Monday, November 27, 2006

Nasionalisasi Hidrokarbon: Propiedad de los Bolivianos!

Nasionalisasi Hidrokarbon: Propiedad de los Bolivianos!

Senin pagi, 23 Mei 2005, adalah hari yang dikenal Bolivia sebagai awal kebangkitan kesadaran negeri: cukup sudah modal asing membelit kemandirian politik dan ekonomi Bolivia.
Ketika itu, enam ribu petani, penanam Koka, dan orang-orang biasa lainnya mengakhiri perjalanan empat hari dari Caracollo hingga ke El Alto. Sekitar 200 kilometer jarak yang terbentang mereka tempuh dengan jalan kaki beramai-ramai. Dipelopori oleh partai Gerakan Menuju Sosialisme (MAS), dan dipimpin oleh Evo Morales, massa menuntut peningkatan jumlah royalti yang diberikan perusahaan-perusahaan minyak transnasional kepada pemerintah Bolivia.
Tuntutan itu sendiri akhirnya diserukan setelah Presiden Bolivia pada masa itu, Carlos Mesa Gisbert, mensahkan UU baru yang mengatur pembagian royalti penambangan hidrokarbon—di mana perusahaan asing diuntungkan karena hanya dibebani pajak sebesar 22 persen, sementara Bolivia hanya mendapat royalti sebesar 18 persen. Bagi para demonstran, UU tersebut akan membuat para perusahaan asing demikian mudah menghindari pembayaran.
Di antara semua tuntutan, hanya Morales yang menyerukan nacionalizado energi. “Kita tidak menuntut pembubaran Kongres karena lembaga itu menyimbolkan demokrasi Bolivia. Kami hanya meminta diadakan nasionalisasi gas!” kata Morales ketika itu. “Dan jikalau tuntutan kami tidak dipenuhi, kami akan merebut kekuasaan di Bolivia untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut.”
Setahun kemudian, tepatnya pada 22 Januari 2006, Evo Morales berhasil memenangkan pemilu dan dilantik menjadi Presiden Bolivia. Morales kemudian melangsungkan apa yang disebutnya sebagai Revolusi Damai di Bolivia. Ia menegaskan izin penanaman pohon Koka, tanaman tradisional berumur ratusan tahun yang bisa digunakan untuk memproduksi kokain—di samping kegunaan lain yang bernilai medis. Ia juga mengumumkan rencana nasionalisasi industri hidrokarbon, dan menjalankan revolusi agraria dengan membagi-bagikan 20 juta hektar tanah milik negara kepada para petani.
Lantas pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2006, pemerintah Bolivia mengeluarkan pernyataan tentang nasionalisasi sektor hidrokarbon (gas alam dan minyak bumi). Dengan Dekrit Presiden Nomor 28701, Bolivia mengumumkan “nasionalisasi pertama di abad 21”, setelah gelombang pasang nasionalisasi di dunia pada 1960-an dan 1970-an, dan melepaskan diri dari cengkeraman modal. Dalam kata-kata Wapres Bolivia Alvaro Garcia Linera, yang disampaikan di hadapan puluhan ribu rakyat di Istana Kepresidenan di La Paz, “Bolivia tak akan pernah lagi tunduk di bawah tekanan perusahaan-perusahaan transnasional. Ini adalah tindakan patriotik dan heroik yang bakal mengembalikan jiwa dan martabat kita.”
Perusahaan-perusahaan hidrokarbon seperti Petrobas dari Brasil, Repsol dari Spanyol, Total dari Perancis, atau perusahaan Inggris BP yang sudah berinvestasi hingga US$ 3,5 milyar di Bolivia tentu saja keberatan. Direktur Repsol YPF Spanyol, Antonio Brufau, bahkan mengatakan bila kebijakan nasionalisasi itu bertolak belakang dengan logika bisnis. Mereka merasa dipaksa untuk menandatangani penjualan minimal 51 persen sahamnya kepada pemerintah Bolivia, dan ditodong oleh militer untuk menyelesaikan semua administrasinya dalam jangka waktu enam bulan. Banyak yang terpaksa harus menerima, sebab pilihannya sangat terbatas: tunduk atau hengkang. Seperti ditegaskan oleh Menteri Energi Bolivia Andres Soliz, “Jika perusahaan-perusahaan asing tidak setuju, mereka boleh pergi saja dari sini.”
Sektor hidrokarbon memang termasuk topik sensitif di Bolivia. Meski terbilang sebagai negara termiskin di Amerika Latin, Bolivia memiliki cadangan energi terbesar di Amerika Latin setelah Venezuela. Pengelolaan sumber-sumber hidrokarbon selalu menjadi sumber kecemburuan sosial dan memicu beberapa kali revolusi rakyat yang menentang kebijakan pemerintahan, terutama antara 2003 dan 2005. Ini beralasan, sebab di mata pribumi, perusahaan asing hanya menaruh sedikit modal, tetapi mengeruk terlalu banyak bahan baku dan keuntungan.
Sikap Morales jelas mencerminkan terjadinya arus balik Amerika Latin dari pasar bebas dan investasi asing. “Ini baru permulaan. Besok atau lusa giliran sektor pertambangan, kemudian sektor kehutanan, dan akhirnya seluruh sumber alam yang sejak dahulu telah dipertahankan dan dibela oleh nenek moyang kami,” kata Morales kepada massa di lapangan utama La Paz dalam perayaan Hari Buruh itu.
Isu nasionalisasi itu makin menambah deretan kecemasan Barat terhadap persoalan-persoalan global. Terkait dengan dampak nasionalisasi Bolivia, dunia seperti tahu bahwa Morales telah melakukannya dengan mudah—empat hari berjalan sepanjang 200 kilometer, dan hanya makan waktu satu tahun. Apalagi negara-negara peminum minyak tampak gelisah ketika dihadapkan pada merambatnya harga minyak dunia menuju 75 dolar AS per barel akibat sengketa nuklir Iran.
Nasionalisasi dengan dekrit ini tidak hanya akan menegaskan kepemilikan kekayaan alam Bolivia oleh rakyat sendiri (Propiedad de los Bolivianos). Sekaligus, ini adalah sinyal tentang gelombang nasionalisasi abad 21, yang barangkali akan menyebar dari Bolivia, Venezuela, Meksiko, atau ke seluruh Amerika Latin atau dunia.

Dani Wicaksono/Reuters/BBC/Counter Punch