Sunday, December 3, 2006

Ekuador dan Akhir Neoliberalisme di Amerika Latin

Ekuador dan Akhir Neoliberalisme di Amerika Latin

Seandainya hasil penghitungan suara terakhir di pemilu Ekuador tetap berpihak pada Rafael Correa dari partai Alianza, dan tidak menjungkirbalikkan perkiraan pengamat pada umumnya, maka Amerika Latin akan mendapat tambahan amunisi untuk melawan dominasi Barat di benua ini sejak seabad lalu.
Rafael Correa, yang menerima gelar Ph.D bidang ekonomi dari University of Illinois, seandainya benar-benar terpilih menjadi presiden Ekuador, akan menjadi orang kesebelas di Amerika Latin selama 8 tahun terakhir yang berkampanye melawan kebijakan-kebijakan perekonomian “neoliberal” selama periode tersebut.
Semenjak beberapa tahun berselang, nyata nian terjadi perubahan haluan politik di Amerika Latin. Venezuela mengawalinya dengan penunjukan Hugo Chavez sebagai presiden sejak 1998. Belakangan Brazil, Chile, Bolivia, Argentina, Uruguay, Meksiko dan Nikaragua, mengikuti pola yang nyaris sama: terpilihnya kandidat dari kelompok kiri sebagai presiden.
Ekuador, negeri dengan problem ekonomi terbesar di Amerika Latin, pun tak luput dari kecenderungan yang sama. Kehancuran ekonominya, di mana pada periode 1980-2000 PDB-nya anjlok hingga 14 persen dan pertumbuhan ekonominya stagnan, membuat Ekuador terpaksa mengkaji ulang politik neoliberalisme yang digembar-gemborkan Amerika Serikat di kawasan ini.
Meski setelah 2000, Ekuador beroleh pencapaian baik secara regional, dengan peningkatan pendapatan per kapita hingga 8 persen dari 2000-2005, publik masih yakin bila itu semua belum cukup untuk memulihkan stabilitas ekonomi dan politik yang hancur-hancuran selama dua dasawarsa sebelumnya. Bahkan secara keseluruhan, kemiskinan masih mendera 45 persen dari populasi (pada 2001), sementara hingga sekarang, rata-rata 13,4 juta warganya hanya mampu mengais US$2.630 setiap tahunnya. Hampir 80 persen dari penduduk pribumi (kira-kira sepertiga populasi) malah masih berkubang kemiskinan.
Presiden Alfredo Palacio, yang berkuasa setelah Lucio Gutierrez diberhentikan oleh Kongres pada April 2005, dianggap tidak terlalu serius memerangi kemiskinan. Bahkan ia merencanakan perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, yang dikhawatirkan oleh para politisi sebagai langkah awal kehancuran perekonomian Ekuador. Bagi orang-orang seperti Correa, jelas bahwa neoliberalisme bukanlah obat mujarab untuk menghapuskan kemiskinan di Ekuador. Justru kebijakan pemerintah seperti penandatanganan perdagangan bebas itu memperburuk kesenjangan golongan kaya dan miskin di negara itu.
Sebaliknya, Rafael Correa memainkan perannya sebagai figur yang siap bertarung menentang cengkeraman tangan Bank Dunia dan IMF dan semua kekuatan neoliberalisme. Ia menjanjikan penghapusan utang dan pemutusan hubungan dengan negara pemberi utang. Berbeda dengan Alvaro Noboa yang memfokuskan kampanyenya pada serangan terhadap kepribadian rivalnya, Rafael Correa suntuk pada upaya penanggulangan ancaman-ancaman yang akan merusak stabilitas negara.
Di Ekuador, sejak 1990-an, Washington berhasil mendesakkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertumpu pada pengurangan batasan-batasan perdagangan internasional dan pembukaan kran-kran investasi di pelbagai bidang. Perusahaan-perusahaan publik diprivatisasi, dan kebijakan-kebijakan industrial serta perencanaan-perencanaan pembangunan lebih ditentukan oleh pasar dan bukan pemerintah. Harapannya, pemerintah bisa mengurangi pengeluaran, bank-bank sentral semakin independen dan kuat menahan inflasi. Negara lebih terbuka untuk sayap-sayap neoliberalisme yang menyerbu tanpa ampunan.
Sejak 1980-an, Amerika Serikat pun tak segan-segan mengucurkan miliaran dollar dan mendukung pembantaian puluhan ribu orang tak berdosa untuk menjaga kontrol atas negara-negara kecil yang signifikan secara ekonomi di benua ini. Presiden Bill Clinton, misalnya, mengotori tangannya di Guatemala, membantai rakyat El Salvador, merusuhi Kuba, dan merusak Nikaragua. Washington pun menanamkan pengaruhnya secara kuat melalui Bank Dunia dan IMF, seraya menawarkan program-program seperti “promosi demokrasi” atau kucuran utang—yang justru mengakibatkan krisis perekonomian secara massif di Meksiko, Argentina, Brasil, dan Ekuador.
Sekarang, era ini sudah mulai berubah. Neoliberalisme memang belum berakhir secara tuntas di Amerika Latin. IMF pun masih berpengaruh di beberapa tempat sebagai “penjaga gerbang” untuk masuk dan pinjam duit ke Bank Dunia atau negara-negara G8.
Akan tetapi, perubahan telah terjadi pelan-pelan, dan pasti, dan tak tertolak. Hasil (sementara) pemilu Ekuador menunjukkan bahwa Rafael Correa siap menjadi salah seorang pembawa obor pembaharuan di kawasan yang sama. Dan bila semua pembawa obor bergabung, Amerika Latin niscaya akan terang-benderang, seolah-olah mengalami Renaisans.

Dani Wicaksono/CEPR/Time/AP

No comments: