Thursday, December 14, 2006

Pembunuhan Politik dan Anasir Totalitarianisme

Pembunuhan Politik dan Anasir Totalitarianisme

“Kami adalah negara,” teriak Mussolini suatu ketika, “yang mengontrol segala kekuatan aktif di dalam alam. Kami mengontrol kekuatan politik, kami mengontrol kekuatan moral, dan kami mengontrol kekuatan ekonomi.
Maklumat Mussolini tersebut, dalam filsafat politik, memiliki makna yang setingkat lebih tinggi daripada ucapan Louis XIV: L’etat Est moi (Negara adalah saya). Louis XIV secara eksplisit menyebutkan kekuatan tirani absolut, mengingat negara hanya dikendalikan oleh satu orang yang merasa mendapat kekuatan ilahiah, sementara Mussolini terang-terangan menegaskan kekuatan negara yang totaliter, sebab negara mengontrol setiap aspek kehidupan dari masyarakat, dan tidak memberi tempat bagi oposisi atau perbedaan.

Kita tidak hendak mengulas pernyataan Louis XIV secara khusus, tetapi bermaksud mengedepankan anasir-anasir yang mengindikasikan terjadinya proses totalitarianisme, yang anehnya masih juga terjadi di zaman posmodern. Pembunuhan Theo van Gogh, seorang pemimpin Islam di Amsterdam, pada 2 November 2006 menjadi satu bukti betapa kekuasaan (bisa berupa negara, kelompok, atau individual) masih berupaya “menghilangkan” orang-orang yang tidak disukainya, atau yang memotong semua kepentingannya.

Di Libanon, penghilangan nyawa Rafik Hariri (14 Februari 2006) dan Pierre Gemayel (21 November 206) sangat bernuansa politis, di mana kepentingan Suriah dan Hizbullah berbenturan dengan langkah dan haluan politik yang diambil oleh keduanya. Pembunuhan Alexander Litvinenko dengan racun Polonium-210 baru-baru ini, yang konon melibatkan jajaran tertinggi pemerintahan Rusia, mencuat menjadi kasus internasional ketika sang mata-mata itu diduga hendak mengungkapkan adanya darah di tangan sang presiden.


Sesuatu yang sudah lama hilang tampak hadir kembali seiring dengan kasus-kasus pembunuhan politik seperti itu: totalitarianisme warisan Hitler, dan Stalin, dan Mussolini. Dalam contoh kasus pembunuhan politik seperti tersebut di atas, konsep tentang kebenaran objektif dibekukan, dan setiap aspek dari kemanusiaan ditiadakan. Demi kepentingan negara, segala yang berkaitan dengan perbedaan, dan kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat dibatasi, sementara manipulasi fakta menjadi keniscayaan yang tak terbendung. Demi negara pula, manusia tidak eksis secara individual, melainkan kolektif. Di atas semua itu, konsepsi kebebasan adalah omong-kosong sebab pikiran dan pemikiran warganegara secara absolut menjadi milik negara.

Pada zaman di mana demokrasi dipacak sebagai sebuah sistem politik dan ideologi yang nyaris sempurna dalam ketatanegaraan, faham totalitarianisme yang sophisticated, yang mengharu-biru abad 20 itu sudah ditinggalkan seiring dengan bunuh diri Hitler dan matinya Stalin dan Mussolini. Namun, anasir-anasirnya melintasi ruang dan waktu, dan menjadi hantu yang membayang di setiap ruang kekuasaan. Kita bisa menyebut tindak terororisme sebagai salah satu contoh yang paling terlihat.

Individual adalah makhluk yang bisa didoktrin untuk loyal terhadap negara atau kelompok, dan bisa diminta mengorbankan kepentingannya, bahkan nyawanya, untuk kepentingan negara atau kelompok. Kepatuhan buta terhadap negara atau kelompok, dengan demikian, menjadi legitimasi betapa setiap jenis oposisi atas prinsip ini dianggap sebagai pengkhianatan. Pada prinsipnya, tidak ada nilai moral, spiritual, atau kemanusiaan yang eksis di luar garis kepentingan negara. Sebab, seturut Thomas Hobbes, negara membangun masyarakatnya melalui kekuatan memerintah (ditentukan oleh sistem hukum), serta melalui kemampuan penguasa dalam meneguhkan hukum dengan menciptakan rasa takut.

Tidak ada yang salah dengan konsep itu. Akan tetapi bila hukum dan kekuasaan yang tadinya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, atau kelompok, atau negara, lantas diselewengkan oleh pribadi, kelompok, atau bahkan negara, maka tidak akan ada yang tinggal selain daripada represi oleh pihak yang berkuasa dan berkepentingan dalam wajah yang bermacam-macam.

Kita memang sering dibingungkan dengan macam-macam wajah dari setiap kekerasan politik yang terjadi di dunia ini. Namun kita harus senantiasa hati-hati bahwa varian dan anasir totalitarianisme selalu ada dalam setiap proses itu.

Dani Wicaksono



lihat kelanjutannya......

Ketika Hasrat Melampaui Akal Sehat

Pembunuhan Politik
Ketika Hasrat Melampaui Akal Sehat

Julius Caesar adalah seorang pemimpin politik yang ambisius di Roma, yang berniat menjadi penguasa tak terkalahkan. Namun, seorang sahabat yang sekaligus senator Roma bernama Marcus Brutus mencium kehendak Caesar yang menurutnya hanya akan memerintah sebagai tiran.

Bersama Cassius, Brutus lantas merancang sebuah plot pembunuhan terhadap Caesar. Persekongkolan itu berhasil sesuai yang dikehendaki Brutus. Caesar ditikam pisau secara beramai-ramai oleh gerombolan yang menghadangnya. Sang raja masih belum mati hingga saat Brutus sendiri menikamnya dari belakang. “Et tu, Brute?” Caesar menatap pedih. “Kamu juga, Brute?” demikian ia menyesali sahabat yang dikasihinya itu turut dalam upaya pengkhianatan.
William Shakespeare, sastrawan besar Inggris, mungkin sekadar memadukan imajinasi dan fakta tatkala ia menulis drama berjudul Julius Caesar dan mementaskannya di panggung kira-kira 1600-1601. Shakespeare mungkin sepenuh-penuhnya sadar bahwa memang begitulah kira-kira yang terjadi dalam politik. Tidak ada kawan sejati selain daripada sejatinya kepentingan. Hanya, Shakespeare jelas tak pernah tahu bahwa sejak saat itu, idenya sering “dibajak” oleh individu-individu yang merasa bahwa satu-satunya jalan keluar dari sebuah persoalan politik adalah dengan membunuh lawan mainnya.


Kita mengalami hal itu. Hingga sekarang, kematian Munir yang diracun dengan arsenikum masih diyakini menyimpan misteri, meskipun beberapa tertuduh diajukan ke pengadilan. Di Amerika Serikat, peristiwa penembakan John F. Kennedy masih menjadi bahan perdebatan di mana beberapa versi punya argumen yang sulit dipatahkan. Benak kita juga masih bertanya-tanya tentang motif sebenarnya dari pembunuhan Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel yang dulu itu. Belum lagi bila kita menyebut pembunuhan-pembunuhan “multitafsir” kontemporer terhadap Alexander Litvinenko (Rusia), Rafik Hariri dan Pierre Gemayel (Libanon), Altynbek Sarsenbaev (Kazakhistan), Jean Dominique (Haiti), Theo van Gogh (Belanda), atau Anna Politkovskaya (Chechnya).

Meskipun banyak motif yang mendasarinya, umumnya orang akan merasa bila politik menjadi sesuatu hal yang dekat dengan kematian karenanya. Padahal, Aristoteles, filsuf yang secara teoretis merumuskan arti kata “Politik”, mengatakan bahwa ada etika yang harus dipatuhi ketika manusia hendak mengatur manusia lainnya. Dalam Ethics ia tegas menulis bahwa “Tujuan dari politik adalah akhir yang terbaik, dan wilayah utama dari politik adalah untuk menciptakan suatu karakter tertentu pada masyarakat atau warganegara, dan membuat mereka menjadi baik dan siap melakukan segala sesuatu yang mulia.” Kemudian, Aristoteles menambahkan bahwa “Kemitraan politik, dengan demikian, harus dihormati demi kemuliaan tindakan, dan bukan demi keuntungan bersama.”

Dengan idealisasi yang ditawarkan Aristoteles, makhluk politik bernama manusia lantas mengidentifikasikan kekuasaan dengan kebesaran, dengan sesuatu yang mulia, yang berlandaskan etika, ketinggian moral, dan segala kebaikan. Namun, dengan kemampuan retorika yang dimilikinya, para politikus kemudian habis-habisan menepis adanya keburukan (menolak menyebut yang buruk sebagai buruk). Para politikus yang “menyimpang” seperti Brutus malah mengabaikan berapa pun jumlah tumbal manusia yang bisa timbul karena kebingungan menafsirkan konsep itu (dibuktikan dengan timbulnya perang saudara akibat pembunuhan Caesar, hingga menciptakan apa yang kita kenal sebagai Triumvirat Pertama yang memerintah Roma).

Kenyataan duniawi kemudian mengukuhkan adanya kekerasan dalam politik. The Politics of Collective Violence (2003) yang ditulis oleh Charles Tilly juga memberi penegasan betapa, di dalam medan politik, kekerasan politik bisa dilakukan oleh individual atau kelompok atau negara, juga bisa mengenai ketiganya sekaligus. Istilahnya pun bisa bermacam-macam, dengan contoh yang bervariasi pula. Hitler melakukan genosida, Fidel Castro melancarkan revolusi dan menggulingkan diktator Batista, Rwanda mengalami perang saudara antara etnis Hutu dan Tutsi, Stalin “menyingkirkan” Leon Trotsky, sementara Gandhi ditembak oleh seorang maniak.
Kekuasaan dan hasrat menjadi ruh yang menggerakkan kegilaan kolektif semacam itu.

Justifikasi akan adanya kepentingan yang lebih besar, yang tidak boleh diganggu gugat bisa juga menjadi alasan mengapa terjadi kekerasan—hingga yang paling ekstrem, yaitu pembunuhan—dalam politik. Para pelaku umumnya memakai alasan terakhir ini sebagai perisai untuk menutupi degradasi nilai atau ketakutan yang dimilikinya. Nyawa manusia kemudian hanya menjadi atribut fisik, betapa pun arbitrernya—sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh Stalin: “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian ribuan orang adalah statistika.”

Apa yang dimaksud oleh Aristoteles sebagai “akhir yang terbaik demi kemanusiaan” dikalahkan oleh bhinneka hasrat yang menyala, yang membakar habis segala norma dan nilai dalam politik. Akal sehat lantas menjadi satu artefak yang tertinggal di lipatan kitab-kitab Socrates dan Plato, hingga Rene Descartes dan Immanuel Kant.

Dani Wicaksono/AP/The Economist/Journal of Political and Military Sociology


lihat kelanjutannya......

Monday, December 11, 2006

Chavez Bertahan, Amerika Latin Merona Merah

Chavez Bertahan, Amerika Latin Merona Merah

Karena dia, “komunisme baru” bergentayangan di Amerika Latin, sekaligus menjadi hantu di Amerika Serikat. Delapan puluh restoran siap saji McDonald di Venezuela langsung ditutup sejak setahun lalu, dan dituntut telah melakukan penggelapan pajak.

Perusahaan-perusahaan multinasional (khususnya yang bergerak di bidang minyak) diusir atau dibeli mayoritas sahamnya oleh pemerintah Venezuela, sementara elite-elite lama di negara itu segera dituduh menjadi alat bagi korporasi imperialisme Amerika Serikat. Dan sekarang, orang yang berada di balik semua berita di Amerika Latin itu, Hugo Chavez, terpilih kembali sebagai Presiden Venezuela sejak pemilu 3 Desember lalu.

Chavez adalah peletak dasar Revolusi Bolivarianisme di Venezuela, yang menyajikan interpretasi sosialis-demokratik dari ide-ide Simon Bolivar, yang tujuan utamanya adalah menentang hegemoni kapitalisme dan neoimperialisme Washington. Ia adalah orang yang memperkenalkan demokrasi partisipatoris (di mana rakyat tidak hanya berlaku sebagai subyek yang diam), seraya memperkenalkan sosialisme abad 21 (yang “berbeda” dibanding Uni Sovyet atau China dulu). Ia pula penggagas uang minyak bagi orang miskin, di mana keuntungan dari pendapatan minyak Venezuela digelontorkan untuk proyek-proyek pengembangan sumber daya manusia seperti pendirian sekolah-sekolah di daerah rural dan urban, pendirian toko-toko kelontong yang disubsidi pemerintah (istilahnya: “mercal”) sehingga harganya hanya separuh dari pasar, atau klinik-klinik medis bebas biaya.

Hugo Chavez, orang yang diharapkan oleh para elite AS dan Venezuela bernasib sama dengan Salvador Allende dari Chile, memenangi pemilu presidensial dengan 62,89 persen (7.161.637) berbanding perolehan suara Manuel Rosales yang hanya 36,85 persen (4.196.329). Bersamaan dengan itu, Chavez mengambil sendiri tongkat estafet Revolusi Bolivarian, dan kembali menggaungkan proyek sosialisme abad 21.

Sebulan kemarin memang waktu yang sangat signifikan bagi Amerika Latin. Nikaragua berpesta seiring dengan kembalinya pemimpin Sandinista, Daniel Ortega, ke tampuk pemerintahan, dan ratusan ribu orang memperingati hari kelahiran Fidel Castro yang ke-80. Dunia semakin yakin bahwa perlahan tapi pasti, Amerika Latin tengah membuat konsensusnya sendiri: tegak dan semakin kuatnya kelompok sayap kiri yang serempak menentang dan menantang kedigdayaan Amerika Serikat.

Aliansi Kuba, Venezuela, dan Bolivia, yang disebut “Poros Kebaikan”, atau ada pula yang bilang “Poros Harapan”, kembali kukuh sebagai penantang paling kuat dari kepentingan-kepentingan imperialisme Amerika Serikat, secara regional atau internasional. Perekonomian negara Venezuela tumbuh pada kisaran 10 persen per tahun selama tiga tahun terakhir, yang mengakibatkan ledakan konsumsi, yang akhirnya melipatgandakan pendapatan negara. Kemiskinan berhasil dikurangi: dari 55 persen menjadi sekitar 33 persen pada triwarsa itu juga.
Akan tetapi, meskipun kekuatan politik dan ekonomi Venezuela cukup mampu menandingi Washington di kawasan itu, dan Hugo Chavez memimpin untuk ketiga kalinya sejak 1998 (atau kedua kalinya di bawah Konstitusi 1999), tetap saja ada kemungkinan-kemungkinan persoalan yang harus ditanggulangi.

Pertama, adalah soal eksternal. Pemerintahan George W Bush sangat ingin menggulingkan Chavez dari kursi kepresidenan. Chavez dianggap cukup vokal mengkritik Gedung Putih, dan pantas disingkirkan dengan cara apa pun. Bisa jadi Washington akan mendekati kelompok oposisi pimpinan Manuel Rosales, dan membujuk mereka untuk bahu-membahu “mengganggu” Chavez—seperti yang selalu dilakukan AS terhadap Fidel Castro di Kuba. Tak perlu disangsikan, Pemerintahan Bush pastilah akan terus mencoba menggoyang dan mengisolasi Venezuela, serta merongrong Chavez sedikit demi sedikit.

Kedua adalah persoalan internal, yang semakin hari semakin besar, yakni tentang menggejalanya patronase dan korupsi. Dua soal ini telah lama berurat akar di Venezuela, bahkan sejak sebelum Chavez memimpin. Kalau dibiarkan, patronase dan korupsi bisa menjadi benalu yang merusak program-program sosialisme Chavez. Untung bagi Venezuela dan proyek Bolivarian, Chavez telah mengumumkan bahwa dua program awal tahun depan terutama sekali adalah reformasi administrasi publik (termasuk penanggulangan korupsi), dan membentuk sebuah partai revolusi yang bersatu.

Di luar itu, barangkali Chavez hanya tinggal menunggu waktu tibanya perlawanan hebat yang akan dikobarkan oleh Amerika Serikat. Sebab karena Chavez, Amerika Latin perlahan-lahan merona merah sewarna api.

Dani Wicaksono/The Economist/Venezuela Information Office(VIO)/Venezuelananalysis.com

lihat kelanjutannya......

Sang Radikal Kembali Memimpin

Sang Radikal Kembali Memimpin

Para pemilih telah menetapkan keputusannya. Hugo Chavez, sejak 1998, kembali dinyatakan sebagai pemenang dari pemilu presidensial 3 Desember lalu. Ia mengungguli kompetitornya, Manuel Rosales, dengan perolehan suara 62,89 persen (7.161.637) berbanding 36,85 persen (4.196.329) suara.
Ada 14 kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden, yang didukung oleh 79 partai—24 partai mendukung Chavez, dan 43 membela Rosales. Tidak ada kandidat lain yang beroleh lebih dari 1 persen suara. Dengan demikian, Hugo Chavez sebagai presiden terpilih akan memimpin Venezuela untuk masa enam tahun yang kedua kalinya (dalam aturan Konstitusi 1999) mulai Februari 2007 nanti.
Ini adalah hasil yang tidak terlalu mengagetkan. Hampir seluruh publik di Venezuela, terutama, dan dunia, umumnya, yakin betul bahwa presiden yang besar mulut ini akan memimpin kembali negara yang kaya energi. Kampanyenya mengenai Revolusi Bolivarian membuat ia mampu mengkonsolidasikan segenap kekuatan ekonomi dan politik di Venezuela. Nasionalisasi industri yang ia jalankan membuatnya menjadi orang kuat yang setanding dengan siapa pun pemimpin besar di zaman ini. Terlebih lagi, Chavez memanfaatkan pemerintahannya untuk mengubah beragam aspek kehidupan rakyat Venezuela. Dan dengan Revolusi Bolivarian, ia tampak benar bermaksud menandingi dominasi imperialis Amerika Serikat.
Nama Chavez harum di sini. Ia menjadi pelopor dari keberanian Amerika Latin—satu hal yang memang diwariskan oleh orang-orang semacam Simon Bolivar—untuk menjadi antitesis dari dominasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Barangkali Chavez menang karena ini. Ada anggapan bahwa kemenangan kali ini didukung terutama oleh peningkatan pendapatan minyak selama tiga tahun terakhir. Ada juga yang memandang bahwa kejayaan politiknya ditentukan oleh propaganda untuk “meneguhkan dan meluaskan revolusi,” yang tujuannya adalah “sosialisme abad 21”.
Bisa jadi semua benar. Popularitas Chavez terdongkrak karena semua hal itu. Ia dengan cerdik telah menjadikan Amerika Serikat sebagai “common enemy”, dan mengolah isu tersebut untuk meraih simpati publik—dan ternyata berhasil: baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Karena sebab-sebab itulah, barangkali, Manuel Rosales, gubernur Zulia yang berhaluan sosial demokratik, dengan mudah dikalahkan. Dengan upaya yang kuat, Rosales berkampanye tentang reformasi konstitusional, termasuk pengurangan masa jabatan presiden hingga hanya empat tahun, dan berjanji untuk menjamin hak-hak individual dan pilihan pendidikan.
Namun Rosales terbukti belum berhasil mengelola isu-isu ini menjadi kendaraan utamanya. Dalam bidang pendidikan, di mana Chavez bermaksud mendoktrinkan Bolivarianisme ke dalam kurikulum, ia sebenarnya punya peluang untuk mengungguli sang presiden. Tetapi mungkin ia kehabisan tenaga. Begitu pun, kekalahan ini tidak mengecilkan hatinya. Ia mendapat tekanan kuat dari sayap radikal kelompok oposisi, dan dengan tegas menepiskan tuntutan untuk turun ke jalan, memprotes hasil pemilu. Ia cenderung menghormati proses demokrasi “a la Venezuela” dan mungkin menata langkah untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.
Rosales pastilah akan menghadang segala upaya Chavez untuk memberikan pembatasan yang lebih kaku terhadap perusahaan-perusahaan swasta. Chavez terkenal sebagai orang yang berkata bahwa kapitalisme adalah akar dari segala keburukan, dan menolak segala usulan yang ditawarkan Amerika Serikat, termasuk perdagangan bebas di Amerika Latin. Kalau hendak mencari dukungan, wilayah Rosales ada di sini. Bersama kelompok oposisi, dan dengan mendekat ke Washington, Rosales akan punya kesempatan untuk mengejek upaya Chavez yang berniat mengganti sistem kapitalisme dengan “sosialisme berdasarkan solidaritas dan barter”.
Tetapi Rosales harus lebih bekerja keras. Konstitusi memungkinkan Chavez mengikuti pemilu presidensial periode enam tahun berikutnya. Konstelasi politik di Amerika Latin juga mendudukkan Chavez sebagai seorang pahlawan yang sukses mendorong kemenangan kelompok-kelompok kiri di Brasil, Bolivia, Nikaragua, dan sebagainya. Dengan minyak dan kepandaian berbicaranya, Chavez memikat dan merangkul semua kepemimpinan kiri itu ke dalam “Poros Kebaikan” yang dirumuskannya bersama Fidel Castro dari Kuba.
Hingga ada suksesi yang mendadak dan signifikan, yang bisa mengubah keadaan, kelompok oposisi yang dipimpin Rosales masih akan menemui jalan terjal. Sementara Rosales menunggu momentum itu terjadi—entah secara alamiah atau karena politik “pergantian rezim” dari Amerika Serikat—politik hegemoni Chavez pasti sudah akan membentuk wajah masa depan Venezuela—Chavez bisa menjadi diktator seumur hidupnya.

Dani Wicaksono/The Economist/Venezuela Information Office(VIO)/Venezuelananalysis.com

lihat kelanjutannya......

Kini, Ibu Hendak Menyusui Anaknya

Laporan Kelompok Studi Irak
Kini, Ibu Hendak Menyusui Anaknya

Sejak 20 Maret 2003, Amerika Serikat di bawah komando Presiden George W. Bush menginvasi Irak. Sembilan bulan kemudian, 13 Desember 2003, Saddam Hussein tertangkap dalam keadaan seperti tikus tengah sembunyi di selokan.
Namun, bukan berarti perang berhenti. Milisi-milisi bersenjata dari pelbagai golongan mengangkat senjata, dan saling bunuh tak pandang bulu. Dengan banyak motif, mereka menjadikan setiap jengkal tanah di Irak sebagai medan perang. Di mata mereka, barangkali, bukan kaum berarti lawan. Kelompok Sunni bertempur melawan Syiah. Etnis Kurdi bertempur melawan keduanya. Sunni, Syiah, dan Kurdi, menghancurkan segala sesuatu yang berbau Amerika Serikat atau orang asing. Kacau-balau semuanya.
Seperti kata Koffi Annan, suatu ketika, “Kejadian di Irak lebih buruk daripada perang saudara.” Kalau mau lebih mendesak Annan, mungkin saja ia bermaksud bilang bahwa Irak adalah neraka. Di mana-mana adalah api dan ledakan bom. Di mana-mana adalah maut dan erang orang sekarat. Tiada hari di Irak tanpa pembantaian atau pengeboman. Negeri Seribu Satu Malam ini secara konkret berubah menjadi Negeri Seribu Satu Kematian. Sebab segala model kematian tumpah-ruah di tempat ini.
Semenjak penyerbuan ke Irak, tercatat ada 3.172 peti mati dikirim balik oleh tentara multinasional pimpinan Gedung Putih. Paling tidak, Bush sendiri terpaksa mengucapkan bela sungkawa untuk sekitar 2.926 tentara AS yang mati sia-sia. Selebihnya, Pentagon mengakui bahwa sekitar 22.057 anggota pasukan AS mengalami luka atau cacat pascaperang. Kongres sendiri dengan masygul terpaksa mengizinkan pemakaian dana miliaran dollar untuk menutup pembiayaan banyak hal di Irak. Program rekonstruksi yang direncanakan oleh George W Bush dan kawan-kawannya juga tiba-tiba membentur benteng tebal yang tak tertembus. Semua rencana gagal dilaksanakan.
Washington beranggapan, pembentukan pemerintahan transisi di Irak adalah solusi yang mampu menyelesaikan semua persoalan—seraya tetap mengirim pasukan bantuan/pengganti sebanyak mungkin. Hanya, kita bisa lihat bahwa Pemerintahan Koalisi di Irak yang dipimpin oleh Presiden Jalal Talabani (Kurdi) dan Perdana Menteri Nuri al-Maliki (Syiah) lebih terlihat sebagai “patung” daripada pengelola segala unsur ketatanegaraan.
Untunglah anggota Kongres, Frank Wolf, seorang Republikan dari Virginia berkunjung ke Irak selama 3 kali. Dalam kunjungan terakhirnya, September 2005, ia seperti memperoleh pencerahan. Wolf sadar bahwa AS seharusnya bertindak laksana ibu yang menyusui anaknya. Dengan logika sederhana, tidak ada seorang ibu menyusui anaknya sembari membawa senapan mesin M-16 atau bom C-7, hanya untuk menakut-nakuti apabila si bayi rewel. Dengan logika sederhana lagi, ibu tetap harus menyusui anaknya, setelah membuang semua senjata mematikan itu.
Hanya, karena persoalan di Irak tidak demikian sederhana, AS butuh “mata yang jernih” untuk menengahi semuanya—seperti Kennedy butuh penasihat untuk menarik rudal nuklir AS dari Teluk Babi semasa Krisis Misil Kuba, agar tidak kehilangan muka. Maka dibentuklah sebuah komisi yang terdiri dari figur-figur terkemuka dan terpercaya untuk memberi masukan yang sifatnya rekomendatif, yang bisa memuaskan semua kepentingan yang terlibat di Irak. Kelompok Studi Irak, beranggotakan 10 orang, akhirnya menjadi wadah resmi yang bertanggung jawab untuk “membersihkan darah” di tangan Paman Sam sejak dibentuk Maret 2006.
Dipimpin oleh mantan Menteri Luar Negeri James Baker III (Partai Republik) dan mantan anggota Kongres dari Indiana Lee Hamilton (Partai Demokrat) kelompok bipartisan ini dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan kedigdayaan Amerika Serikat. Empat puluh ahli dari segala bidang seperti ilmu perang, Timur Tengah, rekonstruksi, militansi Islam, dan sebagainya, ditanyai dan dimintai opsi untuk membuat “peluru ajaib” yang konstruktif untuk Irak. Kelompok ini juga mewawancarai Presiden Bush, mantan Presiden Bill Clinton, serta berdiskusi dengan pihak-pihak pemilik kepentingan seperti Kofi Annan (masih sebagai Sekjen PBB), Menteri Luar Negeri Suriah Walid Moallem, serta Duta Besar Iran untuk PBB Javad Zarif.
Dan pada 6 Desember 2006, Kelompok Studi Irak mengeluarkan laporannya, yang dikomentari oleh Bush: “Kami akan sangat mempertimbangkan setiap rekomendasi.” Kelompok bipartisan tersebut mengawali uraiannya dengan pemaparan situasi terkini di Irak, dan mendukung pemikiran Bush bahwa Irak sebenarnya bisa memerintah dan mengupayakan kestabilan politik dan keamanannya sendiri, meskipun perlu waktu. Penarikan 150.000 pasukan secara bertahap (hingga 2008) merupakan usulan yang masuk akal. Pola pendekatan terhadap Irak juga harus diubah, dengan melibatkan seluruh tetangga Irak dan anggota tetap PBB. Sementara semua usulan itu dilakukan, pemerintah AS tetap harus membantu dan mendukung pemerintah Irak (secara politik, militer, dan finansial).
Presiden Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair seolah bersorak kegirangan. Dua sejoli ini selalu mengelak bila ada orang bilang bahwa AS dan Inggris kalah di Irak, dan sebaiknya menarik pasukan, seperti pada Perang Vietnam dulu. Keduanya sepakat tidak mau mempermalukan diri sendiri andai menerima kenyataan itu. Dengan 79 rekomendasi dari kelompok Baker-Hamilton, mereka seperti mendapat kesempatan untuk bersikap “rendah hati”, dan menerima usulan pihak lain—meski intinya adalah pergi dari Irak.
“Rakyat Amerika berharap kita menerapkan strategi baru ini,” kata Bush dalam konferensi pers di Washington pada 7 Desember. “Visi itu benar-benar tepat,” ucap Blair pada saat yang sama. Yang pasti, bayi Irak tengah menunggu sang ibu menyusuinya. Tentu saja dengan “kelembutan”, dan bukan dengan senjata.

Dani Wicaksono/The Washington Post/CBS/AP/The Christian Science Monitor

lihat kelanjutannya......

Monday, December 4, 2006

Belajar dari Amerika Selatan

Belajar dari Amerika Selatan

Pada 30 November 2006, kita menjadi saksi dari puncak Konferensi Tingkat Tinggi Afrika-Amerika Selatan. Pertemuan itu sendiri secara teknis dan dalam sesi kementerian sebenarnya telah dimulai sejak empat hari sebelumnya, di Abuja, ibu kota Nigeria.
Ini adalah pertemuan pertama kalinya sepanjang sejarah dari dua benua yang ditalikan oleh benang merah sejarah, dan yang paling ditunggu-tunggu manakala tantangan untuk kerjasama global dalam sejumlah isu benar-benar dibutuhkan. Tidak hanya diharapkan mampu mengadopsi rencana-rencana aksi atas isu-isu strategis demi kepentingan bersama, seperti perdagangan dan energi, momentum ini juga membahas situasi internasional yang tengah berlangsung.
Paling tidak, kedua benua menyadari keberadaan dan fungsi pentingnya di pentas global, juga mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang dicapai sejumlah negara di kawasan itu. Negara-negara Amerika Selatan selama dekade terakhir dan sebelumnya telah mempraktikkan sejumlah model pembangunan ekonomi yang pada prinsipnya berupa kebijakan reformasi ekonomi arahan trio Amerika Serikat, Bank Dunia, dan IMF (atau dikenal sebagai Konsensus Washington).
Di samping kesuksesan cukup signifikan dari beberapa negara yang menjalankan reformasi ekonomi neoliberal, kesenjangan sosial dan marjinalisasi ekonomi yang dirasakan oleh mayoritas penduduk benua ini masih tampak sangat jelas, terutama dalam proses suksesi kepemimpinannya. Hampir sepanjang 1980-an dan awal 1990-an, kawasan ini mengalami tak terhitung protes-protes sosial yang sebagian malah berpuncak pada konflik bersenjata. Demokrasi tanpa penguatan ekonomi masih saja menjadi tradisi dari mayoritas negara Amerika Selatan.
Dari negara terluas di benua ini (Brasil dan Argentina), hingga ke negara menengah (Venezuela, Chile) dan negara kecil (Bolivia, Ekuador), kita akan mendapati kisah reformasi ekonomi neolib yang umumnya setali tiga uang: kesenjangan sosial dan munculnya konflik politik. Bahkan kita punya kosakata “Revolusi Pisang” untuk menyebut akselerasi dan tradisi perubahan di Amerika Selatan, karena saking seringnya, dan saking cepatnya, dan tak berumur panjang. Efeknya, di samping terhentinya sebuah proses pembangunan, kredibilitas pemerintahan di kawasan ini pun banyak diragukan oleh investor. Argentina dan Brasil malah pernah mengalami krisis luar biasa di mana utang luar negeri sudah tak terbayarkan, dan modal asing beterbangan dalam jumlah besar: lari karena nilai mata uang (peso) terjun bebas.
Pada 1998, pemilihan Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela memberi pengaruh besar akan terjadinya perubahan di daratan Amerika Selatan. Dan ini bukan hanya menyebarnya pencarian model perekonomian alternatif dan arah politik yang cocok diterapkan di suatu negara. Satu demi satu, dari Brasil hingga Argentina, mulai Bolivia sampai Chile, partai-partai dari kelompok kiri menguasai kantor kepresidenan melalui pemilu-pemilu demokratis. Dengan perlahan atau lantang, negara-negara tersebut mulai berani bersuara miring terhadap, bahkan sampai menyingkirkan, model perekonomian neolib yang didesakkan Konsensus Washington beserta paket institusi kebijakan sosial dan perekonomiannya.
Sadar bila model neolib hanya menciptakan marjinalisasi sosio-ekonomi dari mayoritas rakyat, pemerintahan-pemerintahan generasi baru (sejak Chavez) mulai memadukan kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas fiskal dan makro, dengan kebijakan-kebijakan sosial yang difokuskan pada isu-isu kemiskinan, pengangguran, dan kesehatan. Hasilnya, kita mendengar adanya harmoni—sebuah orkestrasi yang dimainkan oleh nyaris seluruh kawasan—tentang stabilitas dan keteraturan (juga kewibawaan) politik, kesetaraan sosial dan ekonomi, serta kebangkitan umat manusia. Sayup-sayup atau membahana, orkestrasi itu rancak dan merdu. Konduktornya, mungkin, adalah semangat yang sama untuk kemerdekaan manusia secara utuh.
Ini adalah pelajaran berharga bagi Afrika. Juga bagi dunia. Amerika Selatan bangkit melalui pemilu yang benar-benar demokratis, melalui pemilihan pemimpin (bukan pemimpi), dan melalui penciptaan pemerintahan yang bersih dan baik, dengan model perekonomian alternatif (asal bukan neolib) sebagai kendaraannya.
Pastilah ini bukan pemandangan satu sisi. Afrika tentu punya nilai-nilai adiluhungnya sendiri, yang bisa pula dijadikan suri tauladan. Keikhlasan untuk berbagi—saling memberi dan saling menerima—dengan demikian hanyalah mekanisme yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan forum, atau konferensi, atau apa pun namanya. Intinya adalah persatuan gerak.

Dani Wicaksono/Daily Trust/AP/AFP

lihat kelanjutannya......

Sunday, December 3, 2006

Menyurat Masa Silam, Menggurat Masa Depan

KTT Afrika-Amerika Selatan
Menyurat Masa Silam, Menggurat Masa Depan

“Afrika dan Amerika Selatan adalah dua kawasan dengan kemungkinan luar biasa dan kekayaan tiada terkata, baik dalam hal sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Populasi gabungan dari semuanya mencapai lebih dari 1,2 miliar orang, dan tanah pertanian yang mahaluas beserta melimpahnya sumber-sumber mineral yang dikandung oleh dua kawasan bisa menempatkan kita di posisi teratas dalam hubungan multilateral, tanggung jawab, dan kesempatan-kesempatan global.
Tujuan kita berada di sini, dengan demikian, seharusnya memberikan kekuatan lebih besar dan ekspresi praktis lebih beragam demi idealnya Kerjasama Selatan-Selatan yang telah lama menyita perhatian dua kawasan kita. … Adalah kebutuhan bagi kita, sebagai negara-negara yang berkembang, untuk tetap menjaga kemandirian dan gotong-royong, dan menghapus kesenjangan ekonomi dan finansial antara negara kaya dan negara miskin di seluruh dunia.”
Pidato itu disampaikan oleh Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo di Abuja, 30 November 2006. Sebagaimana disinggung oleh Obasanjo, di ibu kota Nigeria itu telah terjadi perhelatan akbar di mana nyaris seluruh perwakilan Afrika dan Amerika Selatan berkumpul untuk pertama kalinya, untuk membicarakan kerjasama dan aliansi strategis yang berkelanjutan.
Momentum ini seharusnya bukan merupakan sesuatu hal yang mengherankan. Kalau pun bisa dianggap mengherankan, itu lebih karena pertanyaan mengapa pertemuan keduanya baru terjadi sekarang ini, di abad yang berpacu ini. Kedua kontinen berbagi sejarah kolonialisasi dan eksploitasi yang sama. Selama beberapa dekade, kedua kontinen menjadi “subaltern” yang harus “disuarakan” agar bisa didengar hingga ke pojok-pojok dunia.
Afrika disebut sebagai “the Dark Continent” ketika kekuatan kolonial Eropa (Portugis) mendarat di tanah ini pada abad ke-15. Afrika memiliki peradaban-peradaban eksotis yang lantas dianggap tak beradab oleh para pendatang baru. Kulit yang mengkilat seperti arang basah dijadikan legitimasi bahwa mereka adalah “manusia sekondan” yang derajatnya sedikit saja lebih tinggi (atau malah lebih rendah) daripada binatang, dan hanya pantas dijadikan budak. Berturut-turut, Pantai Budak, Pantai Emas, dan Pantai Gading menjadi sumber daya manusia yang bisa diperdagangkan. Berturut-turut pula kapal-kapal penjelajah berbendera Portugis, Belanda, dan Inggris berlabuh untuk “menghabisi” tanah dan manusia Afrika.
Pada saat yang sama (abad 15), dua kekuatan besar maritim Eropa, yakni Portugal dan Spanyol, berebut daratan baru yang diketemukan di barat. Keduanya akhirnya sepakat untuk membelah tanah itu: semua tanah di barat garis Traktat Tordesilhas, yang sekarang dikenal sebagai Amerika Selatan, menjadi milik Spanyol, dan seluruh tanah di timur garis imajiner itu menjadi wilayah kekuasaan Portugal. Namun, sejak 1530-an manusia dan sumber daya alam Amerika Selatan berturut-turut diperas habis oleh Spanyol dan kemudian Portugal. Dua bangsa kolonial ini bersaing dan mengukuhi tanah dan seisinya sebagai milik mereka, dan mulai membaginya dalam koloni-koloni. Kebutuhan akan tenaga kerja lantas semakin memperjelas ikatan historis keduanya: budak-budak Afrika diangkut untuk dipekerjakan di Brasil, misalnya.
Enam abad setelahnya, dua kontinen yang berbagi suka dan duka yang sama ini berjalan sendiri-sendiri. Bergolak dan bergolak untuk merdeka. Keduanya sama-sama menghasilkan pahlawan terhebatnya masing-masing (Nelson Mandela, Simon Bolivar, misalnya), dan berjalan sendiri-sendiri untuk menghadapi kekuatan baru dari Barat: neoliberalisme dan neoimperialisme.
Enam abad setelahnya, sekitar 900 orang delegasi dari 53 negara Afrika (total negara Afrika adalah 54) dan 12 negara Amerika Selatan (seluruhnya) lantas memutuskan untuk berkumpul di Abuja, Nigeria. Merasa dipersatukan oleh masa yang silam dan yang menjelang, para pemimpin dua benua ini menyatu dan menciptakan peristiwa “pertemuan dua hari” yang paling besar sedunia sepanjang sejarah.
Mereka membicarakan pelbagai jenis kerjasama, mulai dari bidang energi, perbankan, demokrasi, reduksi kemiskinan, pendidikan, penyakit, konflik antarnegara, hingga krisis politik di dalam negeri. Lula da Silva, Presiden Brasil, menyerukan persatuan untuk memerangi hambatan-hambatan perdagangan di negara-negara berkembang. Moamar Qadaffi, pemimpin Libya, mencerca negara-negara kaya yang selalu menindas negara-negara miskin. Evo Morales, Presiden Bolivia, menuntut adanya persamaan hak bagi para pribumi yang sering dizalimi.
Namun itu keinginan tersebut bisa dipandang superfisial. Kita bisa lebih jauh melihat pertemuan yang rencananya dilangsungkan dua tahunan ini sebagai sebuah komitmen sangat teguh untuk menciptakan dan merawat sebuah ikatan adidaya di antara dua benua.
Seturut kata-kata Presiden Obasanjo, “Kita akan membangun jembatan permanen untuk saling memahami, bekerjasama, pertahanan dan keamanan, serta berbagi pengalaman dan kesejahteraan.”

Dani Wicaksono/AP/AFP/Panapress

lihat kelanjutannya......

Ekuador dan Akhir Neoliberalisme di Amerika Latin

Ekuador dan Akhir Neoliberalisme di Amerika Latin

Seandainya hasil penghitungan suara terakhir di pemilu Ekuador tetap berpihak pada Rafael Correa dari partai Alianza, dan tidak menjungkirbalikkan perkiraan pengamat pada umumnya, maka Amerika Latin akan mendapat tambahan amunisi untuk melawan dominasi Barat di benua ini sejak seabad lalu.
Rafael Correa, yang menerima gelar Ph.D bidang ekonomi dari University of Illinois, seandainya benar-benar terpilih menjadi presiden Ekuador, akan menjadi orang kesebelas di Amerika Latin selama 8 tahun terakhir yang berkampanye melawan kebijakan-kebijakan perekonomian “neoliberal” selama periode tersebut.
Semenjak beberapa tahun berselang, nyata nian terjadi perubahan haluan politik di Amerika Latin. Venezuela mengawalinya dengan penunjukan Hugo Chavez sebagai presiden sejak 1998. Belakangan Brazil, Chile, Bolivia, Argentina, Uruguay, Meksiko dan Nikaragua, mengikuti pola yang nyaris sama: terpilihnya kandidat dari kelompok kiri sebagai presiden.
Ekuador, negeri dengan problem ekonomi terbesar di Amerika Latin, pun tak luput dari kecenderungan yang sama. Kehancuran ekonominya, di mana pada periode 1980-2000 PDB-nya anjlok hingga 14 persen dan pertumbuhan ekonominya stagnan, membuat Ekuador terpaksa mengkaji ulang politik neoliberalisme yang digembar-gemborkan Amerika Serikat di kawasan ini.
Meski setelah 2000, Ekuador beroleh pencapaian baik secara regional, dengan peningkatan pendapatan per kapita hingga 8 persen dari 2000-2005, publik masih yakin bila itu semua belum cukup untuk memulihkan stabilitas ekonomi dan politik yang hancur-hancuran selama dua dasawarsa sebelumnya. Bahkan secara keseluruhan, kemiskinan masih mendera 45 persen dari populasi (pada 2001), sementara hingga sekarang, rata-rata 13,4 juta warganya hanya mampu mengais US$2.630 setiap tahunnya. Hampir 80 persen dari penduduk pribumi (kira-kira sepertiga populasi) malah masih berkubang kemiskinan.
Presiden Alfredo Palacio, yang berkuasa setelah Lucio Gutierrez diberhentikan oleh Kongres pada April 2005, dianggap tidak terlalu serius memerangi kemiskinan. Bahkan ia merencanakan perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, yang dikhawatirkan oleh para politisi sebagai langkah awal kehancuran perekonomian Ekuador. Bagi orang-orang seperti Correa, jelas bahwa neoliberalisme bukanlah obat mujarab untuk menghapuskan kemiskinan di Ekuador. Justru kebijakan pemerintah seperti penandatanganan perdagangan bebas itu memperburuk kesenjangan golongan kaya dan miskin di negara itu.
Sebaliknya, Rafael Correa memainkan perannya sebagai figur yang siap bertarung menentang cengkeraman tangan Bank Dunia dan IMF dan semua kekuatan neoliberalisme. Ia menjanjikan penghapusan utang dan pemutusan hubungan dengan negara pemberi utang. Berbeda dengan Alvaro Noboa yang memfokuskan kampanyenya pada serangan terhadap kepribadian rivalnya, Rafael Correa suntuk pada upaya penanggulangan ancaman-ancaman yang akan merusak stabilitas negara.
Di Ekuador, sejak 1990-an, Washington berhasil mendesakkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertumpu pada pengurangan batasan-batasan perdagangan internasional dan pembukaan kran-kran investasi di pelbagai bidang. Perusahaan-perusahaan publik diprivatisasi, dan kebijakan-kebijakan industrial serta perencanaan-perencanaan pembangunan lebih ditentukan oleh pasar dan bukan pemerintah. Harapannya, pemerintah bisa mengurangi pengeluaran, bank-bank sentral semakin independen dan kuat menahan inflasi. Negara lebih terbuka untuk sayap-sayap neoliberalisme yang menyerbu tanpa ampunan.
Sejak 1980-an, Amerika Serikat pun tak segan-segan mengucurkan miliaran dollar dan mendukung pembantaian puluhan ribu orang tak berdosa untuk menjaga kontrol atas negara-negara kecil yang signifikan secara ekonomi di benua ini. Presiden Bill Clinton, misalnya, mengotori tangannya di Guatemala, membantai rakyat El Salvador, merusuhi Kuba, dan merusak Nikaragua. Washington pun menanamkan pengaruhnya secara kuat melalui Bank Dunia dan IMF, seraya menawarkan program-program seperti “promosi demokrasi” atau kucuran utang—yang justru mengakibatkan krisis perekonomian secara massif di Meksiko, Argentina, Brasil, dan Ekuador.
Sekarang, era ini sudah mulai berubah. Neoliberalisme memang belum berakhir secara tuntas di Amerika Latin. IMF pun masih berpengaruh di beberapa tempat sebagai “penjaga gerbang” untuk masuk dan pinjam duit ke Bank Dunia atau negara-negara G8.
Akan tetapi, perubahan telah terjadi pelan-pelan, dan pasti, dan tak tertolak. Hasil (sementara) pemilu Ekuador menunjukkan bahwa Rafael Correa siap menjadi salah seorang pembawa obor pembaharuan di kawasan yang sama. Dan bila semua pembawa obor bergabung, Amerika Latin niscaya akan terang-benderang, seolah-olah mengalami Renaisans.

Dani Wicaksono/CEPR/Time/AP

lihat kelanjutannya......

Ekuador Pascapemilu: Bergerak ke Kiri

Ekuador Pascapemilu: Bergerak ke Kiri

Pemilu putaran kedua di Ekuador, Minggu, 26 November 2006, boleh jadi akan menghembuskan angin perubahan. Berdasarkan hasil perhitungan suara cepat atau quick count dari tiga media polling (Gallup, Teleamazonas, dan Market pollsters), Rafael Correa memperoleh 56,9 persen suara, sementara pesaingnya Alvaro Noboa hanya mendapat 43,1 persen.
“Kami terima kemenangan ini dengan sederhana dan rendah hati,” kata Correa (43 tahun), lulusan doktor ekonomi University of Illinois. “Begitu kami mengambil alih kekuasaan, saat itu pula rakyat Ekuador berkuasa.”
Correa, seorang ekonom sayap kiri, yang menyerukan pemutusan hubungan Ekuador dengan negara-negara pemberi hutang, akhirnya akan menjadi pemimpin bangsa Andean yang tidak stabil secara politik. Seiring dengan angin kencang reformasi yang menggetarkan daratan Amerika Latin, yang dihembuskan Venezuela dan Bolivia dan Kuba, agaknya Correa akan mengembangkan layarnya ke arah yang sama.
Rafael Correa adalah mantan menteri ekonomi Ekuador, yang mengkampanyekan sebuah “revolusi rakyat” melawan sistem politik Ekuador yang tidak berwibawa. Selama masa kampanye pula, ia berjanji bahwa Ekuador akan memutuskan hubungan dengan Bank Dunia dan IMF. Ia yang menjuluki Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai “orang bebal”, juga ingin menyelenggarakan referendum untuk memperbaharui konstitusi untuk mengurangi kekuasaan partai-partai tradisional dan membatasi aktivitas-aktivitas militer AS di Ekuador.
Selain itu, Correa berniat membangun 100.000 rumah sederhana dan meniru janji Noboa untuk menggandakan “bonus kemiskinan” US$36 setiap orang per bulan untuk 1,2 juta warga tidak mampu di Ekuador.
Hanya, kebijakan luar negeri Correa-lah yang menjadi perhatian publik. Bukan karena Ekuador mampu memproduksi dan mengekspor 535.000 barel minyak setiap harinya, bukan pula karena Ekuador hendak bergabung kembali dengan OPEC, yang pernah ditinggalkannya pada 1993. Tetapi, seperti diperhatikan oleh dunia, sejak awal kampanyenya, Correa selalu mengidentifikasikan diri dengan Presiden “ugal-ugalan” dari Venezuela, Hugo Chavez.
“Besar harapan kami bisa lebih dekat dengan Chavez,” katanya kepada televisi Channel 8 dalam sebuah wawancara, “sebab Chavez adalah seorang sahabat yang personal.” Meskipun ia kemudian memperbaiki keberpihakannya dengan menyatakan bahwa “di rumah saya, bukan sahabat yang pegang kendali, melainkan rakyat Ekuador”, masyarakat Barat terlanjur memegang omongan pertama Correa sebagai hipotesis untuk melihat Ekuador ke depan. Di samping itu, kesiapan Correa untuk menunjuk ekonom sayap kiri Ricardo Patino dan Alberto Acosta, sebagai menteri ekonomi dan energi menambah jelas gelagat pergerakan Ekuador setelah pemilu 2006.
Fakta lain: meskipun bilang tidak hendak membatasi hubungan luar negeri, Correa tegas-tegas menginginkan ikatan lebih kuat dengan presiden-presiden kiri moderat seperti Michelle Bachelet (Chile), Nestor Kirchner (Argentina), dan Luiz Ignacio Lula da Silva (Brasil). Dan dengan Washington, Correa siap menjalin hubungan baik, tetapi “tidak akan menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, sebab mereka hanya akan menghancurkan pertanian, peternakan, dan industri unggas kami.”
Kemenangan Rafael Correa sebenarnya masih belum diresmikan. Hasil pemilu keseluruhan sebenarnya baru bisa diketahui hari Minggu, 3 Desember 2006. Namun, komisi pemilihan di Ekuador akan mengumumkannya secara resmi Selasa depan.
Sementara itu, rival berat Correa, Alvaro Noboa, seorang miliuner yang dekat dengan keluarga Kennedy dan Rockefeller, tidak mau mengakui kekalahannya sampai pengumuman resmi dikeluarkan.
“Ada skenario untuk memancing kerusuhan dengan pengumuman polling cepat itu,” ucap Noboa di hadapan pendukungnya di kota pantai Guayaquil. Ia sendiri sudah menginstruksikan ketua kampanyenya untuk pergi ke Mahkamah Tinggi Pemilu dan menuntut mereka membuka kotak suara dan menghitungnya satu demi satu supaya tidak ada keraguan.
Namun, euforia sudah merebak di salah satu kawasan Amerika Latin. Sebuah euforia tentang kemenangan (lagi-lagi) kelompok kiri. Sebab, kemenangan Correa meniscayakan arah angin buritan yang menggiring Ekuador untuk bergabung dengan armada kiri tingkat benua yang sebelumnya sudah angkat sauh: Chile, Bolivia, Brasil, Argentina, Uruguay dan Venezuela.

Dani Wicaksono/AP/Time/BBC

lihat kelanjutannya......