Sunday, December 3, 2006

Menyurat Masa Silam, Menggurat Masa Depan

KTT Afrika-Amerika Selatan
Menyurat Masa Silam, Menggurat Masa Depan

“Afrika dan Amerika Selatan adalah dua kawasan dengan kemungkinan luar biasa dan kekayaan tiada terkata, baik dalam hal sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Populasi gabungan dari semuanya mencapai lebih dari 1,2 miliar orang, dan tanah pertanian yang mahaluas beserta melimpahnya sumber-sumber mineral yang dikandung oleh dua kawasan bisa menempatkan kita di posisi teratas dalam hubungan multilateral, tanggung jawab, dan kesempatan-kesempatan global.
Tujuan kita berada di sini, dengan demikian, seharusnya memberikan kekuatan lebih besar dan ekspresi praktis lebih beragam demi idealnya Kerjasama Selatan-Selatan yang telah lama menyita perhatian dua kawasan kita. … Adalah kebutuhan bagi kita, sebagai negara-negara yang berkembang, untuk tetap menjaga kemandirian dan gotong-royong, dan menghapus kesenjangan ekonomi dan finansial antara negara kaya dan negara miskin di seluruh dunia.”
Pidato itu disampaikan oleh Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo di Abuja, 30 November 2006. Sebagaimana disinggung oleh Obasanjo, di ibu kota Nigeria itu telah terjadi perhelatan akbar di mana nyaris seluruh perwakilan Afrika dan Amerika Selatan berkumpul untuk pertama kalinya, untuk membicarakan kerjasama dan aliansi strategis yang berkelanjutan.
Momentum ini seharusnya bukan merupakan sesuatu hal yang mengherankan. Kalau pun bisa dianggap mengherankan, itu lebih karena pertanyaan mengapa pertemuan keduanya baru terjadi sekarang ini, di abad yang berpacu ini. Kedua kontinen berbagi sejarah kolonialisasi dan eksploitasi yang sama. Selama beberapa dekade, kedua kontinen menjadi “subaltern” yang harus “disuarakan” agar bisa didengar hingga ke pojok-pojok dunia.
Afrika disebut sebagai “the Dark Continent” ketika kekuatan kolonial Eropa (Portugis) mendarat di tanah ini pada abad ke-15. Afrika memiliki peradaban-peradaban eksotis yang lantas dianggap tak beradab oleh para pendatang baru. Kulit yang mengkilat seperti arang basah dijadikan legitimasi bahwa mereka adalah “manusia sekondan” yang derajatnya sedikit saja lebih tinggi (atau malah lebih rendah) daripada binatang, dan hanya pantas dijadikan budak. Berturut-turut, Pantai Budak, Pantai Emas, dan Pantai Gading menjadi sumber daya manusia yang bisa diperdagangkan. Berturut-turut pula kapal-kapal penjelajah berbendera Portugis, Belanda, dan Inggris berlabuh untuk “menghabisi” tanah dan manusia Afrika.
Pada saat yang sama (abad 15), dua kekuatan besar maritim Eropa, yakni Portugal dan Spanyol, berebut daratan baru yang diketemukan di barat. Keduanya akhirnya sepakat untuk membelah tanah itu: semua tanah di barat garis Traktat Tordesilhas, yang sekarang dikenal sebagai Amerika Selatan, menjadi milik Spanyol, dan seluruh tanah di timur garis imajiner itu menjadi wilayah kekuasaan Portugal. Namun, sejak 1530-an manusia dan sumber daya alam Amerika Selatan berturut-turut diperas habis oleh Spanyol dan kemudian Portugal. Dua bangsa kolonial ini bersaing dan mengukuhi tanah dan seisinya sebagai milik mereka, dan mulai membaginya dalam koloni-koloni. Kebutuhan akan tenaga kerja lantas semakin memperjelas ikatan historis keduanya: budak-budak Afrika diangkut untuk dipekerjakan di Brasil, misalnya.
Enam abad setelahnya, dua kontinen yang berbagi suka dan duka yang sama ini berjalan sendiri-sendiri. Bergolak dan bergolak untuk merdeka. Keduanya sama-sama menghasilkan pahlawan terhebatnya masing-masing (Nelson Mandela, Simon Bolivar, misalnya), dan berjalan sendiri-sendiri untuk menghadapi kekuatan baru dari Barat: neoliberalisme dan neoimperialisme.
Enam abad setelahnya, sekitar 900 orang delegasi dari 53 negara Afrika (total negara Afrika adalah 54) dan 12 negara Amerika Selatan (seluruhnya) lantas memutuskan untuk berkumpul di Abuja, Nigeria. Merasa dipersatukan oleh masa yang silam dan yang menjelang, para pemimpin dua benua ini menyatu dan menciptakan peristiwa “pertemuan dua hari” yang paling besar sedunia sepanjang sejarah.
Mereka membicarakan pelbagai jenis kerjasama, mulai dari bidang energi, perbankan, demokrasi, reduksi kemiskinan, pendidikan, penyakit, konflik antarnegara, hingga krisis politik di dalam negeri. Lula da Silva, Presiden Brasil, menyerukan persatuan untuk memerangi hambatan-hambatan perdagangan di negara-negara berkembang. Moamar Qadaffi, pemimpin Libya, mencerca negara-negara kaya yang selalu menindas negara-negara miskin. Evo Morales, Presiden Bolivia, menuntut adanya persamaan hak bagi para pribumi yang sering dizalimi.
Namun itu keinginan tersebut bisa dipandang superfisial. Kita bisa lebih jauh melihat pertemuan yang rencananya dilangsungkan dua tahunan ini sebagai sebuah komitmen sangat teguh untuk menciptakan dan merawat sebuah ikatan adidaya di antara dua benua.
Seturut kata-kata Presiden Obasanjo, “Kita akan membangun jembatan permanen untuk saling memahami, bekerjasama, pertahanan dan keamanan, serta berbagi pengalaman dan kesejahteraan.”

Dani Wicaksono/AP/AFP/Panapress

No comments: