Monday, December 11, 2006

Kini, Ibu Hendak Menyusui Anaknya

Laporan Kelompok Studi Irak
Kini, Ibu Hendak Menyusui Anaknya

Sejak 20 Maret 2003, Amerika Serikat di bawah komando Presiden George W. Bush menginvasi Irak. Sembilan bulan kemudian, 13 Desember 2003, Saddam Hussein tertangkap dalam keadaan seperti tikus tengah sembunyi di selokan.
Namun, bukan berarti perang berhenti. Milisi-milisi bersenjata dari pelbagai golongan mengangkat senjata, dan saling bunuh tak pandang bulu. Dengan banyak motif, mereka menjadikan setiap jengkal tanah di Irak sebagai medan perang. Di mata mereka, barangkali, bukan kaum berarti lawan. Kelompok Sunni bertempur melawan Syiah. Etnis Kurdi bertempur melawan keduanya. Sunni, Syiah, dan Kurdi, menghancurkan segala sesuatu yang berbau Amerika Serikat atau orang asing. Kacau-balau semuanya.
Seperti kata Koffi Annan, suatu ketika, “Kejadian di Irak lebih buruk daripada perang saudara.” Kalau mau lebih mendesak Annan, mungkin saja ia bermaksud bilang bahwa Irak adalah neraka. Di mana-mana adalah api dan ledakan bom. Di mana-mana adalah maut dan erang orang sekarat. Tiada hari di Irak tanpa pembantaian atau pengeboman. Negeri Seribu Satu Malam ini secara konkret berubah menjadi Negeri Seribu Satu Kematian. Sebab segala model kematian tumpah-ruah di tempat ini.
Semenjak penyerbuan ke Irak, tercatat ada 3.172 peti mati dikirim balik oleh tentara multinasional pimpinan Gedung Putih. Paling tidak, Bush sendiri terpaksa mengucapkan bela sungkawa untuk sekitar 2.926 tentara AS yang mati sia-sia. Selebihnya, Pentagon mengakui bahwa sekitar 22.057 anggota pasukan AS mengalami luka atau cacat pascaperang. Kongres sendiri dengan masygul terpaksa mengizinkan pemakaian dana miliaran dollar untuk menutup pembiayaan banyak hal di Irak. Program rekonstruksi yang direncanakan oleh George W Bush dan kawan-kawannya juga tiba-tiba membentur benteng tebal yang tak tertembus. Semua rencana gagal dilaksanakan.
Washington beranggapan, pembentukan pemerintahan transisi di Irak adalah solusi yang mampu menyelesaikan semua persoalan—seraya tetap mengirim pasukan bantuan/pengganti sebanyak mungkin. Hanya, kita bisa lihat bahwa Pemerintahan Koalisi di Irak yang dipimpin oleh Presiden Jalal Talabani (Kurdi) dan Perdana Menteri Nuri al-Maliki (Syiah) lebih terlihat sebagai “patung” daripada pengelola segala unsur ketatanegaraan.
Untunglah anggota Kongres, Frank Wolf, seorang Republikan dari Virginia berkunjung ke Irak selama 3 kali. Dalam kunjungan terakhirnya, September 2005, ia seperti memperoleh pencerahan. Wolf sadar bahwa AS seharusnya bertindak laksana ibu yang menyusui anaknya. Dengan logika sederhana, tidak ada seorang ibu menyusui anaknya sembari membawa senapan mesin M-16 atau bom C-7, hanya untuk menakut-nakuti apabila si bayi rewel. Dengan logika sederhana lagi, ibu tetap harus menyusui anaknya, setelah membuang semua senjata mematikan itu.
Hanya, karena persoalan di Irak tidak demikian sederhana, AS butuh “mata yang jernih” untuk menengahi semuanya—seperti Kennedy butuh penasihat untuk menarik rudal nuklir AS dari Teluk Babi semasa Krisis Misil Kuba, agar tidak kehilangan muka. Maka dibentuklah sebuah komisi yang terdiri dari figur-figur terkemuka dan terpercaya untuk memberi masukan yang sifatnya rekomendatif, yang bisa memuaskan semua kepentingan yang terlibat di Irak. Kelompok Studi Irak, beranggotakan 10 orang, akhirnya menjadi wadah resmi yang bertanggung jawab untuk “membersihkan darah” di tangan Paman Sam sejak dibentuk Maret 2006.
Dipimpin oleh mantan Menteri Luar Negeri James Baker III (Partai Republik) dan mantan anggota Kongres dari Indiana Lee Hamilton (Partai Demokrat) kelompok bipartisan ini dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan kedigdayaan Amerika Serikat. Empat puluh ahli dari segala bidang seperti ilmu perang, Timur Tengah, rekonstruksi, militansi Islam, dan sebagainya, ditanyai dan dimintai opsi untuk membuat “peluru ajaib” yang konstruktif untuk Irak. Kelompok ini juga mewawancarai Presiden Bush, mantan Presiden Bill Clinton, serta berdiskusi dengan pihak-pihak pemilik kepentingan seperti Kofi Annan (masih sebagai Sekjen PBB), Menteri Luar Negeri Suriah Walid Moallem, serta Duta Besar Iran untuk PBB Javad Zarif.
Dan pada 6 Desember 2006, Kelompok Studi Irak mengeluarkan laporannya, yang dikomentari oleh Bush: “Kami akan sangat mempertimbangkan setiap rekomendasi.” Kelompok bipartisan tersebut mengawali uraiannya dengan pemaparan situasi terkini di Irak, dan mendukung pemikiran Bush bahwa Irak sebenarnya bisa memerintah dan mengupayakan kestabilan politik dan keamanannya sendiri, meskipun perlu waktu. Penarikan 150.000 pasukan secara bertahap (hingga 2008) merupakan usulan yang masuk akal. Pola pendekatan terhadap Irak juga harus diubah, dengan melibatkan seluruh tetangga Irak dan anggota tetap PBB. Sementara semua usulan itu dilakukan, pemerintah AS tetap harus membantu dan mendukung pemerintah Irak (secara politik, militer, dan finansial).
Presiden Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair seolah bersorak kegirangan. Dua sejoli ini selalu mengelak bila ada orang bilang bahwa AS dan Inggris kalah di Irak, dan sebaiknya menarik pasukan, seperti pada Perang Vietnam dulu. Keduanya sepakat tidak mau mempermalukan diri sendiri andai menerima kenyataan itu. Dengan 79 rekomendasi dari kelompok Baker-Hamilton, mereka seperti mendapat kesempatan untuk bersikap “rendah hati”, dan menerima usulan pihak lain—meski intinya adalah pergi dari Irak.
“Rakyat Amerika berharap kita menerapkan strategi baru ini,” kata Bush dalam konferensi pers di Washington pada 7 Desember. “Visi itu benar-benar tepat,” ucap Blair pada saat yang sama. Yang pasti, bayi Irak tengah menunggu sang ibu menyusuinya. Tentu saja dengan “kelembutan”, dan bukan dengan senjata.

Dani Wicaksono/The Washington Post/CBS/AP/The Christian Science Monitor