Saturday, November 18, 2006

Berebut Pengaruh di Asia

Berebut Pengaruh di Asia

Ada tiga negara yang tampak berebut pengaruh di Asia: China, Jepang, dan Korea Utara. China mengawali semuanya dengan membangun birokrasi, menegakkan administrasi perdagangan, mengatasi inflasi, dan menaikkan angka pertumbuhan ekonomi. Jepang mengikuti dengan menaikkan prestasi ekonomi dan menegaskan politik luar negeri yang kuat. Terakhir, Korea Utara melakukan ujicoba nuklir yang membuat dunia tersentak.
Jepang dan China—yang berseteru soal kuil Yashukuni—langsung sadar bahwa pemain lama ini memang pantas diwaspadai. Serentak mereka lantas mengecam tindakan Korut yang provokatif. Mereka juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap negara Kim Jong Il. Paling tidak, mereka menunjukkan kekhawatiran bila ke depannya Korut kemudian bersikap jumawa atau semakin mendominasi konstelasi politik di Asia.
Jepang merapat ke AS, seperti biasa, untuk lebih menunjukkan taringnya, sementara China yang tadinya merupakan sekutu tradisional Korut berusaha tenang dengan hanya mengatakan bahwa “Korut tak tahu malu.” Isu holocaust pun didengung-dengungkan kembali. Kali ini dengan ancaman perang nuklir.
Secara historis, Korut mulai tertarik mengembangkan nuklir saat berlaku perang Korea sepanjang 1950 hingga 1953. Dalam perang itu, Korut yang dibantu Uni Soviet dan China, melawan Korea Selatan (Korsel) yang didukung AS dan sekutunya.
Perang yang berakhir tanpa perjanjian damai menyebabkan kedua pihak saling berusaha mengimbangi kekuatan militer. Konsep perimbangan militer inilah yang memelihara stabilitas Semenanjung Korea hingga saat ini.
Sekarang Korut memiliki nuklir. Ia kini menjadi salah satu dari 9 negara pemilik nuklir. Kebanyakan berharap bahwa Korut hanya memakai nuklirnya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Tetapi, melihat situasi politik pasca-ujicoba, agaknya Korut akan mengembangkan senjata nuklir pula.
Dengan senjata nuklir, negara ini akan mampu bertahan dari serangan musuh dan punya kekuatan yang mengancam AS. Dengan senjata nuklir pula, Korut sekaligus mentasbihkan diri sebagai salah satu kekuatan hebat di Asia.
Jepang yang sejak era Koizumi mengungkit kemungkinan agar diperbolehkan membangun kekuatan militer aktif, agaknya harus lebih mengutamakan kekuatan politik dan ekonomi jika hendak bertarung di benua ini. Kalau tidak, maka dominasi Asia pastilah terletak di China dan Korut.

Dani Wicaksono










Junichiro Koizumi:
Reformasi untuk Jepang

Masa kejayaan Koizumi berakhir ketika kepemimpinan partai LDP (Liberal Democratic Party) berpindah tangan. Sejak 20 September kemarin, Perdana Menteri Junichiro Koizumi tidak lagi mengepalai partai nomor satu di Jepang itu karena sudah habis masa jabatannya. Kursi beralih ke Shinzo Abe, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang pada Pemerintahan Koizumi.
Namun, orang tidak akan melupakan Koizumi. Ia telah memimpin Jepang selama lebih dari lima tahun dan membawa Jepang ke arah perubahan signifkan. Koizumi melakukan pembaharuan struktural, mengubah wajah politik, dan mereformasi perekonomian politik. Dalam masa kepemimpinan Koizumi, Jepang menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi yang cukup diperhitungkan.
Koizumi melihat reformasi itu sebagai kebutuhan yang mendesak bagi ekonomi Jepang. Bagi Koizumi dan pendukungnya, liberalisasi ekonomi sebagai satu-satunya cara untuk membangkitkan kembali ekonomi Jepang yang stagnan.
Semula Jepang diremehkan sebagai kendaraan AS di Asia, baik secara ekonomi maupun politik. Namun, berkat Koizumi, Jepang menjadi pemain utama dalam politik global-yang mungkin saja kelak akan memiliki kekuatan militer yang berfungsi sepenuhnya; yang mungkin saja kelak akan mendapat satu jatah kursi di Dewan Keamanan PBB. Dialah yang telah mengukuhkan diri sebagai salah satu pemimpin dunia yang paling disegani pada abad 21.
Awalnya, Koizumi cukup disenangi oleh publik karena gayanya yang fashionable dan eksentrik. Koizumi dianggap berbeda dari para pendahulunya. Ia merilis CD berisi lagu-lagu Elvis kegemarannya dan bahkan berduet ria dengan aktor film pujaan dunia, Tom Cruise.
Popularitas Koizumi merosot ketika pemerintahannya memasuki usia setahun. Menurut jajak pendapat surat kabar Mainichi Shimbun, April 2002, perdana menteri yang penampilannya paling ‘colourfull’ itu hanya mendapat 42 persen suara publik yang mendukungnya. Ini karena Koizumi memutuskan untuk menjadi sekutu utama AS dengan cara mengirim tentara Jepang ke Irak.

Dani Wicaksono/BBCNews/Times














Kim Jong Il, Sang Pemimpin Tersayang

Kim Jong Il adalah pemimpin Korut yang gemar minum konyak Hennessey, dan mengoleksi 20.000 film termasuk serial James Bond yang lengkap.
Ia dilahirkan pada 16 Februari 1941 (tahun kelahirannya diubah menjadi 1942, agar tepat berselisih umur 30 tahun dengan sang ayah) ketika orangtuanya eksil ke Khabarovsk, Siberia, Uni Soviet. Ia adalah putra tertua dari Kim Il Sung dan istri pertamanya, Kim Jong Suk.
Sedikit yang diketahui tentang masa kecil Kim Jong Il. Ketika kanak-kanak, ia dipanggil “Yura”. Sebelum menjadi orang pertama Korut, dunia hanya tahu nama Kim yunior sebagai seorang playboy yang secara menggelikan memakai sepatu dengan hak tebal biar kelihatan lebih tinggi. Kim Jong Il dikenal sebagai “Pemimpin Tersayang”, sementara ayahnya dikenal sebagai “Pemimpin Besar”.
Kemudian ia tiba-tiba dikenal sebagai pewaris tongkat kepemimpinan Korea Utara sepeninggal ayahnya. Pada 1994, Sung meninggal dan Kim marak ke tampuk kekuasaan Korut (dan kemudian diangkat menjadi ketua partai Komunis sejak 1997). Pada saat itu Korut menjadi negara yang paling terkucil di dunia, dengan perekonomian dalam negeri yang rusak parah dan bencana kemanusiaan, seperti kelaparan, yang berulang kali melanda.
Ia adalah figur terkuat di Korut setelah Kim Il Sung. Seturut penilaian orang Korut, “Jenderal Kim Jong Il adalah orang besar yang jarang didapati. Ia memperoleh pendidikan revolusioner langsung dari ayahnya, dan memiliki semangat revoslusioner dan kekuatan seperti Gunung Baekdu—yang melambangkan kemerdekaan dan revolusi dan keagungan.” Maka ia pantas menjadi panglima tertinggi dari Angkatan Bersenjata Rakyat Korea (1991).
Ketidaksabaran dan temperamen tinggi yang dimiliki Kim sangat berbeda dengan kharisma dan ketenangan Sung. Ayah Kim adalah seorang yang terbuka terhadap masukan orang lain, sementara Kim terkenal arogan dan suka mengatur, terutama dalam hal kebijakan. Ia gampang berprasangka dan sering menunjukkan sikap emosional berlebihan.
Mungkin segenap kepribadian Kim diskreditkan oleh para intelijen Korea Selatan, negara yang secara ideologis bertentangan dengan jirannya. Namun, yang pasti, usaha Kim untuk mengembangkan negara nuklir bukanlah basa-basi. Ia malah mengaku telah melakukan ujicoba nuklir pada 9 Oktober berselang. Kim seolah tak peduli anggapan Presiden Bush, pada 2002, bahwa Korut adalah bagian dari “poros setan” bersama dengan Iran dan Irak—negara yang dipandang sebagai ancaman bagi AS dan kepentingannya.

Dani Wicaksono/The Encyclopedia of Asian History






Permainan Berbahaya dari Korea Utara

Pada 3 Oktober 2006, Menteri Luar Negeri Korea Utara, Kim Kye-guan, mengatakan bahwa negaranya siap mengadakan ujicoba nuklir kedua setelah 1998 dalam waktu dekat. Ia pun buru-buru menambahkan, Korut tidak akan menggunakan menggunakan senjata atom dan tetap berkomitmen pada program denuklirisasi Semenanjung Korea.
Enam hari kemudian, pengumuman itu ditepati juga.
Dunia internasional, dimotori oleh Jepang dan Amerika Serikat, segera mengutuk tindakan Korut. AS menyebut ujicoba tersebut sebagai “tindakan provokatif”, Perdana Menteri Jepang, dan Shinzo Abe menegaskan bahwa Korut tidak dapat dimaafkan. Sementara China yang merupakan sekutu Korut ikut menyatakan penentangan keras terhadap tes tersebut dan menyebutnya sebagai “tidak tahu malu”.
Korut yang mundur dari Traktat Pelucutan Senjata Nuklir, 10 Januari 2003, memang membuat was-was kontinen itu karena dikabarkan memiliki bahan-bahan yang memadai untuk membuat enam hingga delapan bom nuklir. Hingga sekarang, sejak Korut membuka kembali fasilitas-fasilitas nuklirnya pada 5 Februari 2003, tidak ada yang bisa memastikan apakah Korut memang mengembangkan persenjataan nuklir.
Secara politis, Korut berada di antara hidup dan mati. Sejak lama Korut dikenai sanksi ekonomi oleh AS, juga ancaman perang dari AS. Presiden George W. Bush sejak 2002 malah tegas mengatakan bahwa Korut (dengan komunismenya) telah mengancam stabilitas kekuasaan, dan diperintah rezim otoriter yang menyengsarakan rakyat.
Korut sendiri menyatakan bersedia duduk dalam perundingan internasional untuk mengakhiri program nuklir di negara itu, dengan syarat AS mencabut sanksi keuangan terhadap Korut. Namun AS menolak mencabutnya, dan belum bersedia mengadakan pembicaraan langsung dengan Korut.
Setelah ujicoba nuklir, hampir semua pihak yang sehaluan dengan AS lantas mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi yang mengecam Korut, juga memberlakukan sanksi ekonomi. PM Jepang Shinzo Abe yang tengah berada di Seoul untuk menemui Presiden Korea Selatan, Roh Moo Hyun, sigap mendesak Dewan Keamanan agar mengambil sanksi tegas. Korea Selatan pun mengatakan sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk sehubungan dengan nuklir Korut.
Hanya Jepang barangkali yang sudah dengan tegas menjatuhkan sanksi sepihak kepada Korut. Mulai Juli tahun depan, Negeri Matahari Terbit melarang seluruh kapal Korut melintas di perairan Jepang. Pemerintahan Abe juga akan menolak semua warga Korut yang hendak memasuki Jepang.
Korut telah bermain di zona bahaya. Sanksi dari Jepang saja sudah akan menghentikan perdagangan kedua negara yang senilai US$180 juta. Belum kalau menghitung kerugian sosial dan politik akibat tersisih dari pergaulan internasional. Barangkali Kim Jong Il, pemimpin Korut, sudah menimbang: bahwa semua ini adalah harga yang layak untuk kepemilikan nuklir.

Dani Wicaksono/Cininta Analen/BBC/AFP/Reuters/Antara



Kuil Yasukuni, Situs Sengketa Politik Jepang, China, dan Korea Selatan

Di samping kemajuannya di bidang politik dan ekonomi, Jepang selalu memicu krisis politik yang tak mengenakkan dengan Korea Selatan dan China. Ketegangan hubungan antartetangga ini selalu diawali dengan kunjungan Koizumi (atau para pemimpin Jepang lainnya ke Yasukuni). Dan kemudian merembet ke masalah lain.
Pada masa pemerintahannya, setiap tahun Koizumi selalu memicu kontroversi dengan mengunjungi Kuil yang dijadikan tempat peringatan bagi lebih dari 2,5 juta prajurit Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II—yang menjadi pahlawan bagi Jepang, tetapi penjajah bagi China dan Korsel.
China dan Korsel selalu melancarkan protes keras karena Kuil Yasukuni adalah penghinaan bagi kedua bangsa bekas jajahan Jepang tersebut, sekaligus dianggap sebagai pemutar-balikan fakta sejarah karena sebenarnya Jepang-lah yang melakukan penindasan.
China dan Korsel menunjukkan sikap yang meradang. China sampai melakukan kampanye besar-besaran untuk memboikot produk-produk Jepang di China. Korsel sendiri melayangkan pernyataan resmi bahwa Tokyo harus menyampaikan permintaan maaf “setulus-tulusnya” berkaitan dengan okupasi Jepang ke Korsel pada 1910-1945 (meskipun hubungan kedua negara sudah berlangsung normal sejak diadakannya sebuah perjanjian pada 40 tahun silam).
Bisa jadi Koizumi benar-benar cuma hendak “menghormati pejuang-pejuang yang gugur dalam perang, yang kematiannya menjadi tumbal bagi perdamaian dunia di masa depan.” Hanya, di luar itu, konteks yang lebih luas (atau konteks yang meluas) selalu disertakan seiring dengan memanasnya hubungan bilateral kedua negara.
Sejak April 2005, Jepang demikian gencar melancarkan kampanye untuk menduduki satu kursi tetap di Dewan Keamanan PBB. Bagi Korsel, Jepang tidak pantas duduk di kursi tersebut karena tidak punya perasaan bertetangga. Bagi China, langkah Jepang harus dihentikan karena seperti ingin mengukuhkan kembali niatnya untuk menjadi kekuatan dominan di Asia secara militer sebagaimana pernah terjadi pada pertengahan abad ke-20.
Perselisihan politis Jepang versus China dan Korsel ini semakin memanas sejak Jepang mengklaim hak pengelolaan perairan kaya sumber daya di seputar pulau-pulau perbatasan di Pasifik. Di perairan Laut China Timur, di sebelah utara Taiwan, Jepang dan China berseteru soal garis perbatasan-di mana ada ladang gas yang cukup subur. Di sekitar perairan yang sama, Jepang mengklaim Pulau Tokdo yang sebelumnya dimiliki oleh Korsel.
Pada tingkatan ini, Koizumi menunjukkan sikap acuh tak acuh dan cenderung keras kepala. Dan para pengamat pun mahfum bahwa berdasarkan kedekatan Jepang dengan Amerika Serikat, seiring dengan kemajuan politik dan ekonomi Jepang, dan “kesengajaan” Jepang untuk memancing suasana keruh di Asia, maka perdebatan sesungguhnya semata-mata bukanlah tentang perbatasan, atau sejarah yang ditelikung, atau permintaan maaf atas dosa-dosa masa lalu.
Bisa jadi Koizumi pun sadar bahwa isu sebenarnya barangkali berkutat pada siapakah di antara China dan Jepang yang akan menjadi kekuatan dominan di Asia pada abad sekarang dan selanjutnya.

Dani Wicaksono/BBCNews/Times

No comments: