Sunday, November 19, 2006

Aung San Suu Kyi: Kepentingan Negara yang Pertama

Aung San Suu Kyi: Kepentingan Negara yang Pertama

Ellen Nakashima, jurnalis dari Washington Post, melukiskan peristiwa Jumat Kelabu dengan sangat dramatis. Ketika itu, 30 Mei 2003, seorang pemuda berteriak: “Bibi, lari! Lari!”
Pemuda itu menjerit demi keselamatan seorang perempuan separuh baya, yang memimpin demonstrasi damai untuk menegakkan demokrasi di Burma, bangsa yang diperintah junta militer, yang mengganti nama negara dengan Myanmar. Pemuda itu, juga ribuan massa yang resah, pantas khawatir sebab ratusan tentara yang mengendarai sepeda motor merangsek dan mencerai-beraikan kerumunan.
Kurang lebih 100 orang terbunuh, dan banyak lagi yang luka-luka, atau ditahan, atau hilang. Aung San Suu Kyi, pemimpin demonstrasi damai, ketua partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang akrab dipanggil “Bibi” mengabaikan seruan banyak orang. “Ia tak mau lari,” kata Wunna Maung, pengawal Suu Kyi yang berusia 26 tahun. Meski sopirnya kemudian menginjak pedal gas dan berusaha menancapkan mobilnya, keluar dari medan kerusuhan, toh Suu Kyi tertangkap pula.
Selama hampir empat bulan, ia ditahan di tempat rahasia, dan tidak diperbolehkan menghubungi atau dihubungi orang luar. Pada 26 September 2003, ia dikeluarkan dari penjara, hanya untuk menjalani tahanan rumah—yang kesekian kalinya, selama 17 tahun lebih—hingga sekarang.
Barangkali Suu Kyi sengaja tak mau lari. Perempuan anggun pengikut ajaran Gandhi itu punya alasan kuat untuk diam dan ditahan, seperti yang sudah-sudah. Media massa akan sangat berminat menuliskan berita penahanan dirinya, dan dengan itulah ia berharap bila dunia internasional akan ingat bahwa demokrasi masih belum mau mendekati Burma.
Barangkali pula Suu Kyi tahu bahwa ia adalah salah seorang yang mampu membuat perubahan di Burma. Ia adalah putri Aung San, seorang jenderal yang memimpin perjuangan kemerdekaan Burma atas Inggris pada 1940-an, seorang bapak bangsa legendaris yang harum namanya. Pembawaan Suu Kyi yang tangkas, gaya bicaranya yang lugas, serta matanya yang bersinar membuat ia benar-benar menjadi replika dari sang ayah.
Takdir yang serupa semakin menegaskan kemiripan ayah-anak. Semasa berusia 43, ia mendirikan partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang juga membawahi dua kawan seperjuangan sang ayah. Dari situ Suu Kyi memulai perjuangannya untuk menegakkan demokrasi, membebaskan rakyatnya dari penjajahan bangsanya sendiri. “Saya selalu berpikir bahwa saya mungkin akan sendirian dalam perjuangan ini. Tetapi kemudian saya tahu kalau Anda semua mendukung,” katanya kepada massa, pada suatu saat.
Ketika rezim militer melancarkan kudeta dan mendirikan pemerintahan junta yang represif pada 1960-an, Suu Kyi bekerja sebagai seorang staf bidang keuangan di PBB, New York, pada 1969, setelah ia lulus dari Kolese St. Hugh di Oxford. Kala itu Suu Kyi tidak terpikir untuk terjun ke dunia politik. Ia lebih suka mendalami kesusastraan, dan tergerak untuk menuliskan biografi ayahnya. Namun, ketika 31 Maret 1988 ia mendapat telepon dari Rangoon yang mengabarkan bahwa ibunya, Daw Khin Kyi, sedang sakit didera stroke, ia tahu jalan hidupnya akan berubah. Kepada suaminya, Michael Aris, Suu Kyi bilang: “Saya punya firasat kalau hidup kita akan berubah selamanya.”
Benar, hidupnya berubah. Suu Kyi ternyata tidak hanya menjumpai ibunya yang sakit, juga rakyatnya yang resah, rusuh, marah, sekaligus ketakutan. Pemerintahan junta semakin menggila, dan para pelajar tak lagi duduk di bangku sekolah—sebab turun ke jalan sudah menjadi tuntutan keseharian.
Pada pukul 8:08 malam, 8 Agustus 1988—terkenal sebagai “Empat Delapan” atau 8/8/88—demonstrasi nasional aktivis pro-demokrasi dilangsungkan. Ratusan ribu pelajar, buruh, dan pemuka agama Buddha tumpah ruah di jalanan untuk menuntut perubahan. Suu Kyi memimpin semuanya. Pada 26 Agustus tahun itu, di Pagoda Shwedagon yang berlapis emas, Suu Kyi berdiri di panggung dan menyampaikan pidato pertamanya di muka umum.
“Yang terhormat para biksu dan rakyat! Demonstrasi ini ditujukan untuk memberi tahu dunia apa yang kita inginkan. Kita, seluruh rakyat Burma, menginginkan adanya sebuah sistem pemerintahan multipartai,” teriaknya dengan lantang. Tak lupa, ia juga menyerukan sebuah “perjuangan kemerdekaan nasional kedua”.
Ratusan ribu massa bersorak gegap-gempita. Dan Presiden Sein Lwin semakin gerah. Selalu, dan selalu, dan diikuti oleh pemerintahan selanjutnya, Presiden memerintahkan tentara untuk menembak. Suu Kyi selalu siap mati. Dalam rapat internal partai, ia bahkan bilang kepada kawannya, Nyo Ohn Myint: “Kalau saya terbunuh, kalian harus memanfaatkannya sebagai peluang untuk memenangkan demokrasi dan kebebasan di negara ini.”
Agaknya suatu pilihan telah ditetapkan: “Pertama-tama, urusan negara dulu…,” katanya kepada NBC pada 2000. Dan ini bukan pilihan mudah. Suu Kyi bahkan tidak bisa menjenguk suaminya yang terkena kanker prostat, hingga Michael meninggal pada 27 Maret 1999.
Ia diganjar Nobel Perdamaian 1991 karena perjuangannya. Perjuangan melawan totalitarianisme yang menakutkan, juga perjuangan melawan ketakutan itu sendiri. Dan entah sampai kapan, rakyat percaya bahwa ia masih akan terus berjuang.

Dani Wicaksono/Washington Post/Burma Digest/Nobleprize.org