Thursday, December 14, 2006

Ketika Hasrat Melampaui Akal Sehat

Pembunuhan Politik
Ketika Hasrat Melampaui Akal Sehat

Julius Caesar adalah seorang pemimpin politik yang ambisius di Roma, yang berniat menjadi penguasa tak terkalahkan. Namun, seorang sahabat yang sekaligus senator Roma bernama Marcus Brutus mencium kehendak Caesar yang menurutnya hanya akan memerintah sebagai tiran.

Bersama Cassius, Brutus lantas merancang sebuah plot pembunuhan terhadap Caesar. Persekongkolan itu berhasil sesuai yang dikehendaki Brutus. Caesar ditikam pisau secara beramai-ramai oleh gerombolan yang menghadangnya. Sang raja masih belum mati hingga saat Brutus sendiri menikamnya dari belakang. “Et tu, Brute?” Caesar menatap pedih. “Kamu juga, Brute?” demikian ia menyesali sahabat yang dikasihinya itu turut dalam upaya pengkhianatan.
William Shakespeare, sastrawan besar Inggris, mungkin sekadar memadukan imajinasi dan fakta tatkala ia menulis drama berjudul Julius Caesar dan mementaskannya di panggung kira-kira 1600-1601. Shakespeare mungkin sepenuh-penuhnya sadar bahwa memang begitulah kira-kira yang terjadi dalam politik. Tidak ada kawan sejati selain daripada sejatinya kepentingan. Hanya, Shakespeare jelas tak pernah tahu bahwa sejak saat itu, idenya sering “dibajak” oleh individu-individu yang merasa bahwa satu-satunya jalan keluar dari sebuah persoalan politik adalah dengan membunuh lawan mainnya.


Kita mengalami hal itu. Hingga sekarang, kematian Munir yang diracun dengan arsenikum masih diyakini menyimpan misteri, meskipun beberapa tertuduh diajukan ke pengadilan. Di Amerika Serikat, peristiwa penembakan John F. Kennedy masih menjadi bahan perdebatan di mana beberapa versi punya argumen yang sulit dipatahkan. Benak kita juga masih bertanya-tanya tentang motif sebenarnya dari pembunuhan Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel yang dulu itu. Belum lagi bila kita menyebut pembunuhan-pembunuhan “multitafsir” kontemporer terhadap Alexander Litvinenko (Rusia), Rafik Hariri dan Pierre Gemayel (Libanon), Altynbek Sarsenbaev (Kazakhistan), Jean Dominique (Haiti), Theo van Gogh (Belanda), atau Anna Politkovskaya (Chechnya).

Meskipun banyak motif yang mendasarinya, umumnya orang akan merasa bila politik menjadi sesuatu hal yang dekat dengan kematian karenanya. Padahal, Aristoteles, filsuf yang secara teoretis merumuskan arti kata “Politik”, mengatakan bahwa ada etika yang harus dipatuhi ketika manusia hendak mengatur manusia lainnya. Dalam Ethics ia tegas menulis bahwa “Tujuan dari politik adalah akhir yang terbaik, dan wilayah utama dari politik adalah untuk menciptakan suatu karakter tertentu pada masyarakat atau warganegara, dan membuat mereka menjadi baik dan siap melakukan segala sesuatu yang mulia.” Kemudian, Aristoteles menambahkan bahwa “Kemitraan politik, dengan demikian, harus dihormati demi kemuliaan tindakan, dan bukan demi keuntungan bersama.”

Dengan idealisasi yang ditawarkan Aristoteles, makhluk politik bernama manusia lantas mengidentifikasikan kekuasaan dengan kebesaran, dengan sesuatu yang mulia, yang berlandaskan etika, ketinggian moral, dan segala kebaikan. Namun, dengan kemampuan retorika yang dimilikinya, para politikus kemudian habis-habisan menepis adanya keburukan (menolak menyebut yang buruk sebagai buruk). Para politikus yang “menyimpang” seperti Brutus malah mengabaikan berapa pun jumlah tumbal manusia yang bisa timbul karena kebingungan menafsirkan konsep itu (dibuktikan dengan timbulnya perang saudara akibat pembunuhan Caesar, hingga menciptakan apa yang kita kenal sebagai Triumvirat Pertama yang memerintah Roma).

Kenyataan duniawi kemudian mengukuhkan adanya kekerasan dalam politik. The Politics of Collective Violence (2003) yang ditulis oleh Charles Tilly juga memberi penegasan betapa, di dalam medan politik, kekerasan politik bisa dilakukan oleh individual atau kelompok atau negara, juga bisa mengenai ketiganya sekaligus. Istilahnya pun bisa bermacam-macam, dengan contoh yang bervariasi pula. Hitler melakukan genosida, Fidel Castro melancarkan revolusi dan menggulingkan diktator Batista, Rwanda mengalami perang saudara antara etnis Hutu dan Tutsi, Stalin “menyingkirkan” Leon Trotsky, sementara Gandhi ditembak oleh seorang maniak.
Kekuasaan dan hasrat menjadi ruh yang menggerakkan kegilaan kolektif semacam itu.

Justifikasi akan adanya kepentingan yang lebih besar, yang tidak boleh diganggu gugat bisa juga menjadi alasan mengapa terjadi kekerasan—hingga yang paling ekstrem, yaitu pembunuhan—dalam politik. Para pelaku umumnya memakai alasan terakhir ini sebagai perisai untuk menutupi degradasi nilai atau ketakutan yang dimilikinya. Nyawa manusia kemudian hanya menjadi atribut fisik, betapa pun arbitrernya—sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh Stalin: “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian ribuan orang adalah statistika.”

Apa yang dimaksud oleh Aristoteles sebagai “akhir yang terbaik demi kemanusiaan” dikalahkan oleh bhinneka hasrat yang menyala, yang membakar habis segala norma dan nilai dalam politik. Akal sehat lantas menjadi satu artefak yang tertinggal di lipatan kitab-kitab Socrates dan Plato, hingga Rene Descartes dan Immanuel Kant.

Dani Wicaksono/AP/The Economist/Journal of Political and Military Sociology