Saturday, November 18, 2006

Shinzo Abe: Tidak Sekarismatik Koizumi

Shinzo Abe
Tidak Sekarismatik Koizumi

Masa kejayaan Koizumi berakhir ketika kepemimpinan partai LDP (Liberal Democratic Party) berpindah tangan. Sejak 20 September kemarin, Perdana Menteri Junichiro Koizumi tidak lagi mengepalai partai nomor satu di Jepang itu karena sudah habis masa jabatannya. Kursi beralih ke Shinzo Abe, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang pada Pemerintahan Koizumi.
Publik yakin bila pemimpin baru dari partai mayoritas ini akan menggantikan seniornya sebagai Perdana Menteri Jepang pada 26 September mendatang—masa ketika Koizumi lengser. Memang, Shinzo Abe masih harus melalui pemungutan suara di tingkat parlemen. Namun itu bukan masalah besar sebab partai LDP pun menguasai sebagian besar kursi parlemen. Tak pelak, masa depan Jepang berada di tangannya.
Koizumi telah memimpin Jepang selama lebih dari lima tahun. Dengan liat, berani, dan tegas. Ia membawa Jepang ke arah perubahan yang sangat signifkan. Secara umum, Koizumi melakukan pembaharuan struktural, mengubah wajah politik, dan mereformasi perekonomian politik. Dalam masa kepemimpinan Koizumi, Jepang menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi yang cukup diperhitungkan. Ia pun menjadi Perdana Menteri yang kharismatik, yang mau bertegur sapa dengan rakyat biasa, independen, dan penuh gagasan. Lantas, siapakah Shinzo Abe, calon pengganti Koizumi yang perkasa?
Para politisi beranggapan bahwa Abe adalah sosok yang digadang-gadang oleh Koizumi. Ia muda (51 tahun—usia termuda di Jepang kalau ia jadi menjabat PM), enerjik, populer, dan disukai banyak kalangan. Ia juga datang dari keluarga yang sangat terpandang secara politik. Kakek Abe, Nobusuke Kishi, adalah pejabat eselon satu Jepang pada masa Perang Pasifik—yang juga didakwa sebagai salah satu penjahat perang, namun bebas tanpa diadili. Ayahnya, Shintaro Abe, adalah Menteri Luar Negeri Jepang pada 1980-an, yang tentunya menjadi PM kalau tidak terburu meninggal karena kanker. Ibunya, Yoko Kishi, adalah anak dari Perdana Menteri Nobusuke Kishi. Jadi, Shinzo Abe cukup memiliki kebanggaan masa lalu untuk menjadi Perdana Menteri.
Persoalannya, selain karena silsilah keluarga yang terhormat dan sebagai Kepala Sekretaris Kabinet, lelaki kelahiran Nagato 21 September 1954 ini dianggap belum terlalu berpengalaman soal politik—dalam pengertian pemerintahan tingkat tinggi. Ia belum pernah menjabat sebagai menteri, juga belum pernah mengepalai sebuah wilayah administrasi. Karier politknya hanya terbina lewat parlemen, di mana ia selalu duduk sebagai anggota sejak 1993. Jabatan di pemerintahan pun baru ia peroleh ketika pada 2000 Perdana Menteri Yoshiro Mori mengangkatnya sebagai Deputi Sekretaris Kabinet—posisi yang hanya punya wewenang sedikit dalam membuat kebijakan nyata.
Popularitasnya melambung ketika pada 2002 lalu Abe mengecam Korea Utara yang mempekerjakan orang-orang Jepang untuk menjadi mata-mata bagi rezim Kourut yang memerintah pada 1970-an. Dari sini, ia melangkah menuju kursi Sekjen LDP, dan lantas diangkat Koizumi sebagai Kepala Sekretaris Kabinet, jabatan dalam Kabinet kelima Koizumi yang disandang Abe sejak Oktober 2005 hingga sekarang. Dan beberapa hari setelah terpilih sebagai ketua partai LDP, Abe akan disorot dunia sebagai penyulih Koizumi yang pensiun.
Memimpin Jepang bukanlah tugas enteng. Kegemilangan Koizumi memimpin Jepang bukan serta-merta berarti bahwa pemerintahannya sempurna. Ada senarai masalah yang masih menggantung di sisa-sisa waktu Koizumi. Jepang mengalami defisit anggaran yang mencapai 6 persen dari PDB. Jepang punya hutang yang jumlahnya 160 persen dari PDB. Jepang mengalami krisis masa pensiun dan krisis generasi (angka kelahiran cukup kecil). Reformasi ekonomi yang dijalankan Koizumi—berdasarkan fundamentalisme pasar—membuat kesenjangan sosial-ekonomi penduduk Jepang semakin lebar. Jepang telah memakai sistem ekonomi yang jelas-jelas membagi masyarakat menjadi dua kategori: minoritas pemenang, dan mayoritas orang kalah.
Selain persoalan dalam negeri, Jepang pun punya krisis politik yang tak mengenakkan dengan Korea Selatan dan China. Ketegangan hubungan antartetangga ini selalu diawali dengan kunjungan Koizumi ke Yasukuni. Setiap tahun, Koizumi selalu memicu kontroversi dengan mengunjungi Kuil yang dijadikan tempat peringatan bagi lebih dari 2,5 juta prajurit Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II—yang menjadi pahlawan bagi Jepang, tetapi penjajah bagi China dan Korsel. China dan Korsel selalu melancarkan protes keras karena Kuil Yasukuni adalah penghinaan bagi kedua bangsa bekas jajahan Jepang tersebut, sekaligus dianggap sebagai pemutar-balikan fakta sejarah karena sebenarnya Jepang-lah yang melakukan penindasan.
Kunjungan diam-diam Shinzo Abe ke Kuil Yasukuni, beberapa hari setelah Koizumi melakukannya terang-terangan Oktober lalu, memang tidak memicu kontroversi. Tetapi, agenda kampanya Abe berisiko tinggi meningkatkan ketegangan. Pertama, Abe punya rencana untuk merevisi Konstitusi internasional pasca-PD II yang menyatakan bahwa Jepang adalah negara pasifis, yang hanya boleh memiliki tentara untuk mempertahankan diri (SDF: Self-Defense Force). Kedua, Abe bersikap menentang ambisi regonalisme China. Keduanya jelas akan memperburuk hubungan Sino-Jepang. Baik China maupun Korsel tampaknya sepaham bahwa ancaman secara militer dan politik di daratan ini (atau di Asia, pada umumnya) bukanlah Korea Utara, melainkan Jepang. Dan kalau diperbolehkan memiliki kekuatan militer aktif, Jepang akan semakin dianggap membahayakan.
Hanya sedikit publik Jepang yang mendukung usulan pertama. Namun agaknya Abe akan memakai cara Koizumi: mengirim SDF ke pelbagai wilayah konflik (ke Irak, misalnya). Ini akan menegaskan peran militer Jepang di dunia internasional, sekaligus kampanye terselubung untuk meraih tujuan itu. Amerika Serikat, yang menjadi kawan akrab Jepang terutama sejak era Koizumi, barangkali akan menerima usulan revisi Konstitusi Jepang yang pasifis. Namun, China dan Korea Selatan tentu tidak gampang dibujuk. Setelah normalisasi hubungan pada 1972, hal-hal yang berkaitan dengan keamanan, kedaulatan, ekonomi, serta Yasukuni merupakan isu-isu rawan bagi ketiga negara. China dan Korsel tentu akan memberi kesempatan kepada Abe, tetapi standar rendah yang digalang oleh Koizumi tampaknya akan membuat Shinzo Abe menemui lebih banyak rintangan.
Rakyat pun mulai ragu. Sebuah survei dari Asahi Shimbun, harian terkemuka di Jepang, paling tidak bisa dijadikan ukuran. Sebanyak 59 persen dari 1.062 responden meragukan kepemimpinan Abe ke depan. Sementara, dari 57 persen responden yang mendukung kepemimpinan Abe, hanya 29 persen saja yang memperkirakan bahwa Abe akan menjadi pemimpin yang kuat.
Shinzo Abe memang sangat populer di Jepang. Tetapi ia tidak memiliki kharisma Koizumi—yang bisa menawarkan tindakan ulet pada publik yang skeptis. Mungkin ia akan mengandalkan bakatnya sebagai seorang novis yang baik dalam mengurusi pemerintahan: mengikuti jejak sang guru, Junichiro Koizumi. Mungkin pula ia akan memperbaiki hubungan Jepang dengan China dan Korsel seperti janjinya. Namun belum ada seorang pun yang tahu bagaimana Abe akan menyelesaikan krisis dalam dan luar negeri Jepang.

Dani Wicaksono/Berbagai Sumber

No comments: