Sunday, November 19, 2006

Agaknya AS akan Melawan Separuh Amerika Latin

Kemenangan Daniel Ortega di Nikaragua
Agaknya AS akan Melawan Separuh Amerika Latin

Pada 3 November 2006, ketika Daniel Ortega naik ke panggung dalam sebuah seremonial politik menjelang pemilu, seorang nenek yang mengaku pernah membuatkan tortilla (kue jagung) untuk pasukan Sandinista menjerit girang seperti anak kecil. “Danielku,” serunya tak bisa menahan luapan perasaan. Tangannya menegang di dada, dan ia nyaris melonjak-lonjak.
‘Daniel-nya’ tersenyum sekilas, mengingatkan orang Nikaragua pada momentum kemenangan gerilyawan Sandinista National Liberation Front (lantas menjadi partai politik, FSLN) pasca-terjungkalnya diktator Somoza, 19 Juli 1979. Dua hari setelah peristiwa di panggung itu, nenek yang dicatat oleh The Christian Science Monitor itu mungkin akan kembali berbahagia: Ortega terpilih sebagai Presiden Nikaragua.
Ia meraih 38 persen suara, dan langsung memenangi pemilu—sebab aturan pemilu Nikaragua menyatakan bahwa seorang kandidat dinyatakan menang, tanpa melanjutkan ke putaran kedua, bila meraih setidaknya 35 persen suara. Memang bukan kemenangan telak buat Ortega. Namun, yang jelas ia telah mengalahkan pesaingnya: Eduardo Montealegre dari Aliansi Liberal Nikaragua (29 persen), José Rizo dari Partai Liberal Konstitusional (26 persen), Edmundo Jarquin dari Gerakan Renovasi Sandinista (6 persen), dan Eden Pastora, seorang mantan pemimpin Contra (1 persen).
Enam belas tahun sejak dikalahkan dalam pemungutan suara 1990 oleh Violeta Chamorro, dan kemudian kalah lagi dalam tiga kali pemilu kepresidenan, Daniel Ortega akhirnya kembali ke kursi presiden yang sempat didudukinya sejak 1984.
Bagi Nikaragua dan Amerika Latin, kemenangan Ortega demikian langka dan historikal. Jarang ada kemenangan seperti ini dalam pemilu dunia, dan orang Nikaragua seolah diajak bernostalgia ke alam Revolusi Nikaragua (1922-1934, dipimpin oleh Augusto C. Sandino) dan Revolusi Sandinista (1979-1990, dipimpin oleh Daniel Ortega).
Bagi Amerika Serikat, kembalinya “Comandante” Ortega di negeri tropis itu adalah sinyal akan hadirnya satu lagi kekuatan penentangnya yang paling gigih sekaligus paling merepotkan. Sebab dengan kemenangan ini, mantan pemimpin gerakan revolusioner berhaluan Marxis itu sekaligus akan memiliki semacam paspor untuk bergabung dengan “Poros Kebaikan” (Axis of Good) yang sebelumnya telah dibentuk oleh Hugo Chavez (Venezuela), Fidel Castro (Kuba), dan Evo Morales (Bolivia).
Otto Reich, seorang pejabat senior di era Ronald Reagan yang mendukung pemberontakan Contra melawan Ortega, menyebut kemenangan ini sebagai “kenyataan sejarah yang melipatgandakan masalah” AS di benua konflik ini. “Jika ada orang yang memerintah Nikaragua, dan lantas bilang, ‘Saya adalah kawan Fidel Castro dan Hugo Chavez, dan saya menentang politik AS,’ maka orang itu pantas dianggap sebagai pembawa masalah dan perpecahan,” katanya.
Sebelumnya, selama masa kampanye, pemerintahan Bush telah mengeluarkan ancaman bahwa Washington mungkin akan mengambil langkah-langkah “menghukum” apabila Ortega menang—mungkin langkah itu akan berarti embargo dagang. Seturut juru bicara Departemen Luar Negeri, Sean McCormack, “Kami, Amerika Serikat, akan menegosiasikan kembali komitmen-komitmen di wilayah-wilayah yang dikuasai partai Sandinista apabila Ortega menang.” Bahkan Menteri Perdagangan Carlos Gutierrez baru-baru ini memperingatkan bahwa Washington mungkin saja akan menghentikan bantuan tahunannya yang nyaris mencapai U$ 100 juta ke Nikaragua apabila Ortega menang.
Amerika Serikat memang pantas khawatir. Setelah membantu Nikaragua dengan menggulingkan kediktatoran keluarga Somoza, Ortega dengan Sandinista-nya yang didukung Moskow selalu memotong segala kepentingan AS selama Perang Dingin. Nikaragua waktu itu dianggap sebagai “Kuba kedua”, dan itu berarti perang. Reagan lantas melatih dan mendanai gerakan pemberontak Contra pada 1980-an demi menancapkan dominasi Paman Sam. Namun ia gagal total dalam menjegal Ortega, dan hanya membuahkan perang saudara dengan korban 50.000 jiwa lebih. Sejarah pahit inilah yang menumbuhkan kebencian Washington terhadap Ortega, sekaligus memupuk perasaan nasionalisme kebanyakan penduduk Nikaragua.
Dendam lama AS seolah terungkit kembali ke permukaan. Apalagi kemenangan Sandinista diduga berkaitan dengan rencana perdagangan minyak dengan Venezuela—negara pimpinan Hugo Chavez yang belum lama ini menyebut George W. Bush sebagai “setan”. Sebulan lalu, Venezuela mengirimkan kapal-kapal pengangkut minyak ke Nikaragua. Harga murah yang ditawarkan Chavez dianggap sebagai “pembangkit suara” untuk Sandinista dalam pemilu kali ini, sebab Chavez juga menjanjikan suplai minyak murah untuk Nikaragua apabila orang seperti Ortega naik ke tampuk kekuasaan.
Chavez mungkin saja menghendaki kemenangan Daniel Ortega. Hanya, rakyat Nikaragua seperti tak punya pilihan lain. Sejak Uni Sovyet kolaps sekitar 1990-an, pengaruh Amerika Serikat di Nikaragua tidak terlalu membesarkan hati. Washington memang kemudian leluasa mengatur suksesi kepemimpinan di kawasan ini, dan memasang orang-orang seperti Arnoldo Aleman untuk menjadi kepanjangan tangannya. Namun rakyat kemudian tahu bahwa reformasi kapitalis yang didukung AS ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk. Pendapatan per kapita di Nikaragua hanya lebih sedikit dari U$ 900 setiap tahunnya, sementara 70 persen rakyat hidup dalam kemiskinan.
Fakta inilah yang bisa jadi berpengaruh besar dalam kemenangan Daniel Ortega. Rakyat ingin Sandinista “berperang” lagi. Fokusnya tentu saja adalah memerangi kemiskinan. Akan tetapi bila Washington merasa terancam dan berulah seperti yang sudah-sudah, Ortega mungkin tak akan segan memeranginya untuk kedua kali. Dan dengan kesediaan “Poros Kebaikan” untuk membantu Nikaragua, Washington sama saja akan adu kuat melawan separuh Amerika Latin.

Dani Wicaksono/The Christian Science Monitor/Time/The Washington Post