Saturday, November 18, 2006

Komunitas yang Merayakan Kemurnian

Komunitas yang Merayakan Kemurnian

Sejak dituduh bida’ah oleh Gereja Protestan Swiss pimpinan Ulrich Zwingli pada masa setelah Refosmasi abad 16, kelompok Anababtis dan variannya terpaksa lari dan sembunyi ke mana-mana. Jacob Amman Jr., pemimpin komunitas Amish pada 1730-an, membawa umatnya ke Pennsyvania demi bertahan hidup.
Di tempat baru itu, mereka menunaikan dan merawat tradisi lama, hingga sekarang. Mereka juga mempertahankan konsep purifikasi yang diusung gerakan Protestantisme (Martin Luther, John Calvin, dan Ulrich Zwingli), yang pada prinsipnya adalah memurnikan ajaran Yesus. Kelompok Amish sendiri menganut ajaran yang meniru Yesus secara harfiah—dalam perbuatan dan perkataan.
Dari mulai bahasa, komunitas Amish menjaga betul pemakaian bahasa Pennsylvania Dutch—sejenis dialek yang berakar dari bahasa Jerman. Bahkan, untuk mendirikan misa atau pertemuan doa, para pendeta mereka masih mempergunakan bahasa Jerman tinggi, seperti Kromo Inggil untuk terminologi Jawa.
Pakaian mereka pun terbuat dari bahan sederhana dan tebal, dengan warna-warna dasar atau alamiah seperti biru. Banyak perempuan yang mengenakan celemek dan penutup kepala warna hitam. Para lelakinya biasanya mengenakan celana dan baju warna hitam, dan selalu pakai topi. Meskipun pada perkembangannya selanjutnya ada toleransi dalam batas tertentu untuk soal penggunaan peralatan modern, kelompok-kelompok Amish tertentu (seperti Amish Ordo Lama) tetap melarang pemasangan teknologi dan elektronika di dalam kediamannya yang sederhana. Bahkan, listrik pun jarang dijumpai di kebanyakan varian kelompok Amish.
Sebagian besar pasangan Amish tidak memanfaatkan segenap cara pengendalian kelahiran seperti alat kontrasepsi, dan tidak mengirim anak-anaknya masuk bangku sekolah hingga umur 14. Di kebanyakan komunitas, kelompok-kelompok Amish malah membangun sekolahnya sendiri, dengan sistem pendidikannya sendiri—meskipun itu berarti sekolah dengan satu ruang kelas, dengan pengajar dari golongan mereka. Dan untuk menjaga keberlangsungan usia komunitas (yang terpelihara sejak kira-kira empat abad silam), komunitas Amish sangat membatasi hubungan kekerabatan terhadap pihak luar dan mengusahakan pernikahan sekaum. Pernikahan seorang anggota komunitas Amish dengan orang lain sangat dilarang, dan komunitas siap melepaskan keanggotaan pelaku apabila peraturan itu benar-benar dilanggar, dan dampaknya merugikan komunitas.
Tak pelak, eksklusivitas dan kebijakan “tirai bambu” komunitas Amish membuat masyarakat umum seringkali menganggap mereka aneh atau inferior terhadap gaya dan kebudayaan mayoritas. Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Martin van Bruinessen, seorang Indonesianis asal Belanda, gejala seperti ini hanya terjadi ketika gesekan relasi kekuasaan membuat mereka terpaksa tinggal dalam lingkungan khusus, menyendiri, dan tertutup.
Bisa jadi kelompok Amish adalah mereka yang merasa terisolir dari induknya (dalam hal ini Gereja Protestan Swiss) dan dilanda keraguan akan sebuah ajaran iman yang “seharusnya” dijalankan. Mereka tidak dipercaya dan, sebaliknya, tidak percaya juga dengan segala di luar kelompoknya. Faktanya, mereka bahkan pernah terusir dari komunitas besarnya, dan harus mengasingkan diri untuk mempertahankan kehidupan dan ajaran. Mereka lantas membentuk komunitas tersendiri, yang cukup intim, menyelenggarakan kontrol sosial yang cukup ketat, sekaligus menciptakan sistem perlindungan yang senantiasa dipatuhi.
Pada masyarakat modern yang berciri inklusif, kelompok-kelompok intervensionis, yang dipaparkan oleh sosiolog dari Inggris Bryan Wilson, cenderung berkonsentrasi kepada perbaikan moral kolektif di internal kaumnya. Ini semacam purifikasi kolektif. Tak peduli apa pun alasan dan konteksnya, mereka mencari kesucian dan kemurnian diri dan ajaran. Meskipun itu meniscayakan pengabaian segala situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat. Meskipun itu berarti harus dihinakan dan disia-siakan.
Kelompok Amish mengambil tempat di sini. Mereka melarang pemakaian listrik karena ada kekhawatiran bila kabel-kabel tembaga itu menjadi sarana penodaan atas ajaran tradisional mereka. Mereka tidak mau jika ajaran yang menurut mereka adalah murni harus terkontaminasi oleh hal-hal asing dan merusak dari dunia luar. Pola pikir ini sederhana saja, sebenarnya. Tidak semua unsur dunia luar itu buruk, tetapi tidak semuanya juga baik.
Dan kalau semuanya tidak tentu baik, lebih bagus melestarikan semua yang sudah pasti baik. Dan karena mereka cinta damai, barangkali kelompok Amish cuma perlu berkilah: ampunilah kami yang tidak melakukan apa yang Anda lakukan, sebagaimana kami mengampuni kalian yang tidak melakukan apa yang kami lakukan.

Dani Wicaksono/The Encyclopedia of American Religions/Time/BBC

No comments: