Thursday, December 14, 2006

Pembunuhan Politik dan Anasir Totalitarianisme

Pembunuhan Politik dan Anasir Totalitarianisme

“Kami adalah negara,” teriak Mussolini suatu ketika, “yang mengontrol segala kekuatan aktif di dalam alam. Kami mengontrol kekuatan politik, kami mengontrol kekuatan moral, dan kami mengontrol kekuatan ekonomi.
Maklumat Mussolini tersebut, dalam filsafat politik, memiliki makna yang setingkat lebih tinggi daripada ucapan Louis XIV: L’etat Est moi (Negara adalah saya). Louis XIV secara eksplisit menyebutkan kekuatan tirani absolut, mengingat negara hanya dikendalikan oleh satu orang yang merasa mendapat kekuatan ilahiah, sementara Mussolini terang-terangan menegaskan kekuatan negara yang totaliter, sebab negara mengontrol setiap aspek kehidupan dari masyarakat, dan tidak memberi tempat bagi oposisi atau perbedaan.

Kita tidak hendak mengulas pernyataan Louis XIV secara khusus, tetapi bermaksud mengedepankan anasir-anasir yang mengindikasikan terjadinya proses totalitarianisme, yang anehnya masih juga terjadi di zaman posmodern. Pembunuhan Theo van Gogh, seorang pemimpin Islam di Amsterdam, pada 2 November 2006 menjadi satu bukti betapa kekuasaan (bisa berupa negara, kelompok, atau individual) masih berupaya “menghilangkan” orang-orang yang tidak disukainya, atau yang memotong semua kepentingannya.

Di Libanon, penghilangan nyawa Rafik Hariri (14 Februari 2006) dan Pierre Gemayel (21 November 206) sangat bernuansa politis, di mana kepentingan Suriah dan Hizbullah berbenturan dengan langkah dan haluan politik yang diambil oleh keduanya. Pembunuhan Alexander Litvinenko dengan racun Polonium-210 baru-baru ini, yang konon melibatkan jajaran tertinggi pemerintahan Rusia, mencuat menjadi kasus internasional ketika sang mata-mata itu diduga hendak mengungkapkan adanya darah di tangan sang presiden.


Sesuatu yang sudah lama hilang tampak hadir kembali seiring dengan kasus-kasus pembunuhan politik seperti itu: totalitarianisme warisan Hitler, dan Stalin, dan Mussolini. Dalam contoh kasus pembunuhan politik seperti tersebut di atas, konsep tentang kebenaran objektif dibekukan, dan setiap aspek dari kemanusiaan ditiadakan. Demi kepentingan negara, segala yang berkaitan dengan perbedaan, dan kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat dibatasi, sementara manipulasi fakta menjadi keniscayaan yang tak terbendung. Demi negara pula, manusia tidak eksis secara individual, melainkan kolektif. Di atas semua itu, konsepsi kebebasan adalah omong-kosong sebab pikiran dan pemikiran warganegara secara absolut menjadi milik negara.

Pada zaman di mana demokrasi dipacak sebagai sebuah sistem politik dan ideologi yang nyaris sempurna dalam ketatanegaraan, faham totalitarianisme yang sophisticated, yang mengharu-biru abad 20 itu sudah ditinggalkan seiring dengan bunuh diri Hitler dan matinya Stalin dan Mussolini. Namun, anasir-anasirnya melintasi ruang dan waktu, dan menjadi hantu yang membayang di setiap ruang kekuasaan. Kita bisa menyebut tindak terororisme sebagai salah satu contoh yang paling terlihat.

Individual adalah makhluk yang bisa didoktrin untuk loyal terhadap negara atau kelompok, dan bisa diminta mengorbankan kepentingannya, bahkan nyawanya, untuk kepentingan negara atau kelompok. Kepatuhan buta terhadap negara atau kelompok, dengan demikian, menjadi legitimasi betapa setiap jenis oposisi atas prinsip ini dianggap sebagai pengkhianatan. Pada prinsipnya, tidak ada nilai moral, spiritual, atau kemanusiaan yang eksis di luar garis kepentingan negara. Sebab, seturut Thomas Hobbes, negara membangun masyarakatnya melalui kekuatan memerintah (ditentukan oleh sistem hukum), serta melalui kemampuan penguasa dalam meneguhkan hukum dengan menciptakan rasa takut.

Tidak ada yang salah dengan konsep itu. Akan tetapi bila hukum dan kekuasaan yang tadinya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, atau kelompok, atau negara, lantas diselewengkan oleh pribadi, kelompok, atau bahkan negara, maka tidak akan ada yang tinggal selain daripada represi oleh pihak yang berkuasa dan berkepentingan dalam wajah yang bermacam-macam.

Kita memang sering dibingungkan dengan macam-macam wajah dari setiap kekerasan politik yang terjadi di dunia ini. Namun kita harus senantiasa hati-hati bahwa varian dan anasir totalitarianisme selalu ada dalam setiap proses itu.

Dani Wicaksono