Monday, December 4, 2006

Belajar dari Amerika Selatan

Belajar dari Amerika Selatan

Pada 30 November 2006, kita menjadi saksi dari puncak Konferensi Tingkat Tinggi Afrika-Amerika Selatan. Pertemuan itu sendiri secara teknis dan dalam sesi kementerian sebenarnya telah dimulai sejak empat hari sebelumnya, di Abuja, ibu kota Nigeria.
Ini adalah pertemuan pertama kalinya sepanjang sejarah dari dua benua yang ditalikan oleh benang merah sejarah, dan yang paling ditunggu-tunggu manakala tantangan untuk kerjasama global dalam sejumlah isu benar-benar dibutuhkan. Tidak hanya diharapkan mampu mengadopsi rencana-rencana aksi atas isu-isu strategis demi kepentingan bersama, seperti perdagangan dan energi, momentum ini juga membahas situasi internasional yang tengah berlangsung.
Paling tidak, kedua benua menyadari keberadaan dan fungsi pentingnya di pentas global, juga mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang dicapai sejumlah negara di kawasan itu. Negara-negara Amerika Selatan selama dekade terakhir dan sebelumnya telah mempraktikkan sejumlah model pembangunan ekonomi yang pada prinsipnya berupa kebijakan reformasi ekonomi arahan trio Amerika Serikat, Bank Dunia, dan IMF (atau dikenal sebagai Konsensus Washington).
Di samping kesuksesan cukup signifikan dari beberapa negara yang menjalankan reformasi ekonomi neoliberal, kesenjangan sosial dan marjinalisasi ekonomi yang dirasakan oleh mayoritas penduduk benua ini masih tampak sangat jelas, terutama dalam proses suksesi kepemimpinannya. Hampir sepanjang 1980-an dan awal 1990-an, kawasan ini mengalami tak terhitung protes-protes sosial yang sebagian malah berpuncak pada konflik bersenjata. Demokrasi tanpa penguatan ekonomi masih saja menjadi tradisi dari mayoritas negara Amerika Selatan.
Dari negara terluas di benua ini (Brasil dan Argentina), hingga ke negara menengah (Venezuela, Chile) dan negara kecil (Bolivia, Ekuador), kita akan mendapati kisah reformasi ekonomi neolib yang umumnya setali tiga uang: kesenjangan sosial dan munculnya konflik politik. Bahkan kita punya kosakata “Revolusi Pisang” untuk menyebut akselerasi dan tradisi perubahan di Amerika Selatan, karena saking seringnya, dan saking cepatnya, dan tak berumur panjang. Efeknya, di samping terhentinya sebuah proses pembangunan, kredibilitas pemerintahan di kawasan ini pun banyak diragukan oleh investor. Argentina dan Brasil malah pernah mengalami krisis luar biasa di mana utang luar negeri sudah tak terbayarkan, dan modal asing beterbangan dalam jumlah besar: lari karena nilai mata uang (peso) terjun bebas.
Pada 1998, pemilihan Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela memberi pengaruh besar akan terjadinya perubahan di daratan Amerika Selatan. Dan ini bukan hanya menyebarnya pencarian model perekonomian alternatif dan arah politik yang cocok diterapkan di suatu negara. Satu demi satu, dari Brasil hingga Argentina, mulai Bolivia sampai Chile, partai-partai dari kelompok kiri menguasai kantor kepresidenan melalui pemilu-pemilu demokratis. Dengan perlahan atau lantang, negara-negara tersebut mulai berani bersuara miring terhadap, bahkan sampai menyingkirkan, model perekonomian neolib yang didesakkan Konsensus Washington beserta paket institusi kebijakan sosial dan perekonomiannya.
Sadar bila model neolib hanya menciptakan marjinalisasi sosio-ekonomi dari mayoritas rakyat, pemerintahan-pemerintahan generasi baru (sejak Chavez) mulai memadukan kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas fiskal dan makro, dengan kebijakan-kebijakan sosial yang difokuskan pada isu-isu kemiskinan, pengangguran, dan kesehatan. Hasilnya, kita mendengar adanya harmoni—sebuah orkestrasi yang dimainkan oleh nyaris seluruh kawasan—tentang stabilitas dan keteraturan (juga kewibawaan) politik, kesetaraan sosial dan ekonomi, serta kebangkitan umat manusia. Sayup-sayup atau membahana, orkestrasi itu rancak dan merdu. Konduktornya, mungkin, adalah semangat yang sama untuk kemerdekaan manusia secara utuh.
Ini adalah pelajaran berharga bagi Afrika. Juga bagi dunia. Amerika Selatan bangkit melalui pemilu yang benar-benar demokratis, melalui pemilihan pemimpin (bukan pemimpi), dan melalui penciptaan pemerintahan yang bersih dan baik, dengan model perekonomian alternatif (asal bukan neolib) sebagai kendaraannya.
Pastilah ini bukan pemandangan satu sisi. Afrika tentu punya nilai-nilai adiluhungnya sendiri, yang bisa pula dijadikan suri tauladan. Keikhlasan untuk berbagi—saling memberi dan saling menerima—dengan demikian hanyalah mekanisme yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan forum, atau konferensi, atau apa pun namanya. Intinya adalah persatuan gerak.

Dani Wicaksono/Daily Trust/AP/AFP

No comments: