Sunday, December 3, 2006

Ekuador Pascapemilu: Bergerak ke Kiri

Ekuador Pascapemilu: Bergerak ke Kiri

Pemilu putaran kedua di Ekuador, Minggu, 26 November 2006, boleh jadi akan menghembuskan angin perubahan. Berdasarkan hasil perhitungan suara cepat atau quick count dari tiga media polling (Gallup, Teleamazonas, dan Market pollsters), Rafael Correa memperoleh 56,9 persen suara, sementara pesaingnya Alvaro Noboa hanya mendapat 43,1 persen.
“Kami terima kemenangan ini dengan sederhana dan rendah hati,” kata Correa (43 tahun), lulusan doktor ekonomi University of Illinois. “Begitu kami mengambil alih kekuasaan, saat itu pula rakyat Ekuador berkuasa.”
Correa, seorang ekonom sayap kiri, yang menyerukan pemutusan hubungan Ekuador dengan negara-negara pemberi hutang, akhirnya akan menjadi pemimpin bangsa Andean yang tidak stabil secara politik. Seiring dengan angin kencang reformasi yang menggetarkan daratan Amerika Latin, yang dihembuskan Venezuela dan Bolivia dan Kuba, agaknya Correa akan mengembangkan layarnya ke arah yang sama.
Rafael Correa adalah mantan menteri ekonomi Ekuador, yang mengkampanyekan sebuah “revolusi rakyat” melawan sistem politik Ekuador yang tidak berwibawa. Selama masa kampanye pula, ia berjanji bahwa Ekuador akan memutuskan hubungan dengan Bank Dunia dan IMF. Ia yang menjuluki Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai “orang bebal”, juga ingin menyelenggarakan referendum untuk memperbaharui konstitusi untuk mengurangi kekuasaan partai-partai tradisional dan membatasi aktivitas-aktivitas militer AS di Ekuador.
Selain itu, Correa berniat membangun 100.000 rumah sederhana dan meniru janji Noboa untuk menggandakan “bonus kemiskinan” US$36 setiap orang per bulan untuk 1,2 juta warga tidak mampu di Ekuador.
Hanya, kebijakan luar negeri Correa-lah yang menjadi perhatian publik. Bukan karena Ekuador mampu memproduksi dan mengekspor 535.000 barel minyak setiap harinya, bukan pula karena Ekuador hendak bergabung kembali dengan OPEC, yang pernah ditinggalkannya pada 1993. Tetapi, seperti diperhatikan oleh dunia, sejak awal kampanyenya, Correa selalu mengidentifikasikan diri dengan Presiden “ugal-ugalan” dari Venezuela, Hugo Chavez.
“Besar harapan kami bisa lebih dekat dengan Chavez,” katanya kepada televisi Channel 8 dalam sebuah wawancara, “sebab Chavez adalah seorang sahabat yang personal.” Meskipun ia kemudian memperbaiki keberpihakannya dengan menyatakan bahwa “di rumah saya, bukan sahabat yang pegang kendali, melainkan rakyat Ekuador”, masyarakat Barat terlanjur memegang omongan pertama Correa sebagai hipotesis untuk melihat Ekuador ke depan. Di samping itu, kesiapan Correa untuk menunjuk ekonom sayap kiri Ricardo Patino dan Alberto Acosta, sebagai menteri ekonomi dan energi menambah jelas gelagat pergerakan Ekuador setelah pemilu 2006.
Fakta lain: meskipun bilang tidak hendak membatasi hubungan luar negeri, Correa tegas-tegas menginginkan ikatan lebih kuat dengan presiden-presiden kiri moderat seperti Michelle Bachelet (Chile), Nestor Kirchner (Argentina), dan Luiz Ignacio Lula da Silva (Brasil). Dan dengan Washington, Correa siap menjalin hubungan baik, tetapi “tidak akan menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, sebab mereka hanya akan menghancurkan pertanian, peternakan, dan industri unggas kami.”
Kemenangan Rafael Correa sebenarnya masih belum diresmikan. Hasil pemilu keseluruhan sebenarnya baru bisa diketahui hari Minggu, 3 Desember 2006. Namun, komisi pemilihan di Ekuador akan mengumumkannya secara resmi Selasa depan.
Sementara itu, rival berat Correa, Alvaro Noboa, seorang miliuner yang dekat dengan keluarga Kennedy dan Rockefeller, tidak mau mengakui kekalahannya sampai pengumuman resmi dikeluarkan.
“Ada skenario untuk memancing kerusuhan dengan pengumuman polling cepat itu,” ucap Noboa di hadapan pendukungnya di kota pantai Guayaquil. Ia sendiri sudah menginstruksikan ketua kampanyenya untuk pergi ke Mahkamah Tinggi Pemilu dan menuntut mereka membuka kotak suara dan menghitungnya satu demi satu supaya tidak ada keraguan.
Namun, euforia sudah merebak di salah satu kawasan Amerika Latin. Sebuah euforia tentang kemenangan (lagi-lagi) kelompok kiri. Sebab, kemenangan Correa meniscayakan arah angin buritan yang menggiring Ekuador untuk bergabung dengan armada kiri tingkat benua yang sebelumnya sudah angkat sauh: Chile, Bolivia, Brasil, Argentina, Uruguay dan Venezuela.

Dani Wicaksono/AP/Time/BBC

No comments: