Monday, December 11, 2006

Sang Radikal Kembali Memimpin

Sang Radikal Kembali Memimpin

Para pemilih telah menetapkan keputusannya. Hugo Chavez, sejak 1998, kembali dinyatakan sebagai pemenang dari pemilu presidensial 3 Desember lalu. Ia mengungguli kompetitornya, Manuel Rosales, dengan perolehan suara 62,89 persen (7.161.637) berbanding 36,85 persen (4.196.329) suara.
Ada 14 kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden, yang didukung oleh 79 partai—24 partai mendukung Chavez, dan 43 membela Rosales. Tidak ada kandidat lain yang beroleh lebih dari 1 persen suara. Dengan demikian, Hugo Chavez sebagai presiden terpilih akan memimpin Venezuela untuk masa enam tahun yang kedua kalinya (dalam aturan Konstitusi 1999) mulai Februari 2007 nanti.
Ini adalah hasil yang tidak terlalu mengagetkan. Hampir seluruh publik di Venezuela, terutama, dan dunia, umumnya, yakin betul bahwa presiden yang besar mulut ini akan memimpin kembali negara yang kaya energi. Kampanyenya mengenai Revolusi Bolivarian membuat ia mampu mengkonsolidasikan segenap kekuatan ekonomi dan politik di Venezuela. Nasionalisasi industri yang ia jalankan membuatnya menjadi orang kuat yang setanding dengan siapa pun pemimpin besar di zaman ini. Terlebih lagi, Chavez memanfaatkan pemerintahannya untuk mengubah beragam aspek kehidupan rakyat Venezuela. Dan dengan Revolusi Bolivarian, ia tampak benar bermaksud menandingi dominasi imperialis Amerika Serikat.
Nama Chavez harum di sini. Ia menjadi pelopor dari keberanian Amerika Latin—satu hal yang memang diwariskan oleh orang-orang semacam Simon Bolivar—untuk menjadi antitesis dari dominasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Barangkali Chavez menang karena ini. Ada anggapan bahwa kemenangan kali ini didukung terutama oleh peningkatan pendapatan minyak selama tiga tahun terakhir. Ada juga yang memandang bahwa kejayaan politiknya ditentukan oleh propaganda untuk “meneguhkan dan meluaskan revolusi,” yang tujuannya adalah “sosialisme abad 21”.
Bisa jadi semua benar. Popularitas Chavez terdongkrak karena semua hal itu. Ia dengan cerdik telah menjadikan Amerika Serikat sebagai “common enemy”, dan mengolah isu tersebut untuk meraih simpati publik—dan ternyata berhasil: baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Karena sebab-sebab itulah, barangkali, Manuel Rosales, gubernur Zulia yang berhaluan sosial demokratik, dengan mudah dikalahkan. Dengan upaya yang kuat, Rosales berkampanye tentang reformasi konstitusional, termasuk pengurangan masa jabatan presiden hingga hanya empat tahun, dan berjanji untuk menjamin hak-hak individual dan pilihan pendidikan.
Namun Rosales terbukti belum berhasil mengelola isu-isu ini menjadi kendaraan utamanya. Dalam bidang pendidikan, di mana Chavez bermaksud mendoktrinkan Bolivarianisme ke dalam kurikulum, ia sebenarnya punya peluang untuk mengungguli sang presiden. Tetapi mungkin ia kehabisan tenaga. Begitu pun, kekalahan ini tidak mengecilkan hatinya. Ia mendapat tekanan kuat dari sayap radikal kelompok oposisi, dan dengan tegas menepiskan tuntutan untuk turun ke jalan, memprotes hasil pemilu. Ia cenderung menghormati proses demokrasi “a la Venezuela” dan mungkin menata langkah untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.
Rosales pastilah akan menghadang segala upaya Chavez untuk memberikan pembatasan yang lebih kaku terhadap perusahaan-perusahaan swasta. Chavez terkenal sebagai orang yang berkata bahwa kapitalisme adalah akar dari segala keburukan, dan menolak segala usulan yang ditawarkan Amerika Serikat, termasuk perdagangan bebas di Amerika Latin. Kalau hendak mencari dukungan, wilayah Rosales ada di sini. Bersama kelompok oposisi, dan dengan mendekat ke Washington, Rosales akan punya kesempatan untuk mengejek upaya Chavez yang berniat mengganti sistem kapitalisme dengan “sosialisme berdasarkan solidaritas dan barter”.
Tetapi Rosales harus lebih bekerja keras. Konstitusi memungkinkan Chavez mengikuti pemilu presidensial periode enam tahun berikutnya. Konstelasi politik di Amerika Latin juga mendudukkan Chavez sebagai seorang pahlawan yang sukses mendorong kemenangan kelompok-kelompok kiri di Brasil, Bolivia, Nikaragua, dan sebagainya. Dengan minyak dan kepandaian berbicaranya, Chavez memikat dan merangkul semua kepemimpinan kiri itu ke dalam “Poros Kebaikan” yang dirumuskannya bersama Fidel Castro dari Kuba.
Hingga ada suksesi yang mendadak dan signifikan, yang bisa mengubah keadaan, kelompok oposisi yang dipimpin Rosales masih akan menemui jalan terjal. Sementara Rosales menunggu momentum itu terjadi—entah secara alamiah atau karena politik “pergantian rezim” dari Amerika Serikat—politik hegemoni Chavez pasti sudah akan membentuk wajah masa depan Venezuela—Chavez bisa menjadi diktator seumur hidupnya.

Dani Wicaksono/The Economist/Venezuela Information Office(VIO)/Venezuelananalysis.com