerman. Dalam pidato akademiknya, Paus Benediktus mengutip teks abad pertengahan (ucapan Kaisar Byzantine pada abad ke-14, Manuel II Paleologus) dan menyiarkan bahwa Nabi Muhammad “hanya membawa hal-hal jahat dan tidak manusiawi”. Islam pun digambarkan sebagai agama yang disebarkan dengan pedang, dan bukannya dengan syiar kata-kata.
Kontan umat Islam marah besar. Para pemimpin politik dan agama Islam di seantero Timur Tengah dan Asia mengutuk pidatonya dan menuntut agar ia meminta maaf. Demonstrasi terjadi di jalan-jalan di Kashmir, Pakistan, dan Irak. Mereka membakar boneka Sri Paus, sementara militan Al Qaeda mengancam akan melancarkan perang terhadap para penyembah salib. Situasi harmonis antarumat beragama pun luluh lantak hanya karena ucapan Paus Benediktus yang berlangsung dalam hitungan menit. Perang Salib yang terjadi beberapa abad lampau pun didengung-dengungkan kembali oleh beberapa kalangan yang teramat emosional.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemimpin negara dengan umat Islam terbesar sedunia yang kala itu berada di Havana, Kuba, juga menyatakan penyesalannya atas pernyataan Sri Paus. Hanya, kebesaran hati Presiden SBY tercermin dari pernyataannya yang mengajak rakyat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, untuk bisa menahan diri, sabar, dan menjaga persatuan dan kerukunan beragama. “Agar betul-betul bisa kita bangun situasi yang harmonis,” ucap Presiden.
Setelahnya, publik melihat sejatinya kedewasaan pemimpin dalam kasus yang rawan ini. Tidak hanya dari pemimpin-pemimpin Islam yang ikhlas memberi maaf dengan ketulusan hati, tetapi juga kesediaan gembala dari 1,2 miliar domba lebih untuk menghaturkan penyesalan dan permintaan maaf. Dengan setulusnya Paus menyesali bahwa beberapa paragraf dalam pernyataannya telah melukai kaum Muslim, padahal ia tidak meniatkannya seperti itu. Paus Benediktus XVI sendiri kemudian menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, dan menegaskan bahwa Gereja “memiliki penghargaan tinggi terhadap kaum Muslim, yang percaya kepada satu Tuhan.”
Lebih lanjut, Paus juga menawarkan ajakan untuk membuka suatu dialog yang jujur dan terbuka antara pemeluk Kristen dan umat Islam, dengan sikap saling menghargai. Suatu dialog antaragama dan peradaban yang jujur dan tidak berbias ini diharapkan akan menjadi langkah maju dari peristiwa yang sempat menjadi krisis dunia ini. Ia hendak memperbaiki situasi yang memburuk.
Permintaan maaf Paus Benediktus XVI, dengan demikian, mengandaikan bahwa pemimpin pun harus berani mengakui adanya salah, menundukkan kepala untuk menunjukkan sikap lebih hati-hati pada kerikil-kerikil yang mungkin akan membuat tergelincir. Benediktus sekaligus akan semakin sadar bahwa kata-kata masih menemukan kekuatannya pada abad nuklir ini.

Dani Wicaksono/BBC/Antara/VOA

No comments: